Karin tersenyum tipis mendengar ucapan Vania. Membuat Vania semakin sulit mengartikan sikap kakak madunya itu."Kau salah Vania. Aku tidak sebaik yang kau kira."***"Apa maksudnya?" Mata Vania menyipit."Kau akan tahu suatu saat nanti, jika kau ingin bertanya apakah aku cemburu atau sakit hati. Maka jawabannya adalah iya. Aku begitu cemburu denganmu Vania. Bahkan rasanya ingin mencekik leher atau mencakar wajahmu." Tatapan mata yang menghujam dapat dirasakan Vania. Membuat gadis itu menaikkan salah satu sudut bibirnya. "Ada lagi yang ingin kau katakan?" Pertanyaan Karin hanya dijawab dengan gelengan kepala oleh Vania. Melihat Vania bungkam, Karin membalikkan badan bermaksud meninggalkan kamar Vania."Aku tahu apa yang kulakukan, Vania." Ucap Karin sebelum menutup pintunya.Vania masih berdiri terpaku. Helaan nafas panjang terdengar, ia berusaha mencerna sikap dan ucapan Karin barusan. Vania bisa melihat ada kesakitan yang tak terlihat dari setiap kalimat yang diucapkannya tadi.Se
"Vania, apa kabar?"Seorang lelaki dengan senyum terbaiknya telah berdiri sambil mengulurkan tangannya di hadapan mereka. Seketika membuat Vania gugup. Kekhawatirannya menjadi kenyataan karena mantan kekasih yang ingin dihindarinya kini telah berdiri dihadapannya.Sambil mengulas senyum tipis, Vania menjawabnya, tanpa ia sadari jika ada sepasang mata dengan sorot mata yang dingin kini tengah mengawasinya****"Kudengar kau sudah menikah?" Gio berbasa-basi."Iya, aku sudah menikah." Jawab Vania cepat.Pandangan mata Gio begitu intens memandang gadis yang berdiri dihadapannya. Membuat Vania seketika mengalihkankan pandangannya.Untuk sesaat Vania merasa sesak dan tidak nyaman, karena pandangan mata Gio yang seakan ingin mengulitinya. Untung saja, Lila membuka suara, membicarakan hal lain dan mengalihkan tatapan Gio yang sedari tadi menatap intens ke wajah Vania.Suasana canggung menyelimuti. Meski dulu mereka berdua pernah memiliki hubungan asmara, entah mengapa malam ini Vania merasa s
"Vania, kau ada masalah?" Kembali Karin bertanya."Yah, aku memang ada masalah, mbak. Dan masalahku ada pada kalian berdua!" Ketus Vania lalu menggeser kursinya. ***Delikan tajam diterima Vania dari Rendi, namun tak begitu ia pedulikan. Vania menegakkan punggung dan kepalanya seakan ingin menantang.Vania tahu sikapnya di meja makan ini akan berakhir dengan pertengkaran. Bukan maksudnya untuk memancing keributan atau mengundang kemarahan pasangan suami istri dihadapannya itu. Tapi, ia lelah melihat hal yang sama setiap pagi, berulang-ulang. Ditambah dengan kekesalannya semalam.Sebenarnya, Vania juga tidak mengerti. Mengapa beberapa hari ini emosinya seakan tidak stabil. Harusnya ia senang dengan sikap Rendi yang acuh, itu artinya memudahkan dirinya untuk bisa segera melupakan lelaki itu jika kelak mereka berpisah.Mungkin saja karena rasa cemburu dihatinya, itulah yang dipikirkan Vania saat ini.Sekuat tenaga ia berusaha menepis perasaan cintanya yang bertepuk sebelah tangan. Sudah
"Kau tahu mbak? aku bahkan lebih suka melihatmu membanting piring dan mengajakku ribut daripada berwajah penuh drama seperti itu." Tuding Vania kemudian."Vania!" Teriak Rendi ketika baru saja melihat istri keduanya itu menyelesaikan kalimatnya."Sudah cukup kau mendesak Karin seperti itu. Tidakkah kau tahu jika ia sendiri yang memintamu tinggal disini?" Bentak Rendi tahan lagi, seakan tak terima dengan pernyataan yang diungkapkan Vania."Kenapa? Bukankah harusnya seperti itu? Aku yakin tak ada seorang istri yang bahagia melihat suaminya menikah lagi, tak mungkin hatinya tidak sakit ketika mengetahui suaminya berbagi ranjang atau menghabiskan malam dengan wanita lain. Ucapanku benar kan, Mbak?" Sinis Vania bicara."Jaga sikapmu Vania! bagaimanapun dia adalah kakak madumu, hormati dia sebagai istri pertamaku." Hardik Rendi kemudian."Oh ya!? Kalau begitu, tolong minta padanya untuk tidak melakukannya lagi. Tak perlu bersikap manis dan memintaku untuk tinggal bersama kalian, itu seperti
Vania menghela nafas panjang. Mengontrol kembali perasaan emosionalnya yang masih kuat. Cukup lama ia terdiam. Hingga sebuah kalimat akhirnya meluncur bebas dari bibirnya."Jika kau begitu memikirkan ucapan orang dan menjaga perasaan orang kedua orang tuamu ataupun orang disekitarmu. Lalu bagaimana dengan perasaanku? pernahkah sekali saja kau memikirkannya?" Tanya Vania lirih dengan salah satu ekor mata yang mulai basah.****Dengan cepat, Vania menepis air mata yang hendak jatuh. Memalingkan wajahnya sejenak demi menutupi kedua manik matanya yang ingin berderai.Menghela nafas panjang demi memenuhi rongga dadanya yang seakan kehabisan oksigen, adalah hal yang sekarang dilakukannya, tak lama, tatapan mata yang begitu menghujam kembali di lempar Vania pada suaminya, ia begitu geram mendengar alasan yang dikemukakan lelaki itu. Hatinya terluka karena keberadaan dan perasaannya seakan tak berarti apa-apa.Menikahi pria yang telah menikah memang berbeda. Ada perasaan dan harga diri yang d
"Bisakah kau bertahan setahun saja. Jika memang nantinya kau memang masih tak bisa menerima pernikahan kita, aku berjanji akan membebaskanmu. Setidaknya, kita sudah berusaha dan alasan perpisahan kita nantinya bisa diterima oleh kedua orang tua kita."***Vania mematung, mengatup bibirnya. Mencoba mencerna ucapan Rendi dengan seksama."Anggap saja ini sebuah permohonan dariku." Lanjut Rendi.Sebuah kecupan mendarat di pucuk kepala Vania. Senyum yang mengulas wajah tampan lelaki itu, membuat Vania diselimuti kebimbangan. Kedua sisi hatinya kini mulai berlawanan. Antara menerima atau menolak tegas permintaan suaminya."Kau tidak sedang memanipulasi pikiranku kan? Atau berusaha mencari keuntungan dari perkataanmu?" Mata Vania menyipit, mencari celah kemungkinan lelaki di hadapannya ini berbohong."Tidak, aku tidak mengambil keuntungan apapun, percayalah padaku.""Baiklah. Aku percaya padamu," Vania menyerah."Tapi, aku juga punya permintaan." "Katakan saja.""Jangan mengatur apa pun yan
"Kau tahu, Vania. Aku cemburu, aku sakit hati, dan aku juga membenci keadaan ini. Haruskah aku melakukan apa yang kau katakan? Menjadi seorang ratu drama dan berbuat hal yang buruk demi bisa mencelakaimu hanya agar kau terdepak dari sisi Rendi?" Lirih Karin hampir tak terdengar.***Vania menggigit kukunya sambil memandang lurus ke luar jendela. Sofa tunggal yang diletakkan dekat jendela kamarnya kini menjadi bagian favoritnya. Bulu mata lentiknya sesekali nampak mengipas wajah. Seakan mengekspresikan rasa bosan yang mendera.Awan mendung sudah menggelayut sejak pagi. Rasa malas begitu anggun menyelimutinya. bahkan untuk sekedar pergi ke minimarket yang ada di ujung kompleks pun kakinya terasa berat seperti di gantungi berkilo-kilo batu.Sudah hampir dua minggu sejak kepindahannya dari rumah Rendi dan menghuni rumah baru hadiah pernikahan yang diberikan ibu mertuanya. Rumah berlantai dua yang kini dihuni berdua dengan Bi Sumi, seorang asisten rumah tangga yang baru seminggu yang lal
"Kau tidak pulang ke rumahmu, mas?" Tanya Vania sedikit malas."Tidak, aku akan tidur disini malam ini." Mendengar jawaban Rendi, membuat gadis itu memutar bola mata malas, lalu melirik suaminya itu dengan pandangan bosan."Oh, Jangan bilang kalau kau terpaksa kemari karena disuruh Mbak Karin?" Sindir Vania.***Rendi menggeleng." Tidak. Karin tidak meminta. Aku sendiri yang memutuskan untuk tidur disini malam ini."Mendengar perkataan Rendi, segera Vania berpaling. Bola matanya kembali memutar malas ketika lelaki yang terpaut hampir tujuh tahun darinya itu sedang melepas sandalnya dan berniat untuk rebah di ranjangnya."Kau pakai kamar di lantai bawah saja, mas. Maaf, tapi aku ingin sendiri di kamarku." Tegas Vania sambil melempar tatapan tajam."Tak masalah." Mendengar jawaban Rendi yang tanpa perlawanan. Tentu saja membuat Vania sedikit kaget, karena tak biasanya lelaki itu bersikap ramah dan mengalah padanya. Sungguh, terkadang Vania tak bisa mengerti isi kepala lelaki ini."La