Share

Ranjang Suami yang Terbagi
Ranjang Suami yang Terbagi
Penulis: Rira Faradina

Bab 1

"Kapan mereka akan selesai bermesraan di sana?" keluh Vania gelisah karena melihat Rendi dan Karin yang masih bicara di dekat pintu. Bukan apa-apa, tapi wanita itu ingin segera pergi ke kantor. Dari balik bahu, ia melirik jam dinding sambil menggerutu.

"Sepertinya, aku akan terlambat," gumamnya pelan.

Ekor mata Vania masih belum lepas menatap mereka yang masih asyik saling menatap di sana. Dengan senyum tipis, Karin merapikan dasi di leher Rendi. Membuat dada Vania terasa sesak.

Kembali, Vania melirik jam di dinding. Seharusnya, ia sudah berangkat sejak sepuluh menit yang lalu. Jika ia terus menunggu, bukan tak mungkin dirinya bisa telat untuk rapat bulanan pagi ini.

Sengaja, Vania mengetuk ujung sepatu yang dipakainya agar menimbulkan suara. Untung saja, usahanya berhasil. Akhirnya pasangan suami istri itu sekarang menoleh padanya.

"Ehem ... Kau mau pergi, Vania?" sapa Rendi datar. Berbeda dengan tatapan yang dia berikan pada istri pertamanya.

"Iya, mas. Maaf, aku pergi dulu. Mbak Karin, aku berangkat." Vania pamit dan melintas di hadapan mereka berdua tanpa menoleh.

"Vania ...!"

Refleks, wanita itu menoleh ketika mendengar Karin memanggilnya. "Ada apa, mbak?"

"Jangan pulang terlalu malam. Nanti rencananya, mbak akan masak ayam kecap kesukaanmu," ujar Karin tersenyum.

"Terima kasih, Mbak. Maaf, tapi sepertinya aku akan pulang terlambat lagi malam ini. Ada acara sama teman kantor." Vania beralasan.

"Apa harus datang ke sana? Tak bisakah sekali kali kau pulang lebih awal?" keluh Rendi sambil melempar pandangan sendu pada Karin.

Vania benci dengan tatapan itu. Tatapan penuh kasih sayang yang diperlihatkan Rendi untuk kakak madunya itu. Tatapan mata penuh dambaan yang tak pernah sekali pun lelaki itu perlihatkan padanya.

"Maaf mas, tapi, aku sudah janji. Permisi, aku berangkat ke kantor dulu."

Vania langsung membalikkan badan, menghindar dari tatapan mata mereka berdua. Dia berlalu pergi meninggalkan mereka yang masih memandanginya. Ia tahu, Rendi mungkin kesal karena sikapnya ini. Tapi, ia malas jika nantinya harus melihat kemesraan mereka berdua kembali di meja makan.

Helaan nafas panjang terdengar dari bibirnya. Menikah di usia 23 tahun karena perjodohan. Sungguh, ini bukanlah keinginannya.

Tiga bulan lalu, Narendra Syauqi Atmadja menikahinya karena permintaan kedua orang tuanya walaupun pria itu telah memiliki Karin, istri pertamanya yang dinikahi lelaki itu lima tahun yang lalu.

Istri kedua, itulah status Vania di rumah ini. Gadis yang terpaksa dinikahi Rendi karena Karin tidak bisa memberikan seorang penerus. Awalnya, Vania menolak keras untuk menjadi orang ketiga dalam pernikahan mereka, tapi keadaan yang memaksanya untuk menerima pernikahan ini.

Sejak Vania kecil, kedua orang tuanya sudah bekerja di rumah keluarga Atmadja. Sudah 20 tahun bapaknya mengabdi sebagai sopir di keluarga Hardi Atmadja, yang sekarang telah menjadi papa mertuanya. Sedang ibu, dulunya dia bekerja sebagai pelayan yang merawat Martha, Neneknya Rendi. Sebelum akhirnya memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga.

Vania tak mampu menolak perjodohan ini karena keluarga Atmadja yang memberikan tempat berteduh dan membiayai pendidikannya hingga ke bangku kuliah. Sebagai anak satu-satunya, ia merasa inilah caranya berbakti membalas jasa mereka kepada kedua orang tuanya.

"Vania! Kau tidak mau berangkat bersama denganku?" Suara Rendi terdengar dari arah belakang, sedikit mengejutkannya.

Vania menggeleng cepat.

"Tidak mas, terima kasih. Aku naik taksi saja, sebentar lagi, taksinya akan tiba."

Ekspresi dan tatapan mata Rendi nampak dingin. Tak terlihat jika dia kecewa ataupun khawatir akibat penolakan Vania.

Sudah cukup jelas bukan? Di hatinya, hanya ada Karin saja. Sepertinya, tidak akan pernah ada ruang untuk Vania di sana.

Yah, cinta Rendi hanyalah untuk istri pertamanya. Itulah yang Vania lihat selama menjadi istrinya. Mungkin, Vania terlalu berharap untuk bisa sedikit menyentuh hati lelaki itu, agar bisa sedikit memberinya cinta.

"Ah," sudut bibirnya berkedut.

Vania menghentakkan kakinya. Dia sengaja melakukannya. Entah mengapa tatapan mata Rendi kini membuatnya jengah.

"Masuk ke mobil, Vania!" Terdengar suara Rendi memerintah.

Vania bergeming, mengabaikan ucapan Rendi, dan lebih memilih menunggu taksi yang dipesannya tiba.

"Vania!"

"Aku bisa pergi sendiri, mas!" jawab Vania setengah berteriak lalu memalingkan wajahnya.

"Tak bisakah sekali saja kau tidak membantah, Vania?"

Arghh!

Terdengar erangan pelan dari bibir Vania ketika dengan cepat tangan Rendi menarik kasar lengannya. Memaksa tubuh feminim itu masuk ke dalam mobilnya.

"Kau benar-benar keras kepala, tak bisakah kau menuruti ucapanku?!" ujar Rendi begitu mereka berdua sudah duduk di dalam mobil.

"Kenapa mas? Kau tidak suka?"

Rendi memutar kunci mobilnya dan mengabaikan ucapan Vania yang seakan ingin memancing kemarahannya. Suara mesin mobil yang menyala kini terdengar, membuat Vania memalingkan wajahnya.

Vania masih melihat lambaian tangan Karin dari balik spion mobil. Tak lama, mobil yang dikemudikan Rendi menghilang dibalik pagar besi nan menjulang itu.

Sepanjang perjalanan mereka tidak saling bicara, Vania lebih memilih memandang ke luar jendela. Sedang Rendi fokus dengan kemudi di tangannya, tentunya dengan raut wajahnya yang dingin.

"Apa kau juga akan mengikutiku hingga ke dalam?" ketus Vania bertanya ketika melihat Rendi yang ikut keluar dari mobil.

"Aku hanya ingin memastikan bahwa kau baik-baik saja, aku tak suka jika ada yang menatapmu cukup lama," sahut Rendi dengan arah pandangan mata tertuju pada seorang rekan kerja Vania yang sedang memandangnya.

"Astaga, kau benar benar menyebalkan, mas!" keluh Vania sambil menghentakkan ujung sepatunya, meninggalkan Rendi yang menatapnya dengan sudut bibir yang melengkung.

Bersambung

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Fahmi
Kamu benar benar menyebalkan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status