Share

BAB 3

“Aku nggak paham apa maksud kamu, Azzalyn!”

“Kita putus Abyl. Seharusnya kita memang nggak boleh punya hubungan apa-apa sejak awal. Seharusnya kita nggak usah bertemu dan nggak usah saling kenal.”

“Kau menyesal sudah mengenalku? Apakah yang telah kita lewati selama ini tidak ada artinya apa-apa bagimu?” suara Abyl terdengar lemah. Ia tak menyangka semudah ini Azzalyn memutuskan hubungan mereka.

Azzalyn diam. Biar bagaimanapun Abyl adalah orang yang ia cintai. Orang yang sangat ingin dia miliki seumur hidupnya. Sampai Azzalyn mengetahui kenyataan kalau dia dan Abyl bersaudara, dan Ibu Abyl yang menjadi penyebab ia dan ibunya menderita selama ini.

“Bisakah kita bicarakan semuanya pelan-pelan? Jangan ambil keputusan terlalu cepat Azzalyn,” pinta Abyl.

“Nggak akan ada yang berubah Abyl. Apa pun yang menjadi pembicaraan kita nanti keputusanku akan tetap sama. Aku nggak mau ada hubungan apa-apa lagi denganmu.”

Azzalyn berbalik hendak menaiki sepeda motornya. Tapi Abyl cepat menangkap tangan Azzalyn dan memutar badan gadis itu hingga berhadapan langsung dengannya.

“Apa semudah itu cintamu hilang? Atau sejak awal kau memang tidak mencintaiku? Beberapa hari yang lalu kita berjanji untuk akan tetap bertahan meski semua orang di dunia ini menentang kita. Kita sudah berjanji akan menghadapi semua tantangan ini bersama. Tapi kenapa sekarang kau bilang akan mengakhiri semuanya?”

Azzalyn tak menyahut. Jarak mereka yang begitu dekat membuat dadanya berdebar. Tak bisa dipungkiri, Azzalyn sangat mencintai Abyl. Dan tak mungkin semudah itu ia menghapus cintanya dalam semalam, meski alasan untuk menghilangkan perasaan itu sangat kuat.

Tapi Azzalyn tak mungkin untuk terus mencintai orang yang bisa disebut kakak lelakinya itu. Kemarin-kemarin dia memang tak akan peduli dengan orang-orang yang tak merestui mereka, tapi sekarang dia yang memang harus menyerah.

“Iya, aku memang nggak pernah mencintaimu, aku mendekatimu karena hanya ingin hartamu!” Azzalyn berbohong. Dia hanya ingin Abyl menyerah dan membiarkan dia pergi.

“Tuh kan, aku bilang juga apa? Kak Abyl nggak percaya kalau kemarin aku bilang cewek itu cuma mau harta doang!” suara seorang gadis mengejutkan mereka berdua. Kompak Abyl dan Azzalyn menoleh ke arah suara. Dwita, adik perempuan Abyl terlihat berdiri di samping seorang lelaki muda dan tampan.

“Ngapain kamu ada di sini?” Abyl gondok. Adik perempuannya itu suka sekali ikut campur urusannya. Dan Abyl tahu kalau Dwita tidak menyukai Azzalyn.

“Aku minta antarin Kak Bintang ke sini. Papa telepon tadi, nyuruh liatin Kak Abyl ada nggak di kantor. Papa khawatir tadi Kak Abyl bawa mobil kayak orang kesetanan.”

“Aku nggak pa-pa. Udah, pulang sana!” Abyl mengusir Dwita. Ia ingin Dwita dan Bintang segera pergi. Ia tak mau urusannya dengan Azzalyn terganggu dengan kehadiran adik dan sahabatnya itu.

“Nggak mau! Pengen dengar kalian berantem lagi! Kalian putus ya?” tanya Dwita menyebalkan.

“Nggak ada urusan sama kamu! Ngapain repot-repot ke sini?

“Yeee... Ni orang dibilangin aku ke sini di suruh Papa. Pikun, masih muda juga.”

“Kamu lihat kan? Aku nggak pa-pa! Bisa pergi sekarang?!” Abyl mulai emosi. Adiknya itu benar-benar pembangkang. Padahal usia mereka terpaut lumayan jauh, hampir tujuh tahun. Tapi sikap Dwita padanya terlalu santai, bahkan kadang terkesan kurang ajar.

“Mbak, kalau mau putus, putus aja yah. Mbak sudah berada pada keputusan yang tepat. Sadar diri biarpun terlambat nggak pa-pa, cari yang selevel sama Mbak. Jangan ketinggian cari tipe calon suami.” Dwita mengejek Azzalyn. Ia senang sekali saat tadi ia mendengar kalau Azzalyn memutuskan hubungannya dengan kakak lelakinya itu. Ibunya pasti sangat senang sekali mendengar berita ini.

“Bisa diem nggak??!!! Bintang, tolong bawa dia pulang sekarang. Tolong!!!” Abyl hampir kehilangan kesabarannya. Saat genting seperti ini, ada saja yang mengganggu.

“Ayo kita pulang, Dwi. Biarkan mereka menyelesaikan urusan mereka sendiri.” Bintang menarik tangan Dwita, dan ia menurut. Dwita memang menyukai Bintang sejak lama. Tapi tak ada tanda-tanda kalau lelaki itu menyukainya seperti menyukai lawan jenis. Bintang sepertinya hanya menganggap dia seorang adik.

“Dwita, kamu...” suara Azzalyn yang tiba-tiba, menghentikan langkah Dwita dan Bintang. Dwita berbalik badan dan menatap Azzalyn yang kini juga sedang memandangnya dengan tatapan dingin. “Kamu juga seharusnya cepat sadar diri. Jangan terlalu suka mepetin cowok yang jelas-jelas nggak suka sama kamu. Apalagi dengan minta diantar ke sana-sini. Ngerepotin orang aja. Kalau aku, biarpun level yang kucari terlalu tinggi, tapi aku dengan mudah bisa membuat mereka bertekuk lutut. Kamu nggak laku? Sampai-sampai nggak capek ngejar satu cowok doang?”

“Kau....” Dwita panas mendengar kalimat Azzalyn. Badannya sudah bergerak hendak mendekati Azzalyn. Tapi tangan Bintang cepat menahannya.

“Udah ayo pulang!” Bintang memaksa Dwita, memutar badan gadis itu agar pergi menjauh.

“Jangan sok hebat! Sok menaklukkan cowok kaya, putus juga kan?” Dwita masih tak puas hati. Badannya yang sudah agak menjauh tadi ia lepaskan dari pegangan tangan Bintang.

“Iya aku putus karena aku sudah dapat yang lebih baik. Kakakmu ini nggak ada apa-apanya!” Azzalyn membalas, ia bukanlah tipe orang yang diam saat dihina. Dia tak akan pernah membiarkan orang lain menginjak-injak harga dirinya.

“Apaan...” Dwita hendak membalas lagi, tapi Bintang kembali menangkap badannya, dan menyeret sambil memeluknya. Meski tak puas hati, Dwita terpaksa menurut. Dia begitu menyukai Bintang, sahabat Abyl sejak SMP itu.

Setelah Dwita dan Bintang tak terlihat lagi, Azzalyn kembali sibuk mengikat kardusnya.

“Azzalyn, tolong kita harus bicara,” Abyl memohon.

Tapi Azzalyn tak menjawab sama sekali. Ia menghidupkan mesin kendaraannya dan meninggalkan Abyl yang kini hanya bisa memandang Azzalyn yang kian menjauh.

***

“Papa dengar dari Dwi, katanya kamu putus dengan Azzalyn?” Krisna bertanya pada putranya yang kini sedang mengurut keningnya. Terlihat sekali kalau Abyl sedang frustasi.

“Dasar mulut ember!” ucap Abyl kesal.

“Kenapa?”

“Nggak tahu Pa. Mungkin karena di keluarga ini nggak ada yang merestui hubungan kami,” kata Abyl dengan nada sedih. Krisna pun jadi ikut sedih mendengarnya.

“Papa menyukai Azzalyn, tapi nggak tahu kenapa, ada suatu hal mengganjal yang membuat Papa nggak mau kamu menikahinya.”

“Sama aja, Pa!”

“Sebenarnya, ada sesuatu tentang Azzalyn yang mengganggu pikiran Papa,” Krisna berkata dengan ragu. “Tapi Papa nggak berani mikir terlalu jauh. Udah lama Papa ingin kamu mengatur pertemuan untuk Papa dan Azzalyn. Ada yang mau Papa ketahui tentang dia. Tapi tahu kan, Mama kamu itu selalu aja ngikutin Papa ke mana-mana. Sejak Papa pensiun dari perusahaan, Papa makin nggak bisa bebas.”

“Papa mau nanyain apa? Kenapa nggak bilang dari dulu?”

“Kamu tahu kan kalau Mama dan Dwita nggak suka sama Azzalyn, Oma juga. Jadi Papa nggak berani bilang kalau ada mereka. Papa nggak mau bertengkar.”

“Pa, sebenarnya kemarin Abyl ke rumah Azzalyn. Maafkan Abyl Pa. Tapi Abyl sangat mencintai Azzalyn. Abyl ingin menikah dengannya. Jadi Abyl pikir nggak akan peduli sekalipun di rumah ini tak ada yang merestui kami, asal Ibu Azzalyn menyetujui hubungan kami.”

Mata Krisna membulat. Ia tak menyangka putranya senekat itu. “Lalu?” tanyanya, masih berusaha untuk bersikap bijak.

“Ternyata Ibu Azzalyn pun tak merestui kami. Bahkan dia mengusirku dan meminta untuk menjauhi Azzalyn selamanya. Papa tahu, apa alasannya?”

“Apa?”

“Dia bilang, karena aku anak Papa dan Mama. Dia bilang dia mengenal keluarga kita.”

Kening Krisna berkerut. “Kamu tahu siapa nama Ibunya Azzalyn?” tanyanya kemudian. Ada yang ingin ia pastikan. Dan jawaban dari Abyl membuat jantungnya hampir copot.

“Renita Frastika.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status