Karena apa?" Fokus Vania pada wajah Lila yang seketika mengeras."Karena mantan kekasihmu juga akan hadir di sana nanti. Aku yakin suamimu itu tahu jika Gio juga akan ada di acara reuni sekolah kita.""Tentu saja Gio akan hadir, karena dia juga alumni, lalu apa masalahnya?" Tanya Vania cuek. Membuat Lila menggeleng dan membuang nafas panjang."Kau bodoh atau memang sengaja ingin membuat mereka bertemu, hah?" Ketus Lila yang gemas melihat Vania yang masih terlihat santai.***"Hah!" Vania mendelik ke arah Lila. Dengan wajah polosnya."Kau bilang apa sih?" "Astaga Vania! Kau benar-benar menyebalkan." Sungut Lila sambil memonyongkan bibirnya."Aku gemas melihat sikapmu yang terlalu cuek seperti ini!"Vania melengos, ucapan Lila tak membuatnya terpengaruh, wanita berlesung pipi di kiri itu tampak asyik berselancar di akun sosial media miliknya."Aku tidak mau tahu Jika ada pertumpahan darah di sana nanti," sindir Lila karena merasa Vania tak mendengarkannya bicara."Biarkan saja kalau me
Suara bening Rossa yang mendendangkan nyanyiannya di radio sedikit mengubah suasana hati Vania. Setidaknya, kini pikirannya sedikit teralihkan dari pembicaraan dua lelaki yang ada dalam lembaran hidupnya. Jujur saja, bila mengingat bagaimana cara kedua lelaki itu memperlakukan perasaannya. Selalu saja membuat moodnya seketika buruk.Mobil yang dikemudikan Lila terus bergerak memasuki kawasan bisnis elite di ibukota ini, membuat Lila menurunkan sedikit kecepatan mobilnya karena jalanan yang sempit."Kita hampir tiba. Kuharap kau bisa menjaga sikap di acara nanti. Aku tak ingin melihat kau terjebak ucapanmu sendiri jika suamimu benar benar datang," Lila berpesan yang hanya dijawab Vania dengan mengendikkan bahu.****Sepasang mata terus mengawasi Vania dan Lila sejak mobil ini melintas di area parkiran. Tatapan mata lembut yang terarah pada Vania membuat siapapun yang melihat akan berpikir jika itu adalah tatapan romantis seorang kekasih.Mereka tiba sudah hampir menjelang dibukanya aca
"Apa dia temanmu? Kau tidak ingin memperkenalkanku padanya?""Ah, anu itu ...." ah, rasanya Vania ingin memaki dirinya sendiri yang gugup akibat kedatangan Rendi yang tiba-tiba."Hai, apa kabar, brother? Kenalkan Rendi, suaminya Vania." Ucap Rendi memperkenalkan dirinya, entahlah mengapa kalimat perkenalan itu membuat tubuh Vania seketika membeku.***Rendi mengulurkan tangannya pada Gio dengan pandangan mata datar, meski salah satu sudut bibirnya melengkung, tetap saja cukup sulit untuk mengetahui isi pikirannya. Lelaki itu memang sungguh pandai menyembunyikan emosinya.Pandangan mata kedua pria itu kini saling mengunci, membuat Vania gelisah, hingga akhirnya, kelopak mata Gio mengedip memutus kontak mata mereka lalu mengulas senyum."Senang bertemu denganmu, Pak!" Jawab Gio sopan sembari menerima uluran tangan Rendi."Tak perlu sungkan, panggil saja Rendi. Teman Vania adalah temanku juga, bukan begitu sayang?" Balas Rendi kembali melingkarkan tangannya yang di pinggang Vania.Vania
"Tak masalah, berarti dia akan menjadi istri ketiga. Siapa tahu saja dengan begitu Mas Rendi bisa menceraikanku karena sudah ada wanita yang mau mengandung anaknya," jawab Vania diplomatis, membuat Lila seketika langsung memutar bola mata."Kelihatannya kalian berdua membicarakan sesuatu yang menarik." Ucapan Rendi membuat Vania spontan mendelik."Ah, anu itu kami sedang membicarakan ..." Belum selesai Lila mengatakannya, Vania segera menyela."Iya, aku dan Lila sedang membahas sebuah novel yang bercerita tentang penderitaan seorang gadis yang terpaksa menikahi pria beristri," sindir Vania sambil menatap suaminya dengan tatapan bosan.***Tak ada kekesalan di wajah Rendi ketika mendengar ucapan istri keduanya itu, bibirnya melengkung tipis seakan mengerti apa yang di sampaikan Vania. Membuat wanita itu akhirnya melengos acuh."Benarkah, bisakah novelnya kupinjam?""Tidak, novelnya sudah dipinjam temen, dan aku malas menagihnya."Perkataan Vania membuat Rendi menahan tawa. Seolah apa y
Perkataan Lila membuat Vania refleks menoleh, dan langsung mendapati wajah Rendi disana yang sedang mengulas senyum sambil melambaikan tangan sesaat padanya."Aku benar, kan?" Ucap Lila bangga."Entahlah, bisa jadi itu hanya kebetulan saja. Lagipula, lelaki dingin seperti dirinya mana mungkin bisa cemburu." Sanggah Vania."Kebetulan itu tak datang berulang kali, kadang aku merasa kepalamu itu isinya hanya batu," Lila mencibir."Kau ada di pihakku atau dia?" Sungut Vania kesal.****"Aku selalu ada di pihakmu, tapi aku juga tak keberatan dengan sikap Rendi yang mulai membuka dirinya padamu," ujar Lila mencoba meredam emosi Vania."Lalu, apa yang akan kau lakukan sekarang?" Tanya Lila kemudian ketika melihat Vania meletakkan gelasnya kembali keatas meja dengan kasar."Apalagi kalau bukan pulang. Suasana hatiku sudah buruk, entah mengapa melihat Mas Rendi ada disini membuatku kesal, aku tak mengerti mengapa selalu saja lelaki itu mengusik ketenanganku di manapun. Ia bersikap seperti lint
"Kita bisa pergi ke tempat lain jika kau mau, akan kuantar kemanapun kau suka," ucap Rendi lembut, berusaha menenangkan istri mudanya itu."Benarkah? Ah, aku sungguh berterima kasih. Bisakah kau mengantarku ke kantor pengadilan dan mendaftarkan gugatan perceraian kita disana. Aku akan sangat senang sekali." Sarkas Vania lalu membuang muka."Baiklah, aku akan mengantarmu kesana," jawab Rendi dengan sudut yang melengkung tipis di kedua bibirnya.***Gemerlap cahaya bintang di langit seolah menari mendukung ucapan Vania. Senyum tipis nampak dibibir ranumnya, rona kemenangan terlihat di wajahnya, entah mengapa, ucapan Rendi membuat suasana hati Vania sedikit membaik.Mobil yang dikemudikan Rendi terus membelah jalanan menuju ke sebuah bangunan. Vania melengos membuang muka ke arah jendela, baginya, menikmati suasana luar jendela lebih menyenangkan daripada melihat wajah Rendi yang menyebalkan.Beberapa menit berlalu, Vania masih memilih bungkam. Tak sepatah kata keluar dari bibirnya. Hing
Angin malam membelai wajah dan menerbangkan helaian rambutnya, membuat mahkota di kepalanya itu terlihat kusut dan berantakan. Dengan wajah cemberut, tangan Vania kini nampak menyugar surai panjangnya itu agar kembali tertata rapi."Bahkan angin saja seperti hendak mengajakku bertengkar," bibir Vania mengoceh, melampiaskan kekesalannya.Mendengar umpatan Vania, membuat sudut bibir Rendi melengkung, dari dalam mobil, lelaki itu tersenyum melihat wajah Vania yang masih cemberut. "Ah, princess, kau benar-benar ingin menggodaku," ujar Rendi sambil terus memperhatikan istri keduanya dengan dengan santai balik kemudi.***Beberapa saat berlalu, setelah Vania merasa emosinya mulai stabil, tangannya membuka pintu dan kembali duduk didalam mobil.Melihat Vania yang masih melengos dan membuang pandangan darinya, tak sedikitpun membuat Rendi marah, lelaki itu hanya diam saja sambil terus memandang lurus pada wajah istri kedua itu."Apa ada sesuatu yang aneh di wajahku?" Keluh Vania begitu menya
Ditatapnya foto itu cukup lama, sorot matanya nampak begitu sendu. Seakan ada sebuah kesedihan disana. Lama bibirnya membeku, seakan terkunci dan terhanyut dalam suasana yang diciptakannya sendiri, hingga akhirnya matanya mengedip sesaat, mengembalikan kesadarannya."Aku mencintaimu, mas. Tapi, aku juga tak ingin kehilangan dirinya. Aku tahu sejak awal cinta itu tak pernah hadir untukku, hanya saja aku tak mampu jika harus melepasnya," bisik Karin teramat pelan.****Karin memandang datar Rendi yang tengah berbaring di ranjang. Selepas mandi dan makan malam. Pria itu langsung merebahkan tubuhnya. Tak seperti biasanya yang selalu mengajaknya bicara walau sekedar hanya menanyakan kegiatannya hari ini. Helaan nafas panjang terdengar dari bibirnya, sorot matanya nampak sayu memandang punggung Rendi yang berbaring membelakanginya. Tangan Karin mengepal, ia menyadari jika sikap Rendi sedikit berubah beberapa hari belakangan ini. Lelaki itu sering terlihat bermain dengan pikirannya sendiri