Share

Bab 8

Karin tersenyum tipis mendengar ucapan Vania. Membuat Vania semakin sulit mengartikan sikap kakak madunya itu.

"Kau salah Vania. Aku tidak sebaik yang kau kira."

***

"Apa maksudnya?" Mata Vania menyipit.

"Kau akan tahu suatu saat nanti, jika kau ingin bertanya apakah aku cemburu atau sakit hati. Maka jawabannya adalah iya. Aku begitu cemburu denganmu Vania. Bahkan rasanya ingin mencekik leher atau mencakar wajahmu."

Tatapan mata yang menghujam dapat dirasakan Vania. Membuat gadis itu menaikkan salah satu sudut bibirnya.

"Ada lagi yang ingin kau katakan?"

Pertanyaan Karin hanya dijawab dengan gelengan kepala oleh Vania. Melihat Vania bungkam, Karin membalikkan badan bermaksud meninggalkan kamar Vania.

"Aku tahu apa yang kulakukan, Vania." Ucap Karin sebelum menutup pintunya.

Vania masih berdiri terpaku. Helaan nafas panjang terdengar, ia berusaha mencerna sikap dan ucapan Karin barusan. Vania bisa melihat ada kesakitan yang tak terlihat dari setiap kalimat yang diucapkannya tadi.

Sebuah koper besar yang masih tergeletak disamping lemari pakaiannya, seakan menggoda hatinya. Tak bisa ia pungkiri. Keputusannya untuk segera keluar dari rumah ini sebaik harus segera ia laksanakan. Jika tidak ingin perasaannya semakin terluka.

"Kau tahu akan tersakiti seperti ini, lalu mengapa membiarkan Mas Rendi menikahiku? Kadang rasanya ingin mencuci isi kepalamu itu dengan seember sabun, mbak. Agar kau bisa mengerti jika memiliki madu akan membuatmu sengsara. Dan lagi ...." Vania terdiam beberapa saat, lalu memejamkan matanya.

"Dan lagi ... Aku takut akan terlalu dalam mencintai Mas Rendi, rasa cemburu bisa membuatku lepas kendali dan sulit untuk melepaskan diri darinya. Kurasa lebih baik aku harus segera membicarakan semua ini pada mama. Yah, lebih cepat tentu akan lebih baik." Vania berucap lirih tanpa disadari tangannya kini mengepal kuat.

***

"Kau tidak lupa kan malam ini ada resepsi pernikahannya Dewi! Aku akan menjemputmu jam tiga sore, kuharap kau sudah mengajukan izin pulang lebih awal dari kantormu, Vania," ancam Lila, sahabatnya. Lewat sambungan telepon yang terdengar memekik di telinganya.

"Iya aku tahu." Jawab Vania tak bersemangat.

"Bagus."

"Jam dua lewat aku akan tiba di kantormu, kita akan mampir sebentar ke butik untuk ambil gaun lalu ke salon. Kuharap kau sudah bersiap sebelum aku datang."

"Bawel," Keluh Vania lalu menutup teleponnya.

Vania mengigit bibirnya, ajakan Lila untuk menghadiri acara resepsi pernikahan seorang teman semasa sekolah menengah dulu membuatnya gelisah.

Sebenarnya, Vania ingat akan undangan tersebut, namun sengaja ingin menghindarinya. Bukan tanpa alasan gadis itu menolak hadir tapi ia yakin jika Gio pasti akan ada disana. Dan lelaki itu adalah sosok yang sangat dihindarinya selama ini.

Vania tahu, Lila tak memiliki maksud apapun. Namun, tetap saja ia tak mampu untuk mengelak. Karena Dewi, sang mempelai wanita adalah sahabat baiknya sejak sekolah menengah dulu.

Vania, Dewi dan Lila adalah sahabat baik. Mereka berpisah karena memilih tempat kuliah yang berbeda. Namun, hal itu tidak membuat hubungan persahabatan mereka menghilang begitu saja. Setiap ada kesempatan, mereka akan masih saling berbagi cerita dan saling mengunjungi.

Sebuah nama kini belum terhapus dari hati Vania, meskipun sekarang ia telah menjadi istri Rendi. Namun, sebuah kisah masa lalu yang indah masih tersimpan rapi dalam memori ingatannya.

Giovanni, pemuda keturunan yang pernah begitu bertahta di hatinya dulu adalah kakak sepupu Dewi. Pemuda yang mengenalkan arti sebuah cinta kepadanya dan juga yang memberi rasa sakit hati padanya.

Kadang hidup memang tidak sesuai dengan rencana. Tak semudah ucapan dan tak semudah angan-angan.

Vania melipat kedua tangannya diatas meja lalu menatap tumpukan dokumen di hadapannya. Helaan nafas panjang lolos dari bibirnya.

"Mungkin lebih baik aku datang saja. Toh Mas Gio juga tahu aku sudah menikah. Kurasa mungkin ia juga sudah punya calon istri sekarang." Gumam Vania pelan.

***

Jam tiga sore Vania keluar dari kantornya. Dilihat sebuah lambaian tangan yang seolah menyapa dirinya. Bergegas ia melebarkan langkah karena tak ingin membuat Lila menunggu.

"Ayo cepat masuk ke mobil." Pinta Lila begitu langkahnya tiba dihadapan wanita itu.

"Kau tidak mengajak Mas Jordan?" Vania bertanya.

"Tidak, Mas Jordan ada urusan di rumah ibunya. Makanya ia memintaku untuk datang. Aku tak enak jika datang sendiri ...."

"Iya, makanya kau memaksaku untuk hadir, bukan begitu Nyonya Lila Jordan anugrah." Potong Vania cepat sambil mendengkus kesal.

"Tumben pinter," puji Lila. Ah rasanya ingin sekali Vania menjitak kepala sahabatnya ini.

"Kau tahu kan Jika Mas Gio akan hadir di resepsi nanti. Kuharap kau tidak punya rencana apapun." Tuding Vania dengan tatapan menyelidik.

"Aku tidak sebangs4t itu, Vania. Kau pikir aku akan menjodohkanmu kembali dengan mantanmu itu. Maaf aku lebih memilih semalaman di garap Jordan daripada mengurus hubungan asmaramu yang tidak menarik itu." Protes Lila yang membuat Vania terkekeh.

"Baguslah."

"Aku tahu kau tidak bahagia dengan pernikahanmu, Vania. Dan aku turut prihatin tapi aku tidak mungkin membuat hubungan pernikahan rusak. Itu urusan pribadimu dan aku tidak berhak untuk ikut campur." Lanjut Lila.

"Terima kasih." Ucap Vania pelan.

"Hayo, kita teman, sahabat. Sudah berapa tahun kau mengenalku. Jadi tak usah khawatir. Aku justru mengkhawatirkan suamimu. Aku takut ia cemburu jika melihatmu bersama lelaki lain, secara kau begitu mempesona, Vania," Gurau Lila.

"Itu takkan terjadi. Mas Rendi begitu setia dengan istri pertamanya." Protes Vania sambil mengigit bibir bawahnya.

"Baguslah." Lila terkekeh.

Mobil yang dikendarai Lila kini berhenti di sebuah butik langganan keluarganya. Setelah memilih gaun, mereka kembali ke mobil lalu melanjutkan perjalanan menuju salon kecantikan milik sepupunya.

"Lihat kau sangat cantik, Vania." Puji Lila begitu melihat Vania selesai berdandan.

"Kau terlalu memuji." Vania menggeleng.

Lila terkekeh. Lalu melirik sekilas jam di dinding salon ini.

"Sudah pukul tujuh, sepertinya kita harus berangkat sekarang." Ajak Lila kemudian.

Dengan langkah hati hati, mereka berjalan menuju tempat dimana mobil Lila di parkir. Tak lama, sedan hitam itu bergerak meninggalkan salon.

Vania gelisah, entah mengapa ia gugup. Bukan karena akan bertemu dengan sang mantan kekasih tapi karena ia belum memberitahu Karin jika nanti akan pulang terlambat.

"Kau takut akan bertemu dengan Mas Gio disana?" Tanya Lila sambil tetap fokus pada setir ditangannya.

"Bukan, aku hanya khawatir jika mbak Karin akan menungguku untuk makan malam." Sahut Vania sambil memandang keluar jendela.

"Kau belum mengabari orang di rumahmu? Astaga Vania. Kupikir ada masalah apa. Ya sudah, telepon saja kakak madumu itu. Katakan jika kau akan pulang malam."

"Baiklah." Sahut Vania pasrah.

Vania meraih ponselnya. Tak lama suara seseorang terdengar membalas sapaannya ketika sambungan teleponnya telah tersambung.

"Beres kan," ujar Lila begitu melihat Vania menutup panggilan telepon dan mengembalikan ponselnya kembali ke dalam tas.

"Iya," balas Vania mengangguk.

"Lihat, sebentar lagi kita akan tiba." Lanjut Lila sambil memutar kemudi mobilnya. Berbelok masuk ke sebuah hotel berbintang.

"Kita sudah sampai. Ayo keluar Nyonya Atmadja." Ejek Lila sembari membuka kunci mobilnya.

"Kadang aku merasa jika mulutmu itu sangat berisik, Lila!" Protes Vania dengan wajah masam.

"Ha ... ha ... Apa aku salah? Kau memang Nyonya Atmadja, menantu seorang pengusaha sukses negeri ini."

"Aku cuma istri kedua."

"Iya, kau memang istri kedua, tapi istri kedua yang sah dinikahi secara hukum dan agama. Kau bukan pelakor atau j4lang yang merayu suami orang, Vania."

"Sudahlah, bicara denganmu tidak akan membuatku dapat memiliki Monas." Cibir Vania.

Mereka tertawa lepas. Sesuatu hal yang sudah jarang dilakukan Vania setelah menikah. Sesuatu hal yang langka terlihat di wajah cantiknya.

Mereka masih saling melempar sindiran meski sudah berada di dalam ruangan resepsi, sesekali terlihat sang pengantin wanita melirik dan melempar senyum ke arah mereka berdua. Hingga tak menyadari jika seseorang datang mendekat.

"Vania, apa kabar?"

Seorang lelaki dengan senyum terbaiknya telah berdiri sambil mengulurkan tangannya di hadapan mereka. Seketika membuat Vania gugup. Kekhawatirannya menjadi kenyataan karena mantan kekasih yang ingin dihindarinya kini telah berdiri dihadapannya.

Sambil mengulas senyum tipis, Vania menjawabnya, tanpa ia sadari jika ada sepasang mata dengan sorot mata yang dingin kini tengah mengawasinya.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status