Share

BAB 4 ANTUSIAS IBU

“Tunggu apalagi Yah, ayo temui dia!” kata Rika, panik.

Ahmad menoleh ke arah Zivana. Tatapannya sendu karena mengasihi sang putri. Dia tidak menyangka bahwa istrinya telah mengatur semuanya dengan cepat. Sehingga pria yang dijodohkan dengan putrinya itu telah datang. 

Ini pasti menjadi hal yang paling sulit untuk Zivana. Ahmad mendekati putrinya yang terlihat diam saja sedari tadi, 

“Kamu tidak apa-apa, sayang?” tanya Ahmad, lembut.

Zivana menoleh ke ayahnya, lalu mengangangguk. Dia memaksakan bibirnya tersenyum agar ayahnya tidak mencemaskan dirinya. Padahal hatinya kini sudah tidak karuan. Terlebih saat mendengar bahwa pria itu sudah ada di sini, di rumahnya.

“Jika kamu belum siap bertemu dengannya, kamu masuk ke dalam saja. Biar ayah sama ibu yang menemui dia.” 

Zivana mengangguk. Lalu dia meninggalkan ayahnya dan pergi ke kamar. Berjalan menuju kamarnya, Zivana bisa melihat pria yang sedang menunggu di ruang tamu itu dari atas. Sejenak Zivana berhenti melangkah dan melihat ke pria yang kini sedang duduk itu.

“Apakah dia yang akan menjadi suamiku?” 

Seolah merasakan jika Zivana sedang memperhatikannya, pria itu menengadahkan kepalanya ke atas dan melihat Zivana yang sedang melihat ke arahnya. Kedua mata itu bertemu, saling pandang. Sejenak mereka sama-sama terpaku satu sama lain. 

“Kamu Damar?” kata Rika, menyapa ramah.

Damar pun mengalihkan pandangannya ke wanita separuh baya di depannya. Begitu juga dengan Zivana, dia langsung bersembunyi agar sang ibu tidak mengetahui bahwa dirinya tadi mengintip dari atas. Dia tidak mau ibunya berpikir bahwa dia mau menerima perjodohan ini. 

Zivana berjalan kembali ke kamarnya dengan pikiran yang penuh tentang pria itu. Dari segi fisik, dia tidak buruk. Malah dia terlihat seperti seorang model papan atas, tiba-tiba dia teringat kejadian saat matanya saling bertemu dengan mata pria itu. Matanya tajam, tegas namun teduh. Hidungnya mancung dan bibirnya tipis. Jika dilihat postur tubuhnya juga bagus. 

“Tunggu-tunggu kenapa aku jadi memuji pria ini?” 

Zivana menggeleng-gelengkan kepalanya mencoba mengusir bayangan pria itu dari dalam kepalanya. Secara tidak sadar, Zivana sudah mondar-mandir di kamarnya. Dia terlihat gusar, merasa terancam karena sebentar lagi pasti sang ibu akan memanggilnya untuk menemui pria itu. Dia bingung, bagaimana harus bersikap di depan pria itu.

Dan benar, beberapa detik kemudian teriakan sang ibu terdengar.

“Zivana! Turunlah!” 

Zivana memejamkan matanya, saat mendengar panggilan sang ibu itu. Prediksinya benar, ibunya itu tidak akan menunggu lama untuk mempertemukan dirinya dengan pria itu. Jika bisa, mungkin malam ini juga dia akan diseret ibunya ke pelaminan, jika memungkinkan. Saking antusiasnya dia dengan perjodohan ini. Apalagi pria itu sangat kaya, pemilik perusahaan besar. Siapa yang akan menolak? Tidak ada, termasuk ibunya.

Mau tidak mau Zivana pun menemui pria itu, dia berjalan menuju ruang tamu di mana Ibu dan ayahnya sudah duduk di ruang tamu. Zivana melihat pria itu dengan ekspresi datar. 

“Hai, Aku Damar. Salam kenal,” kata pria itu saat Zivana tiba di depannya. 

Zivana tersenyum canggung sambil menyambut uluran tangannya. 

“Zi-Zivana,” jawab Zivana, canggung.

Pria itu tersenyum, terpesona dengan gadis di depannya. Dia sungguh merasa tidak menyesal saat tiba-tiba mendapat tugas untuk mendatangi rumah salah satu kandidat yang akan mendapatkan investasi dari perusahaan di mana dirinya bekerja. Padahal awalnya dia sangat malas sekali harus terbang ke Surabaya hanya untuk kunjungan survey ini. Tetapi begitu melihat ada gadis cantik bernama Zivana, dia langsung bersemangat.

“Mari silakan duduk,” kata Ahmad, memecahkan kecanggungan.

Zivana pun duduk di samping sang ayah.

“Kedatangan saya ke sini untuk…” ucapan Damar terputus dengan Ibu Zivana yang saking antusiasnya bertemu calon menantunya. 

“Iya kami sudah tahu. Berapa lama Nak Damar akan di sini?” tanya Rika, begitu saja. 

Zivana merasa tidak suka dengan ibunya yang menunjukkan betapa bahagianya dia bertemu dengan pria itu. Zivana mendengus kesal. Mukanya terlihat cemberut. 

“Oh baguslah kalau begitu Pak, Bu. Saya jadi tidak perlu menjelaskannya lagi. Mungkin dua hari, Bu.” 

Damar merasa lega dan senang karena kedatangannya disambut dengan hangat oleh keluarga itu. Sesekali dia mencuri pandang ke arah Zivana yang kini sedang terlihat cemberut. Hingga tanpa sadar membuat Damar terkekeh karena merasa gemas dengan ekspresi Zivana. 

“Oh begitu, Kalau begitu saya tinggal dulu sebentar.”

Damar mengangguk sopan, sambil matanya tidak lepas dari Zivana. Rika mengajak Zivana masuk ke dalam. Lalu mengambil sprei dan selimut dari lemari besar dan memberikannya kepada Zivana. 

“Ini, bersihkan dan rapikan kamar tamu untuk Damar ya? Lihat sendiri kan, calon suamimu begitu tampan dan sopan.”

Zivana hanya diam saja, tidak menyahuti ucapan ibunya itu. Dia tahu, bahwa ibunya tidak akan berhenti berusaha untuk membuatnya menerima perjodohan ini. Zivana hanya memutar bola matanya malas sambil membawa apa yang diberikan ibunya tadi ke kamar tamu.

“Cepat selesaikan, yang bersih!” teriak Rika. 

Zivana segera menyelesaikan apa yang ditugaskan ibunya. Dia tidak mau ibunya itu mengomel semalaman hanya karena dirinya tidak melakukan tugas itu dengan baik. Dia mulai mencopot sprei lama yang ada di tempat tidur dan menggantinya dengan yang baru. Lalu melipat selimut dan meletakkannya di pinggir. Dia menepuk-nepuk selimut itu lalu mengibaskannya, untuk merapikan selimut. Lalu dia menepuk-nepuk kedua tangannya setelah melihat tugasnya selesai.

Dia tersenyum melihat hasil kerjanya. Saat dia berbalik ingin keluar dari kamar itu, dia terkejut saat tiba-tiba melihat ada seseorang di depannya yang hampir saja dia tabrak.

"Kamu?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status