Perkataan Lila membuat Vania refleks menoleh, dan langsung mendapati wajah Rendi disana yang sedang mengulas senyum sambil melambaikan tangan sesaat padanya."Aku benar, kan?" Ucap Lila bangga."Entahlah, bisa jadi itu hanya kebetulan saja. Lagipula, lelaki dingin seperti dirinya mana mungkin bisa cemburu." Sanggah Vania."Kebetulan itu tak datang berulang kali, kadang aku merasa kepalamu itu isinya hanya batu," Lila mencibir."Kau ada di pihakku atau dia?" Sungut Vania kesal.****"Aku selalu ada di pihakmu, tapi aku juga tak keberatan dengan sikap Rendi yang mulai membuka dirinya padamu," ujar Lila mencoba meredam emosi Vania."Lalu, apa yang akan kau lakukan sekarang?" Tanya Lila kemudian ketika melihat Vania meletakkan gelasnya kembali keatas meja dengan kasar."Apalagi kalau bukan pulang. Suasana hatiku sudah buruk, entah mengapa melihat Mas Rendi ada disini membuatku kesal, aku tak mengerti mengapa selalu saja lelaki itu mengusik ketenanganku di manapun. Ia bersikap seperti lint
"Kita bisa pergi ke tempat lain jika kau mau, akan kuantar kemanapun kau suka," ucap Rendi lembut, berusaha menenangkan istri mudanya itu."Benarkah? Ah, aku sungguh berterima kasih. Bisakah kau mengantarku ke kantor pengadilan dan mendaftarkan gugatan perceraian kita disana. Aku akan sangat senang sekali." Sarkas Vania lalu membuang muka."Baiklah, aku akan mengantarmu kesana," jawab Rendi dengan sudut yang melengkung tipis di kedua bibirnya.***Gemerlap cahaya bintang di langit seolah menari mendukung ucapan Vania. Senyum tipis nampak dibibir ranumnya, rona kemenangan terlihat di wajahnya, entah mengapa, ucapan Rendi membuat suasana hati Vania sedikit membaik.Mobil yang dikemudikan Rendi terus membelah jalanan menuju ke sebuah bangunan. Vania melengos membuang muka ke arah jendela, baginya, menikmati suasana luar jendela lebih menyenangkan daripada melihat wajah Rendi yang menyebalkan.Beberapa menit berlalu, Vania masih memilih bungkam. Tak sepatah kata keluar dari bibirnya. Hing
Angin malam membelai wajah dan menerbangkan helaian rambutnya, membuat mahkota di kepalanya itu terlihat kusut dan berantakan. Dengan wajah cemberut, tangan Vania kini nampak menyugar surai panjangnya itu agar kembali tertata rapi."Bahkan angin saja seperti hendak mengajakku bertengkar," bibir Vania mengoceh, melampiaskan kekesalannya.Mendengar umpatan Vania, membuat sudut bibir Rendi melengkung, dari dalam mobil, lelaki itu tersenyum melihat wajah Vania yang masih cemberut. "Ah, princess, kau benar-benar ingin menggodaku," ujar Rendi sambil terus memperhatikan istri keduanya dengan dengan santai balik kemudi.***Beberapa saat berlalu, setelah Vania merasa emosinya mulai stabil, tangannya membuka pintu dan kembali duduk didalam mobil.Melihat Vania yang masih melengos dan membuang pandangan darinya, tak sedikitpun membuat Rendi marah, lelaki itu hanya diam saja sambil terus memandang lurus pada wajah istri kedua itu."Apa ada sesuatu yang aneh di wajahku?" Keluh Vania begitu menya
Ditatapnya foto itu cukup lama, sorot matanya nampak begitu sendu. Seakan ada sebuah kesedihan disana. Lama bibirnya membeku, seakan terkunci dan terhanyut dalam suasana yang diciptakannya sendiri, hingga akhirnya matanya mengedip sesaat, mengembalikan kesadarannya."Aku mencintaimu, mas. Tapi, aku juga tak ingin kehilangan dirinya. Aku tahu sejak awal cinta itu tak pernah hadir untukku, hanya saja aku tak mampu jika harus melepasnya," bisik Karin teramat pelan.****Karin memandang datar Rendi yang tengah berbaring di ranjang. Selepas mandi dan makan malam. Pria itu langsung merebahkan tubuhnya. Tak seperti biasanya yang selalu mengajaknya bicara walau sekedar hanya menanyakan kegiatannya hari ini. Helaan nafas panjang terdengar dari bibirnya, sorot matanya nampak sayu memandang punggung Rendi yang berbaring membelakanginya. Tangan Karin mengepal, ia menyadari jika sikap Rendi sedikit berubah beberapa hari belakangan ini. Lelaki itu sering terlihat bermain dengan pikirannya sendiri
"M-mas, untuk apa kau pagi-pagi datang ke rumahku?" Tanya Vania sesaat kemudian setelah menguasai dirinya kembali."Menghabiskan waktuku disini, apa tidak boleh?" Jawab Rendi tenang."Tidak! Lebih baik sekarang kau pulang, mas. Temani saja Mbak Karin! Lagipula sebentar lagi aku dan Bi Sumi akan belanja ke pasar." Usir Vania mencari alasan."Ah, princess.""Kupikir kau akan menyapaku dengan manis. Tapi ... Sudahlah, setidaknya, biarkan aku menikmati sarapanku dengan tenang." Ucap Rendi santai, tak mempedulikan tatapan mata Vania yang seakan mengeluarkan sinar laser.****Matahari mulai beranjak naik. Ketika Vania menyelesaikan ritual mandinya. Diliriknya jam yang tergantung di dinding kamarnya yang sudah hampir menunjukkan angka sepuluh, sudah waktunya untuk mengajak Bi Sumi kepasar.Kembali Vania memandang pantulan dirinya di cermin besar kamarnya. Menyempurnakan penampilannya. Mengenakan celana jeans dipadukan dengan kaos berkerah V neck, ditambah dengan makeup sederhana membuat Vani
l"Ayo bi!" panggil Vania sambil membuka pintu mobilnya."Lebih baik kakiku menginjak sampah yang bau atau genangan air kotor daripada mendengar ocehan mesum-mu itu." Sindir Vania ketus sambil menutup pintu mobilnya.Dari balik kaca mobilnya, Rendi memandang Vania sambil tertawa. "Ah ... Princess. Aku hanya menggodamu saja."***Suasana pasar tradisional yang cukup ramai dan bising tak membuat Vania Jenuh dan bosan. Sesekali terlihat ia ikut menawar dan membantu Bi Sumi memilih buah dan sayuran yang akan mereka beli.Sudah banyak buah dan sayuran dalam kantung belanja yang mereka pegang, termasuk dengan beragam bumbu disana. Rasa lelah dan pegal mulai terasa, namun, tak mereka hiraukan.Melihat Vania dan Bi Sumi yang sedikit kewalahan membawa kantung belanjaan, seorang remaja laki-laki mencoba menawarkan diri untuk membantu. Bi Sumi bilang, ia seringkali memakai jasa mereka jika sedang berbelanja."Ah, kalau begitu tolong bantu bawa yang ini," ucap Vania sambil memberikan dua buah ka
"Ah, kau masih saja suka cake pisang keju," ucap seseorang dari belakang.Mendengar seseorang menyahut, seketika Vania menoleh. Tampak disisi kanannya seorang pria mengenakan kaus putih beraroma maskulin sedang tersenyum padanya."Aku tidak menyangka akan bertemu lagi denganmu disini, Vania.""G-gio," ujar Vania yang tak mampu menyembunyikan rasa terkejutnya. Tanpa disadari Vania jika sepasang mata tengah melihat mereka dengan wajah masam dari arah pintu masuk toko.****"Kau disini? Ah, maksudnya kau juga sering beli kue disini?" Tanya Vania sedikit terbata."Ini toko kue langganan mama," jawab Gio."Kau sendiri?" Pemuda itu balik bertanya."Aku baru pindah ke daerah sini jadi baru beberapa kali kesini," jawab Vania."Oh, pantas saja aku baru melihatmu. Soalnya aku sering kesini menemani mama," tutur Gio."Mbak Vania apa ada yang lain?" Tanya Bi Sumi menyela."Tidak ada bi, kalau bibi pengen ambil saja." Jawab Vania."Kau sendirian? Ah, maksudku berdua saja dengannya?" Tanya Gio samb
"Kita sudah sampai," ucap Rendi sambil menarik rem tangan mobilnya.Satu persatu penumpang mobil turun. Tampak Rendi mengeluarkan satu persatu kantung belanjaan yang diletakkan di bagian belakang mobil, yang segera dibawa masuk kedalam oleh Bi Sumi. Meninggalkan pasangan suami-istri yang masih terlihat sibuk saling berbalas pandangan."Apa kau masih berharap kembali pada mantan kekasihmu itu?" Tanya Rendi tiba-tiba ketika melihat Vania membalikkan badannya.****Vania duduk bersandar di dekat jendela kamarnya. Matanya memandang ke luar, menikmati langit senja yang memukau.Sudah pukul lima sore, namun entah mengapa tubuhnya enggan beranjak, setidaknya, pemandangan di luar jendela cukup menghibur hatinya.Kemarin, selepas mengantarnya dan Bi Sumi dari pasar, Rendi pamit langsung pulang, ia bilang tiba tiba ingat ada keperluan mendadak. Entahlah, Vania tidak ingin memikirkan sesuatu yang tidak tidak, karena alasan kepulangan Rendi terlalu konyol baginya.Helaan nafas panjang terdengar