Share

BAB 5

Azzalyn menata rapi nasi dan lauk pauk di meja makan. Sebentar lagi mereka akan makan malam bersama.

“Bu, udah siap semua,” katanya pada sang ibu yang sedang memijit kaki Abidin, kakeknya.

“Iya. Bantu Ibu gandeng Mbah ke dapur ya.”

Azzalyn hanya mengangguk dan langsung mengambil posisi di sebelah kiri sang Kakek. Bersama dengan ibunya ia memapah Abidin yang tampak kesulitan berjalan. Usianya yang sudah terlampau tua, ditambah lagi kesehatannya yang semakin menurun sejak kepergian istrinya 2 tahun lalu membuatnya sering sakit-sakitan.

“Udah masukkan lamaran kerja ke mana aja kamu?” tanya Renita sambil menyuapi Abidin.

“Azzalyn udah coba masukkan di tempat Meta sekarang kerja. Katanya lagi ada lowongan Sales Marketing.”

“Udah ada panggilan interview ?”

“Belum Bu. Baru juga dua hari yang lalu.”

“Ibu kasihan lihat kamu yang sekarang jadi kerja sama Bi Ina,” suara Renita terdengar sedih.

“Emangnya kenapa Bu?” Azzalyn menghentikan suapannya.

“Ya kamu jadi jualan sayur di pasar. Padahal kamu masih muda dan cantik,” kata Renita.

“Yah, kok gitu? Apa karena aku cantik, apa lebih baik kerja jadi penyanyi di kafe aja ya?” Azzalyn menggoda ibunya.

“Azzalyn, nggak lucu!!” Renita yang awalnya sedih jadi merengut.

Azzalyn tertawa. “ Habis... Mesti gimana lagi coba. Masih syukur ada pekerjaan. Lagian kan cuma sementara. Jualan sayur di pasar juga nggak masalah. Itu bukan sesuatu yang memalukan Bu,” Azzalyn mencoba menghibur ibunya.

“Beneran, kamu nggak masalah?”

“Ya nggaklah! Malah jualan sayur di pasar itu penghasilannya lebih gede dari kerja kantoran loh Bu.”

“Iya memang. Kerja di kantor cuma menang gengsi, tapi dompet tebelan orang jualan sayur. Jadi, apa kamu berminat alih profesi? Jualan sayur aja?” Renita berbinar. Mengharap anak gadisnya itu tak lagi terobsesi kerja di kantor.

“Nggak ah! Apaan??! Ibu ngelunjak, mentang-mentang Azzalyn memuji orang jualan sayur, trus di suruh jadi tukang sayur juga,” Azzalyn mengakak. Renita hanya bisa tersenyum kecut.

***

Abidin mencolek lengan Azzalyn yang kini sedang asyik melihat acara di TV. Azzalyn mendekatkan telinganya pada mulut sang kakek. Karena Abidin tak lagi bisa bicara dengan jelas, membuat Azzalyn maupun Renita harus bersusah payah menajamkan telinga dan mengartikan setiap kalimat Abidin.

“Adi... Iang... Ada... Yang... Atang ... Ini...”suara Abidin terdengar kecil dan serak.

Azzalyn tertegun. Ia menoleh pada ibunya. “Tadi siang ada yang datang ke sini Bu? Siapa?”

Renita menghentikan kegiatannya yang sedang melipat pakaian. Dia memang suka melipat pakaian sambil menonton acara TV kesayangannya.

“Siapa Bu?” Azzalyn mengulang pertanyaannya. Dia berpikir, apa mungkin Abyl?

“Krisna yang datang ke sini.”

“Mau apa dia ke sini?”

“Dia datang meminta maaf.”

“Dia lagi ngelawak? Setelah 25 tahun baru meminta maaf? Apa dia pantas dimaafkan?” suara Azzalyn terdengar penuh emosi.

Renita diam. Ia melirik ke arah ayahnya. Renita bingung, dari mana ayahnya tahu kalau tadi siang ada Krisna datang? Bukankah ayahnya itu kesulitan kalau berjalan sendiri?

“Kita harus pindah dari sini Bu!” ujar Azzalyn.

Renita tersentak. “Ke-kenapa?” tanyanya.

“Hari ini Om Kris yang datang. Besok-besok bisa aja Tante Riska yang akan ke sini. Azzalyn nggak mau berurusan dengan mereka. Jangan sampai hidup kita yang selama ini damai, jadi nggak tenang karena mereka. Kita secepatnya pergi, cari tempat tinggal baru. Sejauh mungkin, kalau perlu kita merantau ke luar pulau.”

“Nggak semudah itu Azzalyn. Untuk pindah kita perlu banyak biaya. Trus gimana dengan kerjaan kamu? Gimana dengan rumah ini?” Renita keberatan.

“Rumah ini kita jual. Soal yang lain itu bisa kita pikirkan nanti Bu. Sekarang yang penting kita menjauh dulu dari mereka. Kan Ibu sendiri yang bilang, kalau Tante Riska itu orang yang menghalalkan segala cara untuk menjatuhkan orang yang nggak disukainya. Aku nggak mau terjadi apa-apa sama Ibu ataupun Mbah.”

“Tapi, sepertinya nggak akan apa-apa kalau kita tetap di sini Azzalyn. Krisna nggak akan membiarkan terjadi apa-apa pada kita.”

“Ibu nggak salah ngomong nih? Kenapa tiba-tiba Ibu jadi nggak mau menjauh dari mereka? Apa hubungannya lagi dengan Om Kris? Jangan bilang tadi siang Om Kris datang minta maaf, trus Ibu luluh. Atau yang lebih parah, Ibu jatuh cinta lagi sama dia? Orang yang udah menyakiti dan mencampakkan Ibu seenaknya. Jangan jadi orang bodoh Bu! Nggak semudah itu seharusnya Ibu memaafkan dia. Tante Riska dan Oma Narti emang jahat, tapi lebih jahat dia. Ibu tahu kenapa? Karena Tante Riska dan Oma Narti itu orang lain, yang memang bisa saja berbuat jahat sama Ibu. Tapi Om Kris, dia adalah orang yang bilang akan mencintai dan menjaga Ibu, tapi kenyataannya, justru dia yang tanpa hati membuang istrinya, hanya karena nggak mau bersabar. Hanya karena hasutan murah!” geram Azzalyn. Matanya memerah menahan marah.

“Azzalyn...”

“Apa yang dia janjikan untuk Ibu? Apa dia bilang akan datang ke sini lagi? Apa dia minta Ibu untuk kembali sama dia? Apa Bu?!” Azzalyn tak bisa menahan amarahnya. Dadanya sesak.

Renita tak berani menjawab, takut salah bicara.

“Dia nggak boleh dimaafkan! Azzalyn nggak akan pernah memaafkan dia! Kalau Ibu lebih memilih mengikuti perasaan Ibu daripada logika dan akal sehat, silakan! Azzalyn yang akan pergi dari sini dengan Mbah!” ancamnya. Tangisnya pecah.

Renita pun sudah berurai air mata. Apa yang dikatakan Azzalyn memang benar. Tak seharusnya ia semudah itu luluh. Seharusnya ia lebih memikirkan masa depan Azzalyn daripada perasaannya yang bisa saja membawa bahaya pada mereka di kemudian hari.

“Maafkan Ibu Azzalyn. Kita akan pergi. Berkemaslah! Beri Ibu waktu beberapa hari, untuk menawarkan rumah ini. Besok Ibu akan ke rumah Paman Bandi, mau bilang berhenti kerja sekalian mengambil uang gaji Ibu yang sebagian ditabung padanya.” Renita memeluk sambil mengelus kepala Azzalyn. Abidin hanya bisa menitikkan air mata melihat adegan sedih di depannya.

***

“Kamu yakin mau pergi dari kampung ini Reni?” tanya Bandi dengan nada sedih. Sudah hampir 25 tahun Renita bekerja padanya. Saat Azzalyn baru berumur 2 bulan, Renita datang memohon pekerjaan. Karena iba, Bandi memberi kesempatan pada Renita, dengan tugas mengurus ikan-ikan di kapalnya yang baru datang dari melaut. Renita juga diberi kepercayaan untuk mengatur penjualan ikan kepada para tengkulak.

“Iya Bang. Saya harus cari tempat tinggal baru. Saya juga sebenarnya berat mau pergi. Tapi Azzalyn ingin cari suasana baru katanya,” ujar Renita tak kalah sedih. Bagaimanapun, Bandi adalah orang yang selama ini banyak membantunya. Sudah ia anggap seperti saudaranya sendiri.

“Jadi kamu mau ambil gaji dan tabunganmu?”

“Iya Bang, untuk tambah-tambah uang penjualan rumah.”

“Rumahmu udah ada yang mau beli?”

”Udah Bang, Pak RT yang mau beli, beliau memang sudah lama berminat sama rumah kami.”

“Trus, udah tahu mau pindah ke mana?”

Renita menggeleng. “Azzalyn sedang mencari informasi tentang tempat tinggal yang baru. Dia belum memutuskan.”

Bandi mengangguk. Kemudian ia membuka dompet tebal di tangannya. “Ini uang yang kau sisihkan selama beberapa tahun ini, Reni. Totalnya ada hampir 13 juta,” kata Bandi.

Renita melotot, hampir tak percaya dengan apa yang didengarnya. Ia memang menyisihkan uang gajinya setiap bulan, sejak Azzalyn lulus SMA. Meski tiap bulan yang disimpan kecil, tapi ternyata setelah bertahun-tahun terkumpul cukup banyak.

“Ini 13 juta uang tabunganmu. Dan ini 5 juta dariku untukmu, sebagai ucapan terima kasih karena selama ini kau telah membantuku,” kata Bandi.

“Ini... Jangan Bang. Aku tak pantas menerima ini. Seharusnya aku yang berterima kasih. Jangan membuatku sedih,” Renita menangis terharu.

“Tak apa Reni. Anggap ini kuberikan untuk Azzalyn. Dia sudah kuanggap anakku sendiri. Ini kuberikan untuk dia menikah nanti, karena aku tidak mungkin untuk menghadiri pernikahannya.”

Renita tersedu. Sungguh terasa sangat berat perpisahan ini. Bandi menyerahkan uang dan menggenggamkannya di tangan Renita. Terasa tangan Bandi pun bergetar, matanya merah berkaca-kaca menahan tangis.

“Berhati-hatilah di tempat yang baru, Reni. Sebelum kalian berangkat, singgahlah dulu ke sini.” Suara Bandi bergetar. Renita hanya bisa mengangguk dengan lelehan air mata di pipinya.

“Aku akan ke kapal Bang. Hari ini hari terakhirku kerja,” kata Renita di sela isak tangisnya. Bandi hanya mengangguk.

Renita pamit dan langsung menuju pelabuhan. Sesampainya di sana ia melihat Karyo, karyawan Bandi yang masih muda sedang merapikan kapal.

“Kebetulan Mbak datang. Aku izin sebentar ya Mbak, mau beli nasi bungkus.”

Renita mengangguk dan segera menggantikan pekerjaan Karyo. Karyo melesat pergi dengan menaiki motor bebeknya.

Saat sedang menggeser box ikan, pandangannya tertuju pada seorang wanita yang rupanya sedari tadi sudah memperhatikannya. Seorang wanita berpenampilan layaknya orang kaya. Terlihat elegan dan cantik. Wanita itu membuka kacamata hitamnya.

“Halo Reni....”

“Riska??!!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status