Share

Bab 6

Suara ketukan pintu terdengar begitu Vania keluar dari kamar mandi, harum lavender menguar di kamarnya. Untuk sesaat ia terpaku begitu mendengar suara yang terdengar bersamaan dengan ketukan pintu untuk yang kedua kalinya.

"Vania, bisakah kau buka pintunya sebentar?"

***

Masih dengan kimono mandi yang dipakainya, Vania melangkah ke arah pintu. Sesaat ia memejamkan mata, lalu menghela nafas panjang.

Aroma maskulin langsung tercium begitu pintu kamarnya terbuka. Tampak disana berdiri seorang pria yang langsung menatapnya dengan manik obsidiannya yang gelap.

"Ada apa mas?" Tanya Vania datar dengan sorot matanya yang dingin.

"Aku ingin bicara sebentar padamu, Vania?"

"Masuklah."

Tangan Vania membuka lebar pintunya Lalu membalikkan badan mencoba menghindar dari tatapan mata Rendi yang membuatnya tak nyaman.

Vania memilih duduk di kursi meja riasnya, sementara Rendi berdiri tak jauh dari ranjang. Untuk sesaat Vania merasa begitu canggung kala melihat sosok tegap dan atletis tengah berdiri di hadapannya.

Rendi memang tampan, wajah dengan rahang yang tegas, tubuh yang proporsional dan manik obsidiannya yang sekelam malam, membuat sosoknya begitu memikat. sayang, hati pria itu sudah terikat erat dengan Karin, wanita yang begitu ia cintai dan dinikahinya lima tahun lalu, membuat Vania merasa kehadirannya dalam hidup pria itu seakan menjadi seonggok pajangan saja.

Dulu, saat ia masih duduk di sekolah menengah, Vania sering mendengar bapaknya bercerita tentang para gadis yang sering menitip hadiah untuk anak lelaki majikannya ini. Bukan tanpa alasan bapaknya mengetahui semua itu, karena Tuan dan Nyonya Atmadja memang menugaskankan beliau untuk mengawasi anaknya ketika mereka sedang berpergian keluar kota ataupun keluar negeri.

Wajar saja, karena Rendi memang begitu memukau. Tak heran jika banyak gadis yang terpikat dengan pesonanya. Mungkin termasuk dirinya.

Tidak, itu tak boleh terjadi. Vania sadar ia tak mungkin bisa memiliki cinta pria itu.

Rasanya begitu sesak menahan perasaan yang tidak terbalas seperti ini. Membuat Vania seketika merasa begitu rendah diri, dan takut bila mengingat banyaknya hinaan dan hujatan yang ditujukan padanya karena status istri kedua yang disandangnya.

"Vania!" Panggil Rendi memecah lamunannya.

"Apa yang ingin dibicarakan, mas. Katakan saja karena aku ingin istirahat."

"Tadi mama meneleponku. Ia meminta kita bertiga ke rumahnya minggu depan." Ujar Rendi dengan wajah datar tanpa ekspresi.

"Lalu?"

"Apakah pertemuan ini akan membahas tentang kehamilanku?" Vania berdesis. Menekan emosinya.

Untuk sesaat hanya keheningan yang tercipta diantara mereka. Vania tidak tahu bagaimana ia harus bersikap dengan pernyataan yang baru saja di ucapkan suaminya. Haruskah ia menghindar?

Rendi masih berdiri di hadapannya dengan kedua tangan yang ia masukkan ke dalam saku celana. Dapat Vania rasakan tatapan mata Rendi yang seakan ingin menguliti dirinya. Aura mendominasi begitu kuat dirasakan olehnya.

"Kau selalu menghindar dariku Vania." Suara Rendi terdengar rendah.

Vania menggeleng pelan.

"Aku tidak menghindar mas, aku hanya menjaga perasaanku sendiri."

"Maaf." Terdengar lirih dari bibir Rendi.

"Untuk apa?"

"Karena aku tak bisa menjadi seorang suami yang kau harapkan."

"Tak perlu. Aku tahu dimana posisiku."

"Aku ingin kita bertiga datang, mama akan sangat kecewa jika kau menghindar karena beliau sangat ingin bertemu denganmu."

"Jangan memaksaku, mas." Lirih Vania dengan suara yang terdengar bergetar.

Helaan nafas Rendi terdengar berat. Pria itu lalu melangkah mendekati Vania, tak lama, tangan kokohnya melingkar di pinggang ramping Vania, membuat gadis itu seketika gugup.

Wajah mereka kini sangat dekat, Vania bisa merasakan hangatnya nafas Rendi yang menyentuh pipinya. Tatapan mata Rendi seakan mengunci tubuh Vania, membuat gadis itu membeku.

Untuk beberapa saat tak ada yang bicara diantara mereka, hanya suara dari mesin pendingin ruangan yang terdengar. Rangkulan tangan Rendi yang lembut di pinggangnya membuat Vania masih membeku di hadapan lelaki itu

"Karin mengunci kamarnya ...." Ucap Rendi terputus.

"Lalu, mas ingin tidur di sini?" Vania menyela lalu melepas tangan Rendi yang melingkar di pinggangnya.

"Iya, jika kau perbolehkan."

"Kau bisa tidur dimana saja kau mau mas, ini rumahmu. Aku cuma menumpang di rumah kalian." Vania mendesis lalu melepas handuk yang membungkus rambutnya.

Aroma maskulin masih samar tercium, membuat Vania menggigit bibirnya. Ia tak munafik jika aroma tersebut menggelitik sisi feminimnya. Vania memalingkan wajahnya, berusaha menyembunyikan rona pipinya yang memerah.

Rendi mengulas senyum tipis melihat sikap Vania yang masih terkesan menghindar. Sebuah senyuman yang tanpa sengaja tertangkap oleh ekor mata Vania. Gadis itu tak tahu apa yang tersembunyi dibalik senyuman itu karena begitu cepatnya pria itu mengubah raut wajahnya kembali dingin. Membuat hati Vania dirundung tanya.

Mungkinkah tadi ada hal yang aneh atau lucu hingga membuat pria yang selalu bersikap dingin padanya itu tiba-tiba tersenyum?

Entahlah, Vania sedang malas untuk berpikir.

Dengan penuh percaya diri, Rendi berjalan ke ranjang Vania. Kemeja berwarna abu-abu dengan lipatan di bagian lengan itu semakin membuat pria berusia tiga puluh tahun itu terlihat tampan, membuat Vania langsung memalingkan wajahnya karena kembali terpesona.

"Aku akan tidur disini." Ucap Rendi memutuskan sendiri. Setelah mengucap kalimat itu pria itu langsung duduk dan melipat kedua kakinya di atas ranjang.

Vania diam, tak mengajukan protes atau mendebat ucapan Rendi. gadis itu lebih memilih duduk di depan meja rias yang berada tepat di sisi kanan ranjangnya dan melakukan rangkaian perawatan wajah.

Dengan memasang wajah datar Vania sibuk dengan beberapa produk kosmetik yang ia oles di wajahnya. Tanpa gadis itu sambil sadari jika sebuah ponsel sedang mengarah padanya.

"Melihat istri sendiri berdandan, kurasa kebiasaan yang bagus," salah satu sudut bibir Rendi melengkung.

"Aku akan tidur di sofa saja." Ujar Vania begitu meletakkan pelembab wajah.

Rendi tak menjawabnya, pria itu nampak memasang wajah datar, seakan mengabaikan perkataan Vania barusan.

Sebuah bantal dan selimut di tarik paksa Vania dari atas ranjang. Wajah masam yang gadis itu perlihatkan, tak lama, Ia melangkah menuju ke sebuah sofa tunggal, yang berada tak jauh dari jendela kamarnya.

"Apa kau harus tidur disana?" Protes Rendi begitu Vania menyibak selimut ke seluruh tubuhnya.

"Tidur saja mas. jika kau merasa terganggu, jangan melihat ke arah sini." Ketus Vania kasar.

"Kita bisa tidur bersama di ranjang ini."

"Tidak." Jawab Vania cepat.

Vania memejamkan mata, ucapan Rendi barusan membuat tubuh bergidik. Entah mengapa, ia merasa suaminya bersikap sedikit aneh malam ini.

"Baiklah jika itu yang kau inginkan, selamat malam."

Vania tidak menjawabnya. Gadis itu semakin merapatkan matanya, tak lama, dengkuran halus terdengar, ia terlelap.

Rendi beranjak dari ranjang, pria itu melangkah ke arah sofa dimana Vania sedang terlelap. Gadis itu meringkuk dengan tubuh berbalut selimut hingga leher. Surai hitam yang masih setengah basah membuat istri mudanya itu terlihat begitu feminim dan cantik, membuat sudut bibir Rendi kembali melengkung.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status