"Aku tidak berminat, untuk apa liburan bulan madu itu, jika nantinya kita akan bercerai? Lebih baik kau ajak saja Mbak Karin untuk menggantikanku pergi ke sana, karena aku sama sekali tidak tertarik," ungkap Vania terus terang."Baiklah jika itu yang kau inginkan, tapi sepertinya kau lupa dengan perjanjian kita, jika kau ingin aku menceraikanmu maka lebih baik segeralah hamil, dan untuk membuatmu bisa hamil, aku harus lebih sering menyentuhmu.""Kita berdua harus menikmati liburan bulan madu yang tertunda itu, mama akan sangat marah jika kita tidak menghargai niat baiknya, bukankah begitu?" ujar Rendi dengan lengkungan tipis di wajahnya. Tersenyum penuh arti.***Tak seperti biasanya. Hari ini Vania tampak tak begitu bersemangat. Sejak pagi, wajah wanita itu ditekuk, meski perona pipi berwarna cerah ia usapkan, tetap saja tak mampu membuang kesan muram di wajahnya. Mengenakan blazer berwarna coklat muda dipadukan dengan tas dan sepatu berwarna senada, penampilan Vania tampak begitu s
"Haduh Vania sayang, mama pesan untuk membuat liburan bulan madumu terasa manis dan menggigit, seperti seorang perawan yang belum tersentuh." Ujar Helena tersenyum penuh arti."Jangan protes karena mama melakukannya agar perutmu segera terisi bayi. Ah, mama sudah tak sabar menunggu bayi kalian," Lanjut Helena bicara."Tuh bener kan bener konslet, beginilah resiko punya mertua rada konslet tingkat dewa," batin Vania lalu menelan ludah.***Keesokan harinya,Suasana bandara internasional Ngurah Rai, siang ini begitu ramai, baik penumpang domestik maupun internasional, tak heran karena bandara ini adalah salah satu bandara tersibuk di Indonesia.Di area kedatangan tampak Vania dan Rendi berjalan bersisian sambil menarik koper masing-masing, tak lama seorang pria berkemeja hitam terlihat melambaikan tangan pada mereka.Dengan mengulas senyum, Rendi membalas lambaian tangan tersebut dan menarik lengan Vania agar mengikuti langkahnya, tak lama mereka melangkah menuju arah dimana sebuah seda
"Membuka kancing pakaianmu katanya ... Jangan harap!" Sungut Vania dari dalam kamar mandi."Princess, bagaimana jika kita sekalian mandi bersama, bukankah aku bisa membantu menggosok punggungmu?" terdengar suara Rendi setengah berteriak dari luar."Gosok saja otak mesum-mu itu mas," jawab Vania lantang."Ah, kadang kau menggemaskan, Vania." Bisik Rendi pelan.***Karin termangu didepan meja riasnya, sambil sesekali memandang ponselnya, hatinya gelisah dan begitu cemburu kala mengingat Rendi dan Vania tengah bersama.Sejak awal pernikahan, sikap Rendi pada Vania berbeda. Karin menyadari pandangan mata Rendi tampak begitu mendamba pada Vania. Terkadang ia ingin mengingatkan kesepakatan awal mereka tentang pernikahan kedua Rendi, hanya saja saat ini bibirnya kelu ketika ingin mengungkapkannya.Malam semakin larut, keheningan semakin menyapa dirinya, hanya suara pendingin ruangan saja yang terdengar ditelinga, diliriknya ranjang yang seakan ikut mengejeknya. Mengejek kesendiriannya saat i
"Mengapa bertanya seperti itu? Bukankah kita sekarang berlibur? Menikmati bulan madu kita?" Sahut Rendi, pandangannya kini berubah tajam."Aku hanya bertanya ..." Belum ada selesai kalimat yang diucapkan Vania, sebuah ciuman di daratkan Rendi padanya, membuat mata Vania membulat."Maka biarkan aku memanfaatkan waktu satu tahun ini bersamamu," Bisik Rendi pelan lalu mulai melepaskan kancing piyama Vania. ***Hari ini adalah hari ke empat mereka berdua ada di Bali, dari tujuh hari yang direncanakan. Selama empat hari itu mereka menghabiskan waktu di beberapa tempat wisata, dan tentu saja pantai adalah tempat favorit bagi mereka.Bali memang salah satu tujuan wisata terbaik. Panoramanya yang elok dan juga adat istiadat dan budaya yang masih begitu dijaga dan dilestarikan oleh para penduduknya, membuat tanah dewata itu tak kalah menarik dari tempat wisata terkenal di dunia.Sebuah hotel di Nusa dua, dipesan Helena untuk tempat mereka mereka menginap. Hotel yang berlokasi tak begitu jauh
"Tidak ada yang harus ku ceritakan padamu," ucap Vania dingin sambil menggeser kursinya dan melangkah menuju kamar mandi.Sengaja Vania menghindar, ia tak mau dadanya semakin terasa sesak, jika memikirkan ada hal yang sengaja disembunyikan Rendi darinya. Empat hari yang mereka lalui disini begitu manis. Namun, jika mengingat isi pesan WA dari Karin yang diintipnya, membuatnya Vania kembali berpikiran buruk.Dari balik bahu, Rendi memandang tubuh Vania yang melangkah ke kamar mandi tanpa berkedip. Lelaki itu tahu, ada sesuatu yang mengganjal hati istri keduanya itu, hanya saja untuk membuat Vania bicara tak akan semudah itu. Setidaknya membiarkan Vania menenangkan diri adalah keputusan yang tepat.***Keesokan harinya.Pagi pagi sekali Vania bangun dan sibuk merapikan kopernya. Beberapa souvernir dan hadiah yang di belinya untuk Delia dan Lila juga ikut serta. Diliriknya Rendi yang baru saja keluar dari kamar mandi, tubuh atletis dengan iris mata yang gelap, membuat lelaki itu terlihat
"Mbak, jangan melamun," tegur Sumi, Asisten Rumah Tangga Vania "Tidak, aku hanya berpikir sebentar," ucap Vania sambil menyuap makanan pada sendok terakhir ke mulutnya."Bi, apa mungkin Mas Rendi akan menceraikanku?" Tanya Vania bimbang."Berdoa saja semoga tuhan memberikan jalan terbaik," Jawab Sumi mencoba menguatkan. ****Vania tampak termenung di meja kerjanya, meski pandangan matanya terlihat menatap komputer. Namun, saat ini pikirannya sedang melayang jauh, memikirkan pernikahannya. Sesekali tampak tangannya mengetuk meja, seakan sedang berpikir. Wajahnya terlihat tegang karena hati wanita itu kini sedang gelisah.Sekilas tak ada yang aneh dengan sikapnya, ia terlihat sedang fokus dengan pekerjaannya, termasuk Delia, rekan kerjanya yang kini sedang memperhatikannya.Sudah seminggu berlalu sejak kepulangannya dari Bali, dan seminggu sudah Rendi tidak jua menemuinya, hanya sesekali saja pria itu berkirim pesan padanya. Rasa rindu kini menyiksa dirinya. Ingin rasanya Vania menel
Jangan memaksaku Karin, ini tidak akan mudah, kau sendiri tahu bagaimana sikap Vania selama ini," Rendi berusaha menjelaskan."Aku tahu, mas!""Aku hanya ingin memastikan saja. Ingat mas, kau sudah berjanji padaku saat ingin menikahi Vania dan kuharap kau tidak lupa dengan permintaan yang kuajukan bahwa anak pertama yang dilahirkannya nanti akan menjadi milikku," tegas Karin sambil memandang dalam ke manik obsidian gelap milik suaminya.***Kediaman Vania."Jadi, untuk urusan apa hingga kau meluangkan waktu datang ke rumahku?" Tanya Vania dengan sorot matanya yang dingin pada Gio."Bukankah kau bisa menelponku saja, tak harus sampai kerumahku?" Lanjut Vania ketus."Maaf jika aku menganggu waktumu, hanya saja aku ingin bertemu dan mengatakannya langsung dihadapanmu," ucap Gio."Kau memang menganggu waktu ku."Gio tersenyum getir mendengar ucapan Vania, ia tak mengira jika sikap Vania masih kaku dan tak bersahabat, meski mereka sudah beberapa kali bertemu. Tak banyak yang bisa dilakuka
[Lho, rasanya tak mungkin kau tidak tahu Vania, bukankah kau adalah kekasihnya, orang yang paling dekat dengannya?"Miris, dan Vania ingin tertawa mendengarnya jika mengingat semua kenangan menyebalkan itu. Lalu sekarang?"Baiklah, kemana aku harus mencarimu? Ke rumahmu? Atau tempat persembunyianmu di luar negeri?" Sarkas Vania tampak begitu emosional.***Gio duduk termenung di depan jendela kamarnya, dengan satu tangan bertumpu pada tepian jendela. Pertemuannya dengan Vania kemarin malam, masih menyisakan kekecewaan di dalam hatinya.Angin berhembus pelan, meniup wajah dan rambutnya yang hitam. Sesekali tampak matanya memandang keluar jendela, seolah sedang memperhatikan sesuatu.Wajahnya tampak murung, tak seperti sinar rembulan yang bersinar terang malam ini, batinnya bergejolak penuh dengan amarah dan kekecewaan.Yah, Gio begitu kecewa dengan dirinya sendiri, lelaki itu sedang menyesali keputusannya dulu yang mencampakkan dan meninggalkan Vania. Gadis yang sejak dulu di cintainya