"Kamu ... berani melakukannya, Vanya?" suara Nyonya Nia terdengar bergetar.Vanya menatap Nyonya Nia dengan ekspresi datar."Sebenarnya sebelum masuk ke dalam rumah ini, aku berharap jauh dari dalam lubuk hati Tante akan menyesali semua perbuatan Tante," ucapnya. "Tapi ternyata aku salah. Seharusnya dari dulu aku tidak membiarkan keluarga kalian masuk ke dalam keluargaku lebih dalam. Aku mengutuk diriku yang lemah."Aku ikut terdiam mendengar ucapan Vanya. Aku seakan bisa merasakan betapa pedih hatinya saat dia mengucapkan hal itu."Sekarang tak ada pilihan lain dariku selain menegakkan hukum demi kedua orang tuaku," lanjutnya."Kamu tidak akan berani melakukan itu, Vanya! Kamu tidak akan berani!" Nyonya Nia berteriak histeris sambil mencengkeram kepalanya dengan kedua tangan."Aku membuang napas miris melihatnya. Bahkan sampai seperti inipun, Nyonya Nia tidak menunjukkan sedikitpun penyesalan."Apa-apaan ini?"Kami semua menoleh. Rupanya Tasya baru saja pulang dan langsung berjalan k
"Kamu pikir kamu bisa lepas dari hukuman, Dion?" tanyaku sambil menatap tajam padanya. "Kamu hanya menunggu giliran, jadi jangan sok jadi pahlawan.""Tolonglah, Vanya. Mamaku sakit sekarang. Apa kamu tega melihatnya dipenjara?" ucap Dion, masih dengan ekspresi mengiba.Dia mencoba mendekat lagi ke arah Vanya, tapi aku cepat-cepat mendorongnya menjauh. Astaghfirullah, ingin sekali rasanya aku menghajar pria di depanku ini habis-habisan, biar terbuka matanya. Manusia seperti apa mereka ini, yang hanya mementingkan diri mereka sendiri?"Aku akan mengakui semuanya! Aku akan menyerahkan diri pada polisi! Tapi tolong lepaskan Mamaku!""Bagaimanapun, hukum tetap berjalan, Dion! Biar polisi yang akan menentukan kalian bersalah atau tidak," tegasku."Tolonglah, Vanya, tolong!" Dion masih mencoba mendekat ke arah Vanya, sedangkan Vanya mundur ke belakang."Cukup, Dion! Hentikan! Sudah cukup kalian semua membuat Vanya menderita!""Apa yang harus kulakukan agar kamu mau memaafkan aku, Vanya?" tan
Aku bergegas mendekat ke arah Vanya dan memeluknya."Tasya, Mas! Itu Tasya!" ucap Vanya sambil membenamkan wajahnya ke dadaku."Iya, Dek. Mereka mengalami kecelakaan," ucapku sambil mengelus punggungnya.Aku memeluk Vanya lebih erat, ketika petugas membantu mengangkat tubuh Dion yang kondisinya tak kalah parah. Dan yang lebih memprihatinkan adalah kondisi Nyonya Nia. Para pertugas langsung membungkus tubuh Nyonya Nia dengan kantong jenazah."Innalillahi wa innailaihi roojiuunn," lirihku."Siapa yang meninggal, Mas?" Vanya tidak bisa menguasai dirinya. Dia mulai menangis."Nyonya Nia, Dek," jawabku dengan suara berat."Innalillahi wa innailaihi roojiuunn." Tangis Vanya semakin kencang ketika mendengarnya. Dia membenamkan wajahnya lebih dalam ke dadaku.Satu persatu mobil ambulans mulai meninggalkan tempat itu dengan suara sirinenya yang mendayu-dayu memenuhi jalanan."Ayo kita ke rumah sakit, Dek," ucapku setelah Vanya terlihat lebih tenang.Vanya mengangguk, lalu melepaskan pelukannya
"Kalian ... siapa?" tanya Tasya dengan suara yang amat lemah.Aku dan Vanya saling bertatapan, bingung. Segera aku ingat ucapan dokter tentang resiko operasi yang baru Tasya jalani.Aku berbisik di telinga Vanya tentang apa yang sudah terjadi. Netra Vanya membola sesaat, kemudian dia mengangguk mengerti."Ini kami, Tasya. Kami saudaramu," ucap Vanya lembut."Saudara?" Tasya masih menatap kami dengan wajah tanpa ekspresi."Iya," jawab Vanya lembut. "Kita saudara, Tasya. Mulai hari ini kami yang akan menjagamu."Tasya menatap Vanya, lalu perlahan mengukir senyum di bibirnya yang pucat. Aku hanya terdiam seraya menatap mereka dengan pandangan sendu.Seandainya Nyonya Nia tidak terobsesi oleh kekayaan, sehingga tega berbohong pada Tasya di masa lalu, mungkin mereka berdua bisa benar-benar menjadi saudara yang baik. Bagaimanapun, waktu tidak akan bisa diulang kembali. Mungkin ini saatnya mereka memperbaiki semuanya."Seperti yang kami kira sebelumnya, pasien akan mengalami kehilangan ingat
"Bagaimana, Mas? Tasya cantik, ya?"Aku tersentak mendengar pertanyaan Vanya, lalu seketika menggaruk kepala yang tidak gatal. Mungkin Mama tidak akan mengenali Tasya dengan penampilannya yang seperti itu."Apa tidak apa-apa menyuruh Tasya berjilbab, Dek?"Aduh, pertanyaan macam apa ini? Kenapa aku jadi salah tingkah begini? Astaghfirullah."Apa maksudmu, Kak?" Tasya terlihat mengernyitkan kening. "Kak Vanya bilang penampilanku memang selalu begini. Benar, kan?"Aku langsung menatap ke arah Vanya, dan dia memberikan isyarat melalui tatapannya agar aku mengiyakan. Aku sebenarnya tidak mengerti, kenapa Vanya harus mengubah Tasya seperti itu? Bagaimana jika suatu saat ingatan Tasya kembali?"Oh, iya, benar," jawabku kemudian. "Ayo kita pulang."Vanya terlihat menggandeng Tasya, dan mereka berdua mengobrol dengan sangat cerianya sepanjang koridor. Aku hanya diam sambil menatap mereka berdua dari belakang. Entah firasat tidak enak apa yang terus kurasakan, dan aku terus berusaha membuangny
"Dek, maafin Mas. Mas sudah salah," ucapku sambil memegang kedua pundak Vanya."Bukan Maksud Mas berduaan saja dengan Tasya. Kebetulan Tasya tersesat di jalan ketika mau membeli diapers untuk Mama. Jadi sekalian saja Mas mengantarkan dia. Sungguh, Dek, Mas juga cuma makan malam biasa saja sama dia," jelasku panjang lebar."Mas makan malam berdua dengan Tasya?" netra Vanya terlihat membulat.Aku tersentak, dan seketika bingung. Kenapa Vanya terkejut, seolah tidak tahu?"I-iya, Dek. Bukannya kamu tahu?" tanyaku gugup."Aku malah baru saja tahu dari Mas," jawab Vanya. "Bukan apa-apa, Mas. Aku tahu Tasya sudah jadi bagian dari keluarga kita, tapi tidak baik berduaan dengan yang bukan mahram."Aku menatap Vanya, semakin bingung. Tadi bukankah dia yang tiba-tiba bicara agar aku menikah dengan Tasya, tapi kenapa sekarang dia jadi marah seolah cemburu?"Lalu kenapa kamu tiba-tiba bicara seperti itu, Dek?" tanyaku. "Mas pikir kamu bicara begitu karena tahu Mas berdua dengan Tasya."Vanya terli
Aku serta-merta memeluk Vanya erat. Dia terus meraung dan meronta. Aku bisa merasakan kepedihannya."Nggak, Dek. Kamu gak boleh bicara seperti itu. Sekarang yang terpenting adalah kesehatanmu. Kamu harus sembuh, Dek," ucapku, berusaha membuatnya tenang."Aku gak mau operasi, Mas. Apa gunanya seorang wanita tanpa rahim?""Astaghfirullah, istighfar, Dek! Bukan berarti kamu akan cacat tanpa rahim!"Aku tidak tahu lagi bagaimana harus menenangkan Vanya. Aku membiarkannya menangis sebisanya dalam pelukanku, berharap hatinya akan membaik setelah itu."Dek, Ibunda Aisyah RA tidak memiliki keturunan dari Rasulullah, tapi tidak ada yang mempertanyakan kemuliaannya. Ibunda Aisyah tetap menjadi Ibu dari kaum muslimin, sampai kapanpun, walaupun tidak pernah melahirkan," ucapku pelan, seraya membelai lembut kepalanya yang tertutup jilbab.Vanya melepaskan diri dari pelukanku, lalu menatapku dengan bibir bergetar. Sepertinya ucapanku mulai mengena di hatinya."Kamu akan tetap menerimaku walaupun ti
Aku memegang kedua pundak Vanya."Dek, kumohon jangan seperti ini. Maafkan Mas karena belum bisa menjadi suami yang baik. Mas tidak mau pisah dari kamu, Dek," ucapku.Vanya tersenyum lagi, kali ini dengan bibirnya yang terlihat bergetar."Mas, Mama ingin punya cucu, dan kamu adalah putra beliau satu-satunya. Aku tidak ingin menjadi penghalang bagimu untuk berbakti pada Mama," ucapnya."Pasti ada cara lain, Dek. Jangan pernah berpikir tentang perpisahan," sahutku gusar."Kalian tidak perlu berpisah."Kami berdua seketika menoleh ketika melihat Mama masuk ke dalam ruangan itu sambil menuntun tangan Tasya."Mama, kenapa ke sini?" tanyaku, langsung berdiri dari tempatku."Bicara apa kamu, Aldi! Vanya itu menantu Mama. Mama juga mau melihat keadaannya," jawab Mama, sambil melewatiku dan mendekat ke arah Vanya."Bagaimana keadaanmu, Vanya? Kamu sudah merasa sehat?" tanya Mama sambil memegang tangan Vanya."Aku baik-baik saja, Ma, Alhamdulillah," jawab Vanya, tetap dengan senyumannya."Aldi