Share

BAB 6

“Kacau sekali penampilanmu Reni. Aku heran kenapa Mas Kris bisa sangat menyukaimu, bahkan tak pernah bisa melupakanmu. Padahal kau nggak ada apa-apanya kalau dibandingkan denganku.” Riska berkata dengan nada yang begitu merendahkan.

“Bagaimana kau bisa ada di sini?”

“Kenapa? Kau pikir kalau Mas Kris bisa datang ke sini diam-diam di belakangku, aku tak bisa melakukan hal yang sama?”

“Mau apa kamu?!”

Riska berjalan mendekati Renita. “Aku mau bertemu dengan sahabat lamaku. Nggak boleh?” tanya Riska sambil mendekatkan wajahnya, menatap tepat ke manik mata Renita.

Renita mundur beberapa langkah. Hatinya ciut. Bola matanya bergerak ke sana kemari, memindai keadaan sekitar, berharap ada orang lain selain mereka berdua. Namun tak ada siapa pun. Mungkin karena jam makan siang membuat para Anak Buah Kapal tak berada di tempat.

“Pulanglah Riska. Aku nggak mau ada hubungan apa-apa lagi denganmu dan keluargamu!”

Riska mendengus. “Oh ya? Tapi sepertinya kau masih ingin punya hubungan dengan Mas Kris.”

“Apa maksud kamu? Jangan bicara sembarangan!”

“Mau kutunjukkan buktinya?” tantang Riska.

“Bukti apa? Kau terlalu mengada-ngada.”

“Kau sedang berbohong atau memang pelupa? Atau kau terlalu menikmati pelukan Mas Kris semalam saat ia datang ke sini menemuimu?” nada suara Riska mulai meninggi.

“Aku... Aku...” Renita tergagap.

“Apa? Kamu mau bilang kalau dia yang memaksa memelukmu, dan kau tak bisa melepaskan diri? Begitu?!” Riska mengikuti langkah Renita yang berjalan mundur. Renita yang berbadan kecil dan kurus merasa kalau ia tak akan mungkin menang melawan Riska.

“Tolong pergilah dari sini. Aku dan Azzalyn akan pindah dari tempat ini.

Langkah Riska terhenti. “Aahh... Azzalyn ya? Aku hampir lupa kalau ada dia. Dari sejak pertama melihatnya aku udah nggak suka. Dia terlalu mirip denganmu. Mood ku langsung berantakan setiap bertemu dengannya. Aku heran kenapa Abyl bisa punya selera yang sama dengan Mas Kris. Mereka sama-sama menyukai gadis rendahan,” ejek Riska.

“Tutup mulutmu Riska! Kau boleh menghinaku, tapi jangan berkata hal-hal buruk tentang Azzalyn.”

“Aku nggak cuma akan menghinanya. Tapi aku akan membuat anak perempuanmu itu sangat menyesal telah mengenalku. Aku kaget kau punya anak, Reni. Jadi wajar kan kalau aku khawatir bila suatu saat nanti Azzalyn merusak posisi Abyl dan Dwita di hati Papanya?!”

“Jangan coba-coba kau menyentuh Azzalyn dengan tanganmu yang kotor! Aku akan...”

PLAKK!!

Belum sempat Renita menyelesaikan kalimat, Riska mendaratkan tamparan di pipinya.

“Kau bilang tanganku kotor? Hah?! Bilang sekali lagi?! Bilang!!! Kenapa kalian nggak mati aja sih selama ini? Kau sengaja membesarkan anakmu agar suatu saat nanti bisa merebut kembali Mas Kris dariku?” ujar Riska sambil menampar pipi Renita tanpa henti.

“Sudah cukup!!” Renita menghalau tangan Riska. “Seharusnya kau yang mati, dasar perempuan perebut suami orang! Aku sudah berniat akan pergi dari sini dan kembali mengalah, tapi kau tetap tak mau melepaskan kami? Kau benar-benar tak punya harga diri, Riska! Kalau kau begitu hebat, seharusnya tak takut Mas Kris akan berpaling darimu!”

Riska menggeram. Hatinya panas sekali mendengar kalimat terakhir dari Renita. Ia menjambak rambut Renita dan menamparnya beberapa kali. Renita melawan dengan kekuatan yang ia miliki. Namun Riska bukanlah tandingannya.

Tanpa disangka Renita tergelincir dan tercebur ke dalam air. Kepalanya sempat terbentur bagian badan kapal, mengeluarkan darah, dan seketika Renita pingsan dengan keadaan tubuh yang mulai melayang ke bagian dasar perairan yang dingin.

Riska terdiam. Ia sendiri pun tak menyangka akan terjadi seperti ini. Pertengkaran tadi membuat mereka berdua sama sekali tak menyadari kalau mereka sampai ke tepi badan kapal, yang menyebabkan Renita jatuh dan tenggelam.

Berkali-kali Riska melongok ke bawah dengan perasaan takut. Ia melihat ke sekeliling, tak ada orang. Terburu-buru ia meninggalkan kapal, menuju ke mobilnya. Sebelum ada orang yang memergoki perbuatannya.

***

“Bibi sedih loh kamu mau berhenti kerja sama Bibi. Padahal sejak kamu bantu jaga lapak, kerjaan Bibi jadi nggak terlalu berat,” Bi Ina berkata sambil mengikat sayur bayam menjadi beberapa bagian.

Azzalyn hanya tersenyum. “Makasih ya Bi udah mau nerima aku kerja. Maaf kalau selama di sini aku buat salah.”

“Nggak ada lah kamu buat salah,” Bi Ina mengibaskan tangannya. “Biarpun masih muda ternyata kamu cekatan juga kalau kerja. Bibi senang. Makanya Bibi sayang banget kamu mau berhenti. Emang ada apa sih kamu dan ibumu tiba-tiba mau pindah dari kampung ini? Udah puluhan tahun di sini. Udah enak punya banyak kenalan, eh malah mau pindah.” Bi Ina nyerocos.

“Nggak ada apa-apa Bi. Cuma mau cari pengalaman baru aja. Ingin lihat dunia luar.”

“Kapan kamu mulai pindah?”

“Secepatnya Bi. Kalau bisa dalam minggu-minggu ini.”

“Buru-buru amat. Emang udah dapat rumah di tempat tinggal yang baru?”

“Belom sih. Aku aja masih nggak tahu mau pindah ke mana.”

Bi Ina melotot dan mulutnya menganga lebar, wajahnya jadi lucu dan membuat Azzalyn tergelak.

“Hus... Anak perempuan nggak boleh ketawa kayak gitu! Nanti susah dapat pacar.”

“Habis muka Bibi lucu.” Azzalyn masih terkekeh. Perutnya sampai terasa sakit. Bi Ina terlihat semakin cemberut.

“Kamu itu yang lucu! Masa’ mau pindah tapi nggak tahu pindahnya ke mana.” Bi Ina bersungut.

“Lagi cari tempat yang sesuai Bi. Semoga aja cepat ketemu.”

“Kalau memang masih belum berangkat, tolongin Bibi dulu ya beberapa hari ke depan,” pinta Bi Ina.

“Emang Bibi nggak mau cari anak buah lagi buat gantiin aku?” tanya Azzalyn.

“Nggak! Takut nggak jujur. Takut nggak cekatan. Takut nggak sesuai harapan Bibi.”

“Dih, banyak amat kriterianya.” Azzalyn kembali tertawa.

“Biarin. Kalau mau cari orang yang mau bantu kita kan emang harus gitu. Kalau nggak, bisa bikin masalah ke depannya.”

Azzalyn terdiam. Mereka kembali disibukkan oleh kedatangan para pembeli. Meski sudah hampir sore, pasar masih sangat ramai.

Terdengar bunyi nada dering HP milik Azzalyn. Karena sedang sibuk melayani pembeli, Azzalyn tak sempat mengangkat dan memilih untuk mengabaikannya sejenak. Namun ia terlupa untuk mengecek HP nya. Padahal ia sudah berniat akan menelepon balik setelah keadaan pasar agak sepi. Pembeli yang berdatangan terus-menerus membuatnya lupa sama sekali.

Setelah selesai membantu Bi Ina berkemas, Azzalyn membuka HP dan mengecek panggilan terakhir yang masuk. Tak ada yang mengangkat saat ia mencoba menelepon. Ia pun membuka aplikasi pesan.

Mendadak badannya gemetar dan langsung berlari seperti orang kesetanan, meninggalkan Bi Ina yang terheran-heran. Sebuah pesan dari Paman Bandi hampir saja membuatnya pingsan.

[ Azzalyn kenapa telepon dari Paman nggak diangkat? Ibumu hilang sejak tadi siang. Sepertinya terjatuh ke sungai. Tolong cepat datang. Sampai sekarang kami masih mencarinya ]

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Srigustini
penasaran seperti apa yah mohon di lanjutkan
goodnovel comment avatar
Bahagia Aku Kamu
penasaran... kira kira endingnya gimana yaaa
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status