Share

BAB 6 PRIA ANEH

Damar tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi Zivana yang menurutnya sangat lucu. Zivana merasa sedang dikerjai. Sehingga dia merasa sangat kesal sekali. Dia pun meninggalkan Damar yang masih menertawakannya. 

“Pria aneh!” umpat Zivana, kesal.

Zivana berjalan menuju kamarnya, karena merasa sudah tidak ada gunanya lagi berada di sana. Dia merasa harus memikirkan kembali apa yang sudah dia putuskan tadi. Tentang membuka hatinya kembali. Mungkin dia akan membuka hatinya itu untuk seseorang, tetapi bukan pria aneh bernama Damar itu.

Zivana mendengus kesal. Tak habis pikir bagaimana bisa ada orang seperti pria itu. “Seharusnya pria itu memperlakukanku dengan baik, mengingat aku adalah calon jodohnya. Tetapi ini tidak, dia malah membuatku kesal terus-terusan. Cakep sih cakep tapi kelakuan minus.”

Zivana sebal bukan main. Malam ini dia terus-terusan mengatakan pria itu menyebalkan. Hingga dia terlelap dalam tidurnya, dia masih saja mengumpat Damar. Gadis itu tidak tahu bahwa itu adalah awal bagaimana hatinya tidak akan bisa melupakan pria itu nantinya.

***

Keesokan paginya, Zivana terbangun saat mendengar suara berisik di depan rumah. Zivana membuka pintu yang tersambung ke balkon depan. Rupanya pria itu sedang melakukan senam pagi dengan mendengarkan musik yang sangat keras. Zivana yang tidak terbiasa dengan kebisingan, karena dia lebih menyukai suasana yang tenang pun protes. 

“Maaf Pak, bisa dikecilkan sedikit suaranya? Kamu mengganggu tidurku.”

Damar pun berjalan ke pengeras suara yang terletak di atas meja dan mengecilkannya. Lalu melihat ke Zivana. Pria itu kembali tersenyum setengah terpesona, melihat Zivana yang posisinya saat ini sedang menghalangi sinar matahari. Dan itu terlihat seolah-olah Zivanalah yang bersinar. Damar terpesona beberapa detik, mengagumi kecantikan Zivana. 

“My Sunshine,” lirih Damar. 

Senyum di bibir Damar pun kembali terbit. Membuat Zivana kembali takut karena melihat pria itu kembali tersenyum tanpa alasan. Dia berlari kembali masuk ke kamarnya dan menutup pintu balkon itu, takut jika Damar kemudian nekat naik ke atas dan mendatanginya. 

ZIvana bergidik, dia melihat ke jam yang ada di atas nakasnya. Dia pun segera berlari ke kamar mandi karena hari ini ada mata kuliah pagi yang tidak boleh terlewatkan. Jika tidak, nilai mata kuliahnya akan merah di semester ini. 

Setelah beberapa menit kemudian, Zivana sudah bersiap mengenakan celana jeans dan kemeja berwarna biru. Dia mengambil tas dan bukunya lalu turun ke bawah. Rupanya kedatangannya bersamaan dengan Damar yang masuk dan kemudian ikut duduk salah satu kursi menghadap ke meja makan.

Mereka saling menatap satu sama lain beberapa detik. Kebetulan Rika melihat hal tersebut dan tersenyum, dia pikir Zivana telah menerima perjodohan itu. Dan kemudian tercetus ide di kepalanya. 

“Nak Damar, ada acara hari ini?” tanya Rika, tiba-tiba.

Hal itu membuat Damar sedikit gelagapan. Dia pun terlihat menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil tersenyum ke arah Ibu Zivana. 

“Eh, tidak ada. Baru nanti siang aku akan membantu di supermarket Pak Ahmad,” jawab Damar. 

“Bagus! Bisa antarkan Zivana ke kampus? Karena aku akan pergi dengan supir ke arisan, jadi dia tidak ada yang mengantar Zivana pergi ke kampusnya.” 

Zivana seketika mendelik, dia tak menyangka ibunya akan melakukan hal ini. Padahal selama ini, ibunya itu selalu cerewet jika dirinya dekat dengan teman pria di kampusnya. Tetapi kenapa sekarang Ibunya itu malah meminta Damar untuk mengantarnya.

"Apakah dia akan berusaha membuat pria aneh itu dekat denganku hari ini?"

Zivana sudah bisa menebak isi kepala Ibunya, dia menatap ibunya dan berniat memprotes perkataan ibunya, tetapi Ibunya setengah melotot kepadanya. Itu sebagai tanda bahwa dirinya dilarang protes dan wajib menurut. Zivana pun hanya bisa menghela napas berat sambil memutar matanya jengah. Mau tidak mau dia pun harus menurut dengan apa yang diinginkan ibunya itu.

Saat Zivana merasa keberatan dengan permintaan ibunya, Damar malah berbungah-bungah seolah mendapatkan lampu hijau untuk perasaannya kepada gadis itu. Dia sungguh harus berterima kasih kepada Pram yang dalam hal ini adalah atasannya. Karena tugas yang diberikannya, dia bisa bertemu dengan gadis yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama. 

“Oh tentu saja dengan senang hati, Nyonya.” 

“Panggil Ibu, Nak.” 

Senyum Damar semakin lebar tatkala mendengar ibu Zivana seperti membuka tangan lebar-lebar mempersilahkan dirinya memasuki keluarganya. Itu artinya peluang mendapatkan restu untuk menjalin hubungan kepada Zivana semakin besar. Damar merasa sangat senang dan beruntung sekali.   

“Kalau begitu aku akan bersiap dulu,” kata Damar, antusias lalu pergi ke kamarnya.

Zivana yang sudah sarapan pun menunggu Damar yang akan mengantarkan dirinya ke kampus. Dia menunggu dengan cemas, apakah dirinya akan baik-baik saja bersama dengan pria itu. Mengingat beberapa hari ini jantungnya sungguh sedang tidak dalam keadaan normal. Apalagi dia harus berdekatan dengan pria aneh ini. 

“Berangkat sekarang?” tanya Damar begitu keluar dari dalam rumah dan menghampiri Zivana. 

Zivana seketika tercengang melihat Damar yang tampil kasual dengan balutan celana Jeans warna biru tua dengan kaos berwarna putih yang pas banget di badannya. Belum lagi kaca mata hitam yang nangkring di atas hidungnya. Membuatnya bak seorang model yang akan berjalan di catwalk. 

“Mau kemana?” 

Iseng Zivana bertanya kepada Damar, entah mendapat keberanian dari mana dia hingga berani menyapa pria yang semalaman hampir membuat jantungnya hampir meledak saking cepatnya berdegup.

“Mengantarmu ke kampus,” jawab Damar, enteng.

Zivana tertawa, tanpa mengatakan apapun dan masuk ke dalam mobil.  Dia masih tidak bisa menghentikan tawanya bahkan saat Damar mulai menjalankan mobil itu. Damar sesekali terlihat mencuri pandang ke Zivana. Dia seolah tak mau kehilangan pemandangan saat ini, sehingga dia tak berhenti mencuri pandang ke arah gadis itu.

Rupanya Zivana menyadari bahwa pria itu sedari tadi mencuri pandang ke arahnya. Dia pun menghentikan tawa, dan mengusap butir air mata karena rasa geli yang menggelitik perutnya. Lalu melihat ke Damar.

“Kenapa kamu tidak bertanya kenapa aku tertawa?”

Damar menggeleng. Dengan pandangan masih fokus ke depan.

“Kenapa?” tanya Zivana, penasaran.

“Aku senang melihatmu tertawa seperti sekarang ini, kalau bisa jangan berhenti tertawa. Agar aku bisa melihat tawamu itu terus.”

Bukan tersanjung, Zivana malah menghentikan senyumnya. Dia lupa jika yang di depannya sekarang ini adalah pria aneh yang bisa tertawa sendiri dan kini dia menyuruhnya untuk tidak berhenti tertawa. 

“Apakah dia ingin aku gila sepertinya?” pikir Zivana.

Zivana pun kesal dan mulai membenarkan posisi duduknya. Kini pandangan matanya melihat ke depan. 

“Kenapa berhenti tertawa?” tanya Damar.

Sesekali Damar melirik gadis yang sekarang sedang cemberut itu. Dia kembali tersenyum, melihat bagaimana gadis itu bisa dengan cepat berubah mood dan ekspresi. Hal ini menjadi hiburan tersendiri di hati Damar. Sepertinya dia akan sangat menyukai gadis ini. 

“Aku tidak mau gila sepertimu?” jawab Zivana, ketus. 

Seketika Damar menginjak rem mobil dan mobil berhenti mendadak. Hampir saja Zivana terbentur dashboard mobil karena aksi Damar itu. Dia langsung melihat tajam ke arah Damar. 

Namun saat melihat Damar, Zivana terkejut. Damar terlihat marah dan bertanya, terlihat jelas di wajah pria itu bahwa dia tidak menyukai kata-katanya tadi.

“Apakah kamu baru saja mengatakan aku gila?” tanya Damar, tidak suka. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status