Rendi tak menjawabnya, lelaki itu hanya mengangguk saja. Tak lama, Helena pergi meninggalkan mereka setelah memastikan teleponnya tersambung.Melihat hanya tinggal mereka berdua saja, akhirnya membuat Vania memberanikan diri bertanya."Mas, apakah kau juga sudah memberi tahu kabar kehamilanku pada Mbak Karin?"***Rendi memandang Vania dengan tatapan mata yang teduh. Pertanyaan dari Vania tidak begitu mengusiknya, bibirnya tersenyum melihat raut wajah masam yang diperlihatkan Vania padanya."Mas, kau belum menjawab pertanyaanku?" Ulang Vania sembari mencebik."Aku sudah menelpon Karin, tapi ia tak menjawabnya," Jawab Rendi Jujur."Begitu ya, baguslah!" Ujar Vania spontan."Kok bagus? Apa ada masalah?""Terakhir aku bertemu dengan Mbak Karin, ia tampak begitu antusias bertanya perihal kehamilanku, saat ia tersenyum, entah mengapa, hatiku merasa ada sesuatu yang mengganjal dari senyuman Mbak Karin yang tampak mengerikan itu," tutur Vania yang langsung di iringi dengan kernyitan di dahi
Mungkin terdengar sangat egois, tapi Karin benar benar tidak memiliki jalan lain, karena cepat atau lambat, Helena pasti akan menyingkirkan dirinya. Dan Karin tidak ingin itu terjadi."Tinggal beberapa bulan lagi, aku harus segera mendesak Mas Rendi untuk membujuk Vania agar bersedia menyerahkan anaknya untuk ku rawat, jika Mas Rendi tetap keberatan, aku sendiri yang akan memintanya sendiri pada Vania," bisik Karin begitu lirih.***"Mbak Vania sedang apa?" Tanya Sumi ketika melihat majikannya sedang membuka kopernya."Mindahin baju dari dalam koper ini ke lemari, bi," jawab Vania sambil mengambil beberapa baju dari koper dan memindahkannya ke lemari."Nggak boleh! Biar saya saja, mbak. Kalau Mas Rendi dan Ibu Helena tahu, saya bisa dimarahi," ujar Sumi lalu menggeser koper itu dari hadapan Vania."Nggak apa-apa, bi. Aku kan cuma mindahin baju saja, bukan mau angkat galon atau menggeser lemari," bantah Vania menggeleng."Tapi, mbak ....""Kalau cuma nyusun baju saja aku masih bisa, bi
"Ini tentang Mbak Karin," Jawab Vania."Ada apa dengan Karin?" Balas Helena balik bertanya."Bolehkah aku mengetahui masa lalu Mbak Karin saat ia belum menikah dengan Mas Rendi? Maaf ma, aku hanya ingin tahu semua hal tentang dirinya. Selama ini aku tak begitu peduli padanya, jadi tak tahu apapun tentang dirinya," sahut Vania menunduk.***Helena menatap wajah Vania cukup dalam, pertanyaan itu cukup mengganggunya, mengingat dirinya yang tak terlalu menyukai Karin.Hembusan nafasnya terdengar berat. Perlahan Helena meraih tangan Vania dan mengelusnya sesaat."Kau bisa menanyakannya nanti. Saat ini kau tidak boleh stres atau terlalu banyak pikiran, sayang. Pikirkan cucu mama yang ada dalam kandunganmu, mama tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk padanya, jika kau terlalu banyak berpikir," pinta Helena."Baiklah ma," ujar Vania menyerah, rasanya ia tak akan bisa membuat Ibu mertuanya itu bicara.Bukan tanpa alasan Vania bertanya seperti itu, senyuman terakhir yang diperlihatkan Karin pad
Tidak, Gio tak ingin menyerah. Kesempatan itu masih ada, tak mengapa, jika Vania bersedia kembali padanya. Gio juga tak akan keberatan menerima anaknya. "Kau sangat ingin menghukum diriku, Vania. Baiklah, aku akan menerimanya, asal kau tahu, bahwa aku sangat menyesal karena pernah meninggalkan dan mencampakkan dirimu dulu," ucap Gio begitu lirih, lalu kembali masuk ke dalam mobilnya.***"Bi, bilang sama mama, aku ke rumahnya Mbak Karin ya," pamit Vania pada Sumi."Lho, sudah rapi? Mbak Vania pergi sendiri? Kan ibu besar bilang, Mbak Vania nggak boleh pergi sendiri," Sumi mengingatkan."Aku hanya sebentar saja, mumpung mama tidak ada di rumah," ujar Vania sambil mengedipkan mata lalu melangkah meninggalkan Sumi yang masih melongo.Sejak seminggu yang lalu Vania memang berencana mengunjungi Karin sebentar ke rumahnya untuk mengucapkan selamat atas ulang tahun pernikahan mereka yang ke-enam. Sebenarnya ia bisa saja menelpon kakak madunya itu untuk sekedar memberinya ucapan selamat. Nam
Untuk beberapa saat, Vania bersandar di dinding sambil menutup mulutnya. Ucapan Karin benar-benar menyentak pikirannya, sungguh Vania tidak menyangka jika ada niatan seperti itu dalam benak Karin. Tak lama, ia melangkah pelan meninggalkan tempat itu dan keluar dari rumah megah bertingkat dua itu kembali menuju ke mobilnya."Cepat jalan dan pergi dari tempat ini pak," perintah Vania pada sopirnya.***Rendi keluar dari ruang kerjanya dengan perasaan kesal. Pembicaraannya dengan Karin membuat suasana hatinya memburuk, meski sudah berulang kali dirinya menjelaskan bahwa ketakutan Karin tidak beralasan, istri pertamanya itu seakan tak peduli, keinginan Karin untuk memiliki dan merawat anak pertama Vania seolah tak terbendung.Nafas Rendi naik turun, dengan dada yang masih berselimut emosi. Untuk sekian detik matanya terpejam, mencoba menenangkan dirinya. Tak lama, kakinya kini kembali melanjutkan langkah, menuruni tangga, berniat hendak keluar dari rumah."Lho kok tidak ada?" Suara Lina
"Ma-mama!" Sapa Rendi terkejut. Tak ayal kedatangan Helena membuatnya gugup. Sama halnya dengan Rendi, Sumi pun tak bisa menyembunyikan rasa gugupnya. "Iya, ada apa dengan kalian berdua. Mengapa melihat mama dengan ekspresi seperti itu?" Tanya Helena sambil memiringkan sedikit kepalanya.**Lidah Rendi terasa kelu ketika mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut Helena. Apa yang harus ia jawab sekarang?Rendi menunduk mencoba menghindari pandangan mata ibunya. Tak lama, suara Helena terdengar kembali. Menyentaknya dan Sumi yang masih belum sepenuhnya menguasai rasa gugup mereka."Apa ada masalah? Kalian terlihat tegang?" Pandangan mata Helena tampak menelisik tajam wajah kedua orang yang kini tengah berdiri dihadapannya secara bergantian. Hingga akhirnya membuat Sumi yang sudah cukup tertekan terpaksa bicara."I-itu bu. M-mbak Vania. Dia ... belum pulang ke rumah, ponselnya juga tidak aktif.""Vania? Belum pulang? Apa maksud ucapanmu, Sumi? Lagipula, Ada apa dengan Vania?" Cecar He
[Kabari aku jika Vania menghubungimu]Karin meletakkan ponselnya di atas nakas, tak lama ia mengalihkan pandangannya cukup lama ke arah foto pernikahannya dengan Rendi."Sepertinya kita memang harus bicara banyak hal, Vania. Kau berkata benar, dalam satu istana tak akan mungkin ada dua ratu yang berkuasa. Kurasa ini saatnya salah satu dari kita harus menyingkir," ucap Karin dengan mata menyipit dan seringai sinis di wajahnya.***Mobil yang di tumpangi Rendi akhirnya berhenti di Mall Senayan, tempat terakhir keberadaan Vania. Bergegas ia melangkah masuk ke bangunan tersebut dengan wajah cemas.Sepanjang perjalanan menuju Mall Senayan, pikirannya bercabang. Perasaan gelisah masih terus mengikatnya. Membuat lelaki itu sedari tadi menghela nafas panjang demi menenangkan diri.Dengan langkah yang lebar, lelaki muda itu akhirnya memasuki bangunan mall yang megah tersebut, nafasnya tampak naik turun, menandakan bahwa dirinya tak cukup mampu mengendalikan rasa cemasnya saat ini.Ekor mata Re
Rendi mematung beberapa saat, lalu menghela nafas panjang beberapa kali, mencoba mengumpulkan keberanian, tak lama ia kembali melanjutkan langkahnya masuk ke dalam rumah.Tatapan tajam Helena langsung menyambutnya, membuat Rendi seketika menelan ludah. Tak lama sebuah pertanyaan sederhana keluar dari bibir Helena namun terasa begitu menusuk dan mengerikan di telinganya."Mana Vania? Jangan bilang pada mama jika kau tidak menemukannya?" ***Kerongkongan Rendi tercekat kala mendengarnya, meskipun pertanyaan itu sudah bisa diperkirakannya, tetap saja membuatnya gemetar. Dengan langkah gontai, Rendi berjalan hingga berhenti sejenak di hadapan Helena memperlihatkan wajahnya tidak bersemangat.Bibir Rendi kini mulai terasa kaku, lelaki itu akhirnya diam beberapa saat, hanya kakinya saja yang masih sedikit bertenaga untuk membawa tubuh lelahnya menuju sofa.Ekor mata Rendi masih menyadari jika ibunya masih tengah menatapnya. Di hempaskannya tubuhnya ke sofa, lalu menyandarkan punggungnya se