Share

Bab 7

Karin menatap pantulan dirinya di cermin, memandang wajahnya sambil menghela nafas panjang.

Menyetujui pernikahan kedua suaminya mungkin adalah keputusan yang sangat bodoh dan konyol dalam pandangan orang lain. Berbagi raga suami dengan wanita lain bukanlah hal yang mudah. Banyak yang harus dikorbankan. Itulah yang sedang dirasakannya sekarang.

Tak ada yang bisa ia lakukan selain menerima keadaan ini. Karin juga menyadari ketidak-sempurnaan dirinya. Berkali kali ia menekan perasaan cinta dan harga dirinya, namun, hal itu tak semudah membalik telapak tangan untuk dilakukan. Air mata rasanya sudah habis tercurah dan mengering.

Memiliki seorang madu yang begitu cantik dengan menarik, tak pelak membuat Karin selalu menekan rasa cemburu dan ego. Ia sadar karena cepat atau lambat hal ini akan terjadi.

Karin menarik perlahan sebuah buku bersampul kulit sintetis dari laci meja riasnya yang paling bawah. Sebuah foto yang berada dalam buku itu terjatuh ketika ia memiringkan lembaran kertas dalam bukunya.

"Apa lagi yang bisa kulakukan? Rasanya sudah cukup besar pengorbanan yang telah dilakukan Rendi untukku selama ini. Aku tak ingin lagi menjadi beban." Jerit Karin tertahan.

Lama ia menatap foto tersebut. Jemarinya seakan enggan untuk melepas foto itu dari tangannya begitu pula dengan kedua pandangan matanya yang seolah tak ingin beralih.

"Kadang aku masih merindukanmu." Lirihnya tertahan.

Helaan nafas berat terdengar. Udara dingin yang keluar dari pendingin ruangan seolah menambah dinginnya hati Karin saat ini. Dikembalikannya lagi foto itu ke dalam buku bersampul itu, dan meletakkannya kembali ke tempatnya semula.

Kedua tangan Karin saling meremas kuat, lalu kembali memandang pantulan dirinya di cermin. Disana, ia seakan melihat beratnya beban rasa bersalah pada dirinya. Namun, selalu saja ia abaikan.

Karin beranjak dari tempat duduknya. Perlahan langkahnya menuju pintu keluar, meninggalkan kamarnya.

Langkahnya berhenti ketika hendak melewati kamar Vania. Kembali ia merutuki dirinya sendiri yang seakan ingin tahu apa yang sedang dilakukan suami dengan istri mudanya didalam. Meski terasa sesak, Karin memilih menyandarkan punggungnya di dinding tak jauh dari kamar Karin. Tak ayal rasa cemburu kini memenuhi rongga dadanya.

"Apa yang sedang kulakukan? Haruskah rasa cemburu ini ku turuti?"

Karin masih bersandar di dinding. Hatinya berdenyut lirih. Sesekali ia memejamkan mata demi menenangkan kembali perasaan emosionalnya yang seakan ingin melesak keluar.

Sejak awal ia tahu, hal ini akan terjadi. Memiliki madu memang tidaklah mudah. Namun, ini keputusannya bahkan ia sendiri yang telah memilih dan menerima Vania untuk menjadi istri kedua bagi Rendi.

"Kau berkata benar, Vania. Sebuah istana tak akan pernah bisa memiliki dua ratu didalamnya, jika istana itu tetap ingin bertahan, maka salah satu ratu harus segera disingkirkan." Gumam Karin menunduk pilu.

*****

Dering alarm yang memekik membuat Vania terbangun dari tidurnya. Matanya masih berat untuk membuka, ia sadar jika sekarang sudah waktunya untuk bangun. Namun, tubuhnya masih ingin menggeliat dan enggan lepas dari ranjang ini.

Merasa terganggu dengan suara alarm yang belum juga berhenti, akhirnya membuat Vania mengulurkan tangannya. Menggapai jam beker tersebut demi menghentikan suara deringnya yang menyakiti telinga.

Mata Vania menyipit ketika menyadari jika tubuhnya kini sudah berada diatas ranjang. Ia masih ingat, semalam ia tertidur di sofa yang berada di dekat jendela kamarnya dan sekarang?

Refleks, gadis dengan bulu mata lentik itu menoleh ke sebelah. Kosong, tak ada Rendi disana. Vania ingat jika semalam suaminya itu berada di kamar ini dan tidur di ranjangnya.

"Apa yang terjadi semalam? Mengapa aku tidak ingat? Astaga mungkinkah?" Spontan Vania melirik ke bawah selimut.

Piyama yang dipakainya masih utuh melekat di tubuhnya. Entah mengapa, ada tarikan nafas lega terdengar. Tak lama, pandangan mata Vania beralih menyusuri tiap sudut kamarnya, mencari keberadaan sosok lelaki yang bermalam di kamarnya, semalam.

"Ah, kau sudah bangun?" Suara berat seseorang terdengar begitu pintu kamarnya terbuka.

"Kau kah yang memindahkanku ke ranjang?" Vania mendesis.

"Iya, tak kusangka kau cukup berat." Ucap Rendi datar memandang istri keduanya itu.

"Ba-bagaimana bisa kau melakukannya? Ah ... Sudahlah!" Vania membuang selimut yang menutupinya lalu turun dari ranjang.

Ekor mata Vania melirik Rendi yang sudah berpenampilan rapi. Kemeja putih yang membungkus tubuhnya membuat lelaki itu terlihat begitu mengesankan. Membuat matanya kini berkhianat, seakan-akan tidak ingin melepaskan pemandangan yang begitu maskulin di hadapannya.

Ah, Vania menelan ludah. Sial, tak bisa ditampik, lagi-lagi ia terpesona dengan pesona lelaki dihadapannya ini.

"Kau sudah rapi?" Tanya Vania tak percaya sambil melirik jam beker yang menunjukkan angka lima kurang sepuluh menit.

"Aku ada janji dengan seseorang di bandung, mungkin nanti aku akan pulang terlambat karena sepulang dari Bandung, nanti sekalian menghadiri resepsi pernikahan anak kolega bisnisku," jawab Rendi.

"Oh."

Vania segera mengalihkan pandangannya ketika kedua mata mereka tak sengaja beradu pandang. Ia kembali memperlihatkan sikap dingin dan menghindar. Segera tangannya meraih handuk, berniat untuk membersihkan diri dan menunaikan ibadah shalat.

Tak terlihat lagi Rendi di kamar ketika Vania keluar dari kamar mandi. Hanya ada sajadah yang terlipat rapi di atas ranjang. Sepertinya suaminya keluar dari kamar setelah menunaikan kewajibannya. Membuat helaan kekecewaan lolos dari bibirnya.

"Mungkin ia pergi ke kamar Mbak Karin," gumam Vania pelan.

Sambil mengenakan pakaian, pikiran Vania seketika mengembara. Rasa cemburu kini menyeruak tak bisa ditahan. Ia sadar seberapa kuat ia menahan perasaannya. Suatu hari kelak pertahanan itu pasti akan jebol. Vania tidak mau itu terjadi. Karena nantinya akan sulit baginya untuk melepaskan diri dari Rendi.

Ketukan pelan terdengar beberapa saat setelah Vania menyelesaikan sholat subuhnya. Matanya melirik ke arah penunjuk waktu yang berada di atas nakas. Sudah hampir pukul enam. Sebentar lagi waktunya untuk sarapan.

"Vania, kau di dalam?" Suara Karin terdengar dari balik pintu.

"Masuklah mbak. Pintunya tidak dikunci."

Ada rasa canggung ketika Vania berdiri dihadapannya Karin pagi ini. Kakak madunya itu terlihat begitu segar dan menawan pagi ini dalam balutan dress selutut berwarna Lilac. Vania yakin, siapapun yang melihatnya pasti akan memberikan pujian padanya.

"Kau terlihat cantik pagi ini, mbak." Puji Vania tulus.

"Terima kasih."

Ucap Karin lalu berdehem pelan untuk menghilangkan kecanggungan diantara mereka.

"Ehm ... ku bisa pinjam charger ponselmu? Punyaku tiba tiba rusak, tidak ada daya yang terisi meski sudah semalaman di charger." Ujar Karin.

"Oh, tunggu sebentar aku ambilkan dulu." Ucap Vania sambil melangkah ke arah nakas, tempat dimana ia biasa meletakkan charger ponselnya.

"Ini." Ucap Vania sambil menyerahkan charger miliknya ke tangan Karin.

"Terima kasih. Aku pinjam dulu. Nanti akan ku kembalikan."

"Tak usah mbak. Pakai saja, aku masih punya satu lagi." Sahut Vania cepat.

"Baiklah, terima kasih."

"Ah, jangan lupa cepatlah turun, kita akan sarapan bersama." Lanjut Karin beberapa detik kemudian.

"Mbak ...!" Panggil Vania ragu.

"Ada apa?" Jawab Karin spontan.

"Kenapa kau melakukan ini, Mbak?"

"Apa maksudmu Vania?" Karin memandang Vania dengan intens.

"Mengapa terus membiarkan Mas Rendi ke kamarku. Bukankah semalam adalah jatah hari Mas Rendi untuk tidur di kamarmu, Mbak?" Tanya Vania tanpa basa-basi.

"Kenapa bertanya seperti itu, Vania?" Balas Karin.

"Sikapmu terlalu baik padaku, mbak. Membuatku khawatir." Keluh Vania.

"Lalu, kau ingin aku bersikap bagaimana, Vania? Seperti istri pertama yang tersakiti dalam sinetron ikan terbang yang sering ditonton Bi Asih itu? Menangis setiap hari atau merencanakan sesuatu yang buruk pada istri muda suaminya, begitu?" Ada nada ketus yang didengar Vania dari ucapan Karin.

Vania menggeleng lemah.

"Tidak, bukan seperti itu maksudnya, mbak. Tolong jangan salah paham. Aku hanya merasa kau terlalu baik untuk seorang wanita yang menjadi teman berbagi ranjang suamimu."

Karin tersenyum tipis mendengar ucapan Vania. Membuat Vania semakin sulit mengartikan sikap kakak madunya itu.

"Kau salah Vania. Aku tidak sebaik yang kau kira."

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status