Untuk beberapa saat ruangan itu terasa hening, hanya menyisakan helaan nafas Rendi yang terdengar berat."Mama tidak memaksa, hanya saja sampai kapan kau merasa bertanggung jawab? Ingat, Itu bukan kesalahanmu, Rendi, itu kecelakaan dan mama sudah cukup bersabar dengan keputusanmu ini." Jelas Helena. Sungguh, saat Karin mendengar pernyataan itu keluar dari mulut ibu mertuanya, sontak membuat wanita itu merasa sesak untuk bernafas. Tubuhnya kini mendadak kaku dan membeku.***Karin menunduk sayu, tangannya kini gemetar dengan kaki yang mulai terasa lemas untuk menopang berat badannya. Nafasnya masih tercekat di kerongkongan seakan tertahan oleh sesuatu yang menyangga.Ia masih berdiri di balik pintu, dengan hati yang teriris. Tak salah lagi, Karin yakin jika kalimat terakhir yang diucapkan Helena di tujukan untuk dirinya. Air mata kini mulai menetes, pertahanan Karin luluh, hancur dalam sekejap.Kedua tangannya ia gunakan untuk membekap mulutnya, mencoba menahan isakan tangis agar tida
"Ya sudah, mama mau langsung saja ya, Jangan lupa jaga kesehatanmu ya," pesan Helena lalu menepuk lembut pundak menantu pertamanya itu. Tak lama wanita yang masih terlihat cantik di usianya yang tak lagi muda itu berbalik, meninggalkan Karin yang tersenyum kecut memandanginya."Kadang aku merasa hidupmu sangat beruntung Vania, atau aku yang tak tahu malu karena memaksakan keinginanku?" Bisik Karin dengan sorot mata tegas dengan sudut bibir yang melengkung penuh arti.***Rendi menghela nafas panjang, sepeninggal Helena, lelaki itu tampak duduk sendiri dengan pandangan mata nanar di ruang kerjanya, pembicaraannya dengan ibunya membuat lelaki itu kini tampak begitu gelisah.Tangan Rendi tampak sesekali mengetuk meja, wajahnya terlihat murung. Sejak awal ia tahu konsekuensinya akan seperti ini. Memiliki dua orang istri memang tidaklah mudah, namun apa yang bisa dilakukannya karena kedua orang tuanya sudah amat menginginkan seorang keturunan darinya. Sesuatu hal yang tidak bisa diberikan
Haruskah ia merelakan lelaki itu untuk dimiliki seutuhnya oleh wanita lain?Tidak, Karin tak ingin menyerah. Sekuat tenaga wanita itu akan bertahan. Hanya satu hal yang ada dalam pikirannya saat ini, sesuatu hal yang ia pikir akan bisa menyelamatkan pernikahannya yang mulai terasa diujung tanduk."Mas bicaralah dengan Vania, minta dia untuk menyerahkan anak pertamanya padaku, bukankah kau sudah berjanji padaku akan memenuhi permintaanku? Inilah keinginanku," Ucap Karin dengan sorot mata yang tegas.**Untuk beberapa saat, Rendi tertegun mendengarnya, perkataan Karin yang kembali menyinggung tentang anak yang akan dilahirkan Vania membuat kepalanya kini terasa berdenyut.Di pandanginya wajah Karin dengan mata yang menyipit tajam, Rendi mengerti mengapa Karin meminta hal konyol seperti itu darinya, meski sudah berulang kali Rendi mengatakan bahwa ia tak akan menceraikannya kecuali Karin sendiri yang memintanya."Sejak awal mama memintaku untuk menerima pernikahan keduamu dengan Vania, b
Mengingat semua masa lalu itu, entah mengapa tangan Karin mendadak tremor, gemetar kini ia rasakan, tak lama foto itu jatuh dari tangannya tanpa bisa ia cegah.Sejenak Karin membiarkan rasa gemetar menguasai tubuhnya, tak lama, ia mengusap wajahnya kasar, berusaha untuk menenangkan dirinya kembali."Mungkin aku sendiri yang harus membicarakan hal ini dengan Vania," ucap Karin setengah berbisik.***Dua bulan berlalu sejak liburan Vania di Bali bersama Rendi. Sejak kepulangan mereka dari pulau dewata itu, entah mengapa Vania merasa jika kini Rendi seakan mulai menjaga jarak dengannya. Awalnya Vania merasa jika itu hanya perasaan dirinya saja, Namun, saat mengingat intensitas kunjungan Rendi ke rumahnya yang hanya sekarang bisa dihitung dengan jari, membuat wanita itu mulai berpikiran buruk tentangnya.Tak dapat dipungkiri jika sekarang rasa cinta itu mulai tumbuh di hati Vania, apalagi setelah mereka menikmati indahnya kebersamaan di Bali. Bayangan percintaan mereka yang begitu panas
"Apa kedatangan mbak hanya untuk memastikan kehamilanku?" Tanya Vania yang tampak keberatan.Karin mengangguk."Iya, aku sangat ingin mendengar kabar kehamilanmu Vania," tutur Karin jujur lalu tersenyum. Entah mengapa Vania bisa merasakan sesuatu yang mengganjal dari senyuman Karin yang tampak mengerikan itu."***Sepeninggal Karin, Vania tampak melamun di kamarnya, pembicaraan singkat dengan kakak madunya itu tak pelak mengganggu pikirannya. Vania yakin ada sesuatu hal yang disembunyikan Karin darinya ketika bertanya perihal kehamilannya tersebut.Berulang kali ia memeras otaknya, memikirkan hal yang kira kira terjadi padanya andai tadi ia mengaku, Namun, tetap saja, ia tak menemukan alasan kuat mengapa Karin bertanya seperti itu.Seperti yang sudah Vania ketahui, hubungan Rendi dan Karin baik baik saja, mereka selalu tampak rukun dan mesra dihadapannya. Terkadang melihat keintiman mereka berdua, tak pelak menimbulkan rasa cemburu di hati Vania.Haruskah ia memberitahukan kehamilannya
"Pantas saja," ujar Vania dengan wajah datar. Lalu meraih jus apel diatas meja yang tadi di bawa Sumi untuknya."Lalu kau sendiri, ada urusan apa mencariku?" Tanya Vania tak sabar sambil menyesap jus yang ada di tangannya."Kangen!" Jawab Rendi pendek, Namun sukses membuat Vania menyemburkan jus apel yang baru saja hendak di reguknya.****Gio memandang gadis dihadapannya dengan wajah datar, tanpa ekspresi. Sejak tadi telinganya terus saja mendengar gadis bicara tanpa henti, membuatnya jenuh.Sesekali tampak tangannya mengetuk-ngetuk meja, tak ada ucapan yang keluar dari bibirnya selain helaan nafasnya yang terdengar berat. Mereka berdua duduk di sebuah kafe yang berada tak jauh dari tempat kerja Gio. Mata gadis itu sayu memandang kearahnya namun tak membuat Gio terpengaruh."Apa kau sudah selesai bicara, Sabrina?" Ujar Gio sambil melirik jam di pergelangan tangannya."Gio, jangan mengabaikanku seperti ini, kumohon beri aku kesempatan sekali saja, aku janji akan berubah," rengek gadi
"Jangan pernah menganggu Vania, atau kau tidak akan pernah bisa membayangkan apa yang bisa kulakukan padamu, camkan itu baik-baik karena aku tidak main-main, jika itu menyangkut Vania," geram Gio lalu menghentakkan kakinya meninggalkan Sabrina yang kini memandangnya dengan sorot mata yang dingin."Aku yakin, suatu saat nanti kau akan kembali padaku," gumam Sabrina, nyaris tak terdengar.***Dari dalam mobilnya, Gio memandang Vania yang tampak sedang berbicara dengan seorang tetangganya di halaman rumahnya itu dengan tatapan nanar. Tak dapat dipungkiri rasa rindu pada wanita itu begitu menggelora, memenuhi jiwanya.Pekerjaannya yang menumpuk tidak dapat menghalangi keinginannya untuk datang ke tempat ini. Beralasan ada pertemuan dengan klien di luar, Gio izin dari kantornya hanya demi untuk menemui Vania. Karena ia tahu wanita itu tidak masuk kantor hari ini setelah lebih dulu berpura-pura menelpon dan menanyakan Vania lewat resepsionis kantornya.Sudah berulang kali ia mencoba untuk m
Helaan nafas berat terdengar dari mulut Gio, tak lama ia pun beranjak dari kursi. Namun, sebelum ia melangkah, dipandanginya wajah Vania dengan begitu dalam."Baiklah, aku akan pulang. Tapi sebelum itu, aku hanya ingin memberi tahu sesuatu hal padamu. Andai suatu saat nanti kau memutuskan untuk menerimaku kembali atau butuh bantuanku. Percayalah, apapun akan kulakukan untukmu." Ujar Gio lalu membalikkan badan dan melangkah menghampiri mobilnya. Membiarkan Vania yang masih terpaku memandangnya.***Semilir angin sore ini entah mengapa cukup untuk membuat suasana hati Vania terasa lebih santai, dari atas balkon kamarnya ia memandang, setidaknya melakukan hal ini bisa melupakan sedikit masalahnya.Pertemuannya dengan Gio kemarin cukup membuat pikirannya terbelah, Vania tidak menyangka jika lelaki yang selama ini mensia-siakan dirinya bisa mengucapkan kalimat ungkapan yang lembut dan manis seperti itu.Vania mengelus lembut perutnya, ia tak lagi sendiri sekarang, ada janin dalam rahimnya