Share

Bab 5

"Ini," ucap Delia, rekan kerja Vania sambil meletakkan setumpuk map dihadapannya.

"Banyak amat," keluh Vania cemberut.

"Tahu tuh si nenek sihir, katanya semua ini harus selesai sebelum makan siang besok!"

"Besok?" Protes Vania tak percaya.

"Iya!" Delia menegaskan.

"Nenek sihir itu memaksaku lembur hari ini." Vania mendengkus kesal.

Delia mengendikkan bahunya, mendengar keluhan Vania.

"Sepertinya begitu, baby." Balas Delia setengah berbisik.

"Kau protes saja pada nenek sihir itu." Lanjut Delia sambil melirik ruangan manager yang berada tak jauh dari meja kerja mereka.

Vania menggeleng lemah. Ia sudah bisa membayangkan apa jawaban Bu Maria, Sang manager, jika ia nekad mengajukan protes. Wajah masam diperlihatkannya ketika melihat kembali tumpukan map setinggi dua puluh centimeter itu.

"Aku mau pesan makan siang, kau mau nitip nggak?" Tanya Delia sambil menatap layar ponselnya.

"Pesankan aku mie ayam Pak Amien saja."

"Ok." Delia menyahut lalu mengetik pesan di ponselnya.

"Minumnya apa?" Kembali Delia bertanya.

"Jus alpukat."

Kelopak mata Delia membesar begitu mendengarnya, membuat Vania mencebik.

"Kenapa kau melihatku seperti itu?" Protes Vania.

"Tidak, aku hanya iri denganmu, kau bisa makan mie ayam dan jus alpukat dengan begitu tenangnya tanpa takut makanan itu bisa membuat berat badanmu naik. Kalau aku, minum air putih tiga gelas saja rasanya berat badanku sudah naik dua kilo," keluh Delia yang sontak membuat Vania terkekeh.

"Aku sudah kurus sejak lahir. Lagipula seharusnya kau beruntung, bukankah itu artinya hidupmu bahagia, katanya sih gemuk itu lambang kemakmuran yang artinya suamimu itu berhasil membuatmu bahagia." Sahut Vania asal bicara.

Delia mengerucutkan bibir mendengarnya.

"Bicara denganmu membuatku ingin makan semangkok mie ayam juga. Kau bisa membuat dietku gagal total, Vania," sungut Delia lalu membalikkan badan meninggalkannya dan kembali ke meja kerjanya yang berada di sisi kiri ruangan.

Vania menyunggingkan senyum ketika melihat kekesalan di wajah Delia, tak lama, ia kembali memalingkan wajah, menatap kembali ke layar laptop di hadapannya.

Ruangan kerja ini terdiri dari beberapa kubikel yang memisahkan meja satu dengan yang lain. Ada dua belas karyawan dalam ruangan ini, termasuk dirinya.

Menjadi seorang staf administrasi, itulah posisinya di kantor ini. Sudah setahun lebih ia bekerja disini, tepatnya sejak lulus kuliah. Ia tak menyangka jika lamaran kerjanya diterima di kantor asuransi ini.

Vania menghela nafas panjang, diliriknya jam di dinding ruangan, sudah pukul setengah dua belas, sebentar lagi waktunya untuk istirahat makan siang, namun, begitu melihat tumpukan dokumen yang baru saja diletakkan tadi di atas mejanya. Kembali, ia terlihat tak bersemangat.

Jemarinya mengetuk meja, dengan satu tangan lainnya membuka laci meja kerjanya, mengambil sebuah stress ball dari dalam sana. Tak lama tangannya mulai bermain dengan mainan bulat pengurang stress itu, memutar, menekan, ataupun mengelusnya. Sesuatu hal yang sering dilakukannya jika pikirannya sedang kusut seperti ini.

Vania menyandarkan punggungnya di kursi. Pembicaraan dengan Karin beberapa hari lalu tiba tiba terlintas kembali di benaknya. Ia tak menyangka jika pernikahannya akan menjadi serumit ini.

"Sepertinya tak ada jalan lain, aku memang harus keluar secepatnya dari rumah itu, jika tidak, aku khawatir tak akan kuat bertahan," bisik Vania pelan.

***

"Kau pulang terlalu malam, Vania," tegur Rendi begitu Vania melangkah masuk ke dalam rumah.

"Aku ada lembur di kantor, mas," Jawab Vania singkat.

"Harusnya kau mengabari. Tak tahukah kau jika Karin menunggumu untuk makan malam bersama?"

"Maaf." Jawab Vania pendek.

Vania terus berjalan menuju kamarnya, tak ia pedulikan tatapan mata Rendi yang menghujam seakan ingin menghakimi. Tubuhnya terlalu lelah, karena tumpukan pekerjaan di kantor yang menyiksanya tadi.

Baru saja beberapa langkah kakinya menaiki tangga, ekor matanya menangkap sesosok tubuh sedang berdiri memandangnya dari atas. Vania mengigit bibirnya sambil terus melanjutkan langkahnya.

Vania menghela nafas berat, sengaja ia menghentikan langkahnya begitu melihat Karin yang berdiri di hadapannya. Dengan mengenakan gaun tidur satin berwarna biru muda, kakak madunya itu terlihat begitu cantik malam ini.

"Jangan terlalu sering pulang malam, Vania. Itu tak baik untuk kesehatanmu," ucap Karin lembut.

"Kau sudah makan? Jika belum, akan kuminta bibi untuk mengantar makanan ke kamarmu." Lanjutnya lagi.

Sebuah lengkungan tipis terlihat di wajah Vania. Ia tak tahu apakah harus berterima kasih memilki seorang madu yang terlihat begitu memperhatikannya ini. Entahlah, Vania sudah lelah untuk kembali berpikir.

"Gaun tidur itu sangat cocok untukmu, mbak." Balas Vania lalu melintas tenang melewati tubuh Karin.

"Vania!" Teriak seseorang dari belakang memanggil namanya.

"Ya," Jawabnya menoleh kearah sumber suara.

"Jaga sikapmu pada Karin! Apa itu caramu bersopan santun pada orang yang lebih tua? Karin bertanya padamu, bukankah etikanya kau harus menjawabnya?" Protes Rendi.

"Aku memuji gaunnya, apa itu juga dilarang?" Balas Vania.

"Dan lagi, jangan sok mengajariku bersikap." Lanjut Vania lalu melengos, membuang pandangannya ke arah lain.

"Mas, sudahlah!" Karin berusaha melerai.

"Vania masuklah ke kamarmu. Istirahatlah." Lanjut Karin beberapa saat kemudian.

Vania menghentakkan kakinya, suara berdecit terdengar dari ujung sepatunya. Segera ia melanjutkan langkah menuju kamarnya.

Suara Rendi yang terdengar menggerutu masih terdengar samar di telinganya. Vania hanya memejamkan mata, mencoba menekan emosinya yang mulai terpancing.

"Tak usah mengkhawatirkanku mbak, dan tak usah repot-repot meminta bibi mengantar makan malam ke kamarku, aku sudah makan bersama teman di luar tadi," ucap Vania datar lalu menoleh sebentar ke arah dimana pasangan suami istri itu berada, tak lama ia pun masuk dan mengunci pintu kamarnya.

Vania meletakkan tasnya di tepian ranjang. Wajahnya terlihat begitu kesal. Tak lama, tangannya menarik kasar sehelai handuk lalu bergegas masuk ke kamar mandi.

Berdiri di bawah shower dan mengguyur tubuhnya dengan air, itulah cara yang selalu ia lakukan untuk meredakan emosi. Pertengkaran singkat tadi tak pelak membuat pikirannya kembali kusut.

Vania meremas kuat rambutnya. Ia tahu apa yang sedang dilakukannya. Menghindar, itulah cara yang dipilihnya demi menjaga kewarasan dan kenyamanannya di rumah ini. Ia tak akan sanggup jika harus terus melihat kemesraan mereka berdua di meja makan.

Cemburu.

Ya, mungkin ia cemburu melihat keharmonisan kakak madunya itu bersama suami mereka, melihat senyum bahagia yang selalu mereka berdua perlihatkan, membuat hati Vania teriris. Bayang-bayang dirinya yang hanya di manfaatkan sebagai mesin pencetak anak semakin membuatnya merasa tersisih di rumah ini.

Haruskah ia marah?

Suara air yang keluar dari shower memenuhi ruangan sempit ini seakan menelan semua keluh kesahnya. Perlahan dadanya yang terasa sesak kini mulai stabil. Vania mengambil nafas sebanyak mungkin, mengisi paru paru nya dengan rakus, seakan-akan ingin mengembalikan rongga pernafasannya agar berfungsi dengan normal setelah terasa sesak cukup lama. Setidaknya, guyuran air mengikis kembali perasaan emosionalnya yang tadi hampir melesak keluar.

Suara ketukan pintu terdengar begitu Vania keluar dari kamar mandi, harum lavender menguar di kamarnya. Untuk sesaat ia terpaku begitu mendengar suara yang terdengar bersamaan dengan ketukan pintu untuk yang kedua kalinya.

"Vania, bisakah kau membuka pintu kamarmu sebentar?"

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status