"Membuka kancing pakaianmu katanya ... Jangan harap!" Sungut Vania dari dalam kamar mandi."Princess, bagaimana jika kita sekalian mandi bersama, bukankah aku bisa membantu menggosok punggungmu?" terdengar suara Rendi setengah berteriak dari luar."Gosok saja otak mesum-mu itu mas," jawab Vania lantang."Ah, kadang kau menggemaskan, Vania." Bisik Rendi pelan.***Karin termangu didepan meja riasnya, sambil sesekali memandang ponselnya, hatinya gelisah dan begitu cemburu kala mengingat Rendi dan Vania tengah bersama.Sejak awal pernikahan, sikap Rendi pada Vania berbeda. Karin menyadari pandangan mata Rendi tampak begitu mendamba pada Vania. Terkadang ia ingin mengingatkan kesepakatan awal mereka tentang pernikahan kedua Rendi, hanya saja saat ini bibirnya kelu ketika ingin mengungkapkannya.Malam semakin larut, keheningan semakin menyapa dirinya, hanya suara pendingin ruangan saja yang terdengar ditelinga, diliriknya ranjang yang seakan ikut mengejeknya. Mengejek kesendiriannya saat i
"Mengapa bertanya seperti itu? Bukankah kita sekarang berlibur? Menikmati bulan madu kita?" Sahut Rendi, pandangannya kini berubah tajam."Aku hanya bertanya ..." Belum ada selesai kalimat yang diucapkan Vania, sebuah ciuman di daratkan Rendi padanya, membuat mata Vania membulat."Maka biarkan aku memanfaatkan waktu satu tahun ini bersamamu," Bisik Rendi pelan lalu mulai melepaskan kancing piyama Vania. ***Hari ini adalah hari ke empat mereka berdua ada di Bali, dari tujuh hari yang direncanakan. Selama empat hari itu mereka menghabiskan waktu di beberapa tempat wisata, dan tentu saja pantai adalah tempat favorit bagi mereka.Bali memang salah satu tujuan wisata terbaik. Panoramanya yang elok dan juga adat istiadat dan budaya yang masih begitu dijaga dan dilestarikan oleh para penduduknya, membuat tanah dewata itu tak kalah menarik dari tempat wisata terkenal di dunia.Sebuah hotel di Nusa dua, dipesan Helena untuk tempat mereka mereka menginap. Hotel yang berlokasi tak begitu jauh
"Tidak ada yang harus ku ceritakan padamu," ucap Vania dingin sambil menggeser kursinya dan melangkah menuju kamar mandi.Sengaja Vania menghindar, ia tak mau dadanya semakin terasa sesak, jika memikirkan ada hal yang sengaja disembunyikan Rendi darinya. Empat hari yang mereka lalui disini begitu manis. Namun, jika mengingat isi pesan WA dari Karin yang diintipnya, membuatnya Vania kembali berpikiran buruk.Dari balik bahu, Rendi memandang tubuh Vania yang melangkah ke kamar mandi tanpa berkedip. Lelaki itu tahu, ada sesuatu yang mengganjal hati istri keduanya itu, hanya saja untuk membuat Vania bicara tak akan semudah itu. Setidaknya membiarkan Vania menenangkan diri adalah keputusan yang tepat.***Keesokan harinya.Pagi pagi sekali Vania bangun dan sibuk merapikan kopernya. Beberapa souvernir dan hadiah yang di belinya untuk Delia dan Lila juga ikut serta. Diliriknya Rendi yang baru saja keluar dari kamar mandi, tubuh atletis dengan iris mata yang gelap, membuat lelaki itu terlihat
"Mbak, jangan melamun," tegur Sumi, Asisten Rumah Tangga Vania "Tidak, aku hanya berpikir sebentar," ucap Vania sambil menyuap makanan pada sendok terakhir ke mulutnya."Bi, apa mungkin Mas Rendi akan menceraikanku?" Tanya Vania bimbang."Berdoa saja semoga tuhan memberikan jalan terbaik," Jawab Sumi mencoba menguatkan. ****Vania tampak termenung di meja kerjanya, meski pandangan matanya terlihat menatap komputer. Namun, saat ini pikirannya sedang melayang jauh, memikirkan pernikahannya. Sesekali tampak tangannya mengetuk meja, seakan sedang berpikir. Wajahnya terlihat tegang karena hati wanita itu kini sedang gelisah.Sekilas tak ada yang aneh dengan sikapnya, ia terlihat sedang fokus dengan pekerjaannya, termasuk Delia, rekan kerjanya yang kini sedang memperhatikannya.Sudah seminggu berlalu sejak kepulangannya dari Bali, dan seminggu sudah Rendi tidak jua menemuinya, hanya sesekali saja pria itu berkirim pesan padanya. Rasa rindu kini menyiksa dirinya. Ingin rasanya Vania menel
Jangan memaksaku Karin, ini tidak akan mudah, kau sendiri tahu bagaimana sikap Vania selama ini," Rendi berusaha menjelaskan."Aku tahu, mas!""Aku hanya ingin memastikan saja. Ingat mas, kau sudah berjanji padaku saat ingin menikahi Vania dan kuharap kau tidak lupa dengan permintaan yang kuajukan bahwa anak pertama yang dilahirkannya nanti akan menjadi milikku," tegas Karin sambil memandang dalam ke manik obsidian gelap milik suaminya.***Kediaman Vania."Jadi, untuk urusan apa hingga kau meluangkan waktu datang ke rumahku?" Tanya Vania dengan sorot matanya yang dingin pada Gio."Bukankah kau bisa menelponku saja, tak harus sampai kerumahku?" Lanjut Vania ketus."Maaf jika aku menganggu waktumu, hanya saja aku ingin bertemu dan mengatakannya langsung dihadapanmu," ucap Gio."Kau memang menganggu waktu ku."Gio tersenyum getir mendengar ucapan Vania, ia tak mengira jika sikap Vania masih kaku dan tak bersahabat, meski mereka sudah beberapa kali bertemu. Tak banyak yang bisa dilakuka
[Lho, rasanya tak mungkin kau tidak tahu Vania, bukankah kau adalah kekasihnya, orang yang paling dekat dengannya?"Miris, dan Vania ingin tertawa mendengarnya jika mengingat semua kenangan menyebalkan itu. Lalu sekarang?"Baiklah, kemana aku harus mencarimu? Ke rumahmu? Atau tempat persembunyianmu di luar negeri?" Sarkas Vania tampak begitu emosional.***Gio duduk termenung di depan jendela kamarnya, dengan satu tangan bertumpu pada tepian jendela. Pertemuannya dengan Vania kemarin malam, masih menyisakan kekecewaan di dalam hatinya.Angin berhembus pelan, meniup wajah dan rambutnya yang hitam. Sesekali tampak matanya memandang keluar jendela, seolah sedang memperhatikan sesuatu.Wajahnya tampak murung, tak seperti sinar rembulan yang bersinar terang malam ini, batinnya bergejolak penuh dengan amarah dan kekecewaan.Yah, Gio begitu kecewa dengan dirinya sendiri, lelaki itu sedang menyesali keputusannya dulu yang mencampakkan dan meninggalkan Vania. Gadis yang sejak dulu di cintainya
Untuk beberapa saat ruangan itu terasa hening, hanya menyisakan helaan nafas Rendi yang terdengar berat."Mama tidak memaksa, hanya saja sampai kapan kau merasa bertanggung jawab? Ingat, Itu bukan kesalahanmu, Rendi, itu kecelakaan dan mama sudah cukup bersabar dengan keputusanmu ini." Jelas Helena. Sungguh, saat Karin mendengar pernyataan itu keluar dari mulut ibu mertuanya, sontak membuat wanita itu merasa sesak untuk bernafas. Tubuhnya kini mendadak kaku dan membeku.***Karin menunduk sayu, tangannya kini gemetar dengan kaki yang mulai terasa lemas untuk menopang berat badannya. Nafasnya masih tercekat di kerongkongan seakan tertahan oleh sesuatu yang menyangga.Ia masih berdiri di balik pintu, dengan hati yang teriris. Tak salah lagi, Karin yakin jika kalimat terakhir yang diucapkan Helena di tujukan untuk dirinya. Air mata kini mulai menetes, pertahanan Karin luluh, hancur dalam sekejap.Kedua tangannya ia gunakan untuk membekap mulutnya, mencoba menahan isakan tangis agar tida
"Ya sudah, mama mau langsung saja ya, Jangan lupa jaga kesehatanmu ya," pesan Helena lalu menepuk lembut pundak menantu pertamanya itu. Tak lama wanita yang masih terlihat cantik di usianya yang tak lagi muda itu berbalik, meninggalkan Karin yang tersenyum kecut memandanginya."Kadang aku merasa hidupmu sangat beruntung Vania, atau aku yang tak tahu malu karena memaksakan keinginanku?" Bisik Karin dengan sorot mata tegas dengan sudut bibir yang melengkung penuh arti.***Rendi menghela nafas panjang, sepeninggal Helena, lelaki itu tampak duduk sendiri dengan pandangan mata nanar di ruang kerjanya, pembicaraannya dengan ibunya membuat lelaki itu kini tampak begitu gelisah.Tangan Rendi tampak sesekali mengetuk meja, wajahnya terlihat murung. Sejak awal ia tahu konsekuensinya akan seperti ini. Memiliki dua orang istri memang tidaklah mudah, namun apa yang bisa dilakukannya karena kedua orang tuanya sudah amat menginginkan seorang keturunan darinya. Sesuatu hal yang tidak bisa diberikan