"Ini tentang Mbak Karin," Jawab Vania."Ada apa dengan Karin?" Balas Helena balik bertanya."Bolehkah aku mengetahui masa lalu Mbak Karin saat ia belum menikah dengan Mas Rendi? Maaf ma, aku hanya ingin tahu semua hal tentang dirinya. Selama ini aku tak begitu peduli padanya, jadi tak tahu apapun tentang dirinya," sahut Vania menunduk.***Helena menatap wajah Vania cukup dalam, pertanyaan itu cukup mengganggunya, mengingat dirinya yang tak terlalu menyukai Karin.Hembusan nafasnya terdengar berat. Perlahan Helena meraih tangan Vania dan mengelusnya sesaat."Kau bisa menanyakannya nanti. Saat ini kau tidak boleh stres atau terlalu banyak pikiran, sayang. Pikirkan cucu mama yang ada dalam kandunganmu, mama tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk padanya, jika kau terlalu banyak berpikir," pinta Helena."Baiklah ma," ujar Vania menyerah, rasanya ia tak akan bisa membuat Ibu mertuanya itu bicara.Bukan tanpa alasan Vania bertanya seperti itu, senyuman terakhir yang diperlihatkan Karin pad
Tidak, Gio tak ingin menyerah. Kesempatan itu masih ada, tak mengapa, jika Vania bersedia kembali padanya. Gio juga tak akan keberatan menerima anaknya. "Kau sangat ingin menghukum diriku, Vania. Baiklah, aku akan menerimanya, asal kau tahu, bahwa aku sangat menyesal karena pernah meninggalkan dan mencampakkan dirimu dulu," ucap Gio begitu lirih, lalu kembali masuk ke dalam mobilnya.***"Bi, bilang sama mama, aku ke rumahnya Mbak Karin ya," pamit Vania pada Sumi."Lho, sudah rapi? Mbak Vania pergi sendiri? Kan ibu besar bilang, Mbak Vania nggak boleh pergi sendiri," Sumi mengingatkan."Aku hanya sebentar saja, mumpung mama tidak ada di rumah," ujar Vania sambil mengedipkan mata lalu melangkah meninggalkan Sumi yang masih melongo.Sejak seminggu yang lalu Vania memang berencana mengunjungi Karin sebentar ke rumahnya untuk mengucapkan selamat atas ulang tahun pernikahan mereka yang ke-enam. Sebenarnya ia bisa saja menelpon kakak madunya itu untuk sekedar memberinya ucapan selamat. Nam
Untuk beberapa saat, Vania bersandar di dinding sambil menutup mulutnya. Ucapan Karin benar-benar menyentak pikirannya, sungguh Vania tidak menyangka jika ada niatan seperti itu dalam benak Karin. Tak lama, ia melangkah pelan meninggalkan tempat itu dan keluar dari rumah megah bertingkat dua itu kembali menuju ke mobilnya."Cepat jalan dan pergi dari tempat ini pak," perintah Vania pada sopirnya.***Rendi keluar dari ruang kerjanya dengan perasaan kesal. Pembicaraannya dengan Karin membuat suasana hatinya memburuk, meski sudah berulang kali dirinya menjelaskan bahwa ketakutan Karin tidak beralasan, istri pertamanya itu seakan tak peduli, keinginan Karin untuk memiliki dan merawat anak pertama Vania seolah tak terbendung.Nafas Rendi naik turun, dengan dada yang masih berselimut emosi. Untuk sekian detik matanya terpejam, mencoba menenangkan dirinya. Tak lama, kakinya kini kembali melanjutkan langkah, menuruni tangga, berniat hendak keluar dari rumah."Lho kok tidak ada?" Suara Lina
"Ma-mama!" Sapa Rendi terkejut. Tak ayal kedatangan Helena membuatnya gugup. Sama halnya dengan Rendi, Sumi pun tak bisa menyembunyikan rasa gugupnya. "Iya, ada apa dengan kalian berdua. Mengapa melihat mama dengan ekspresi seperti itu?" Tanya Helena sambil memiringkan sedikit kepalanya.**Lidah Rendi terasa kelu ketika mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut Helena. Apa yang harus ia jawab sekarang?Rendi menunduk mencoba menghindari pandangan mata ibunya. Tak lama, suara Helena terdengar kembali. Menyentaknya dan Sumi yang masih belum sepenuhnya menguasai rasa gugup mereka."Apa ada masalah? Kalian terlihat tegang?" Pandangan mata Helena tampak menelisik tajam wajah kedua orang yang kini tengah berdiri dihadapannya secara bergantian. Hingga akhirnya membuat Sumi yang sudah cukup tertekan terpaksa bicara."I-itu bu. M-mbak Vania. Dia ... belum pulang ke rumah, ponselnya juga tidak aktif.""Vania? Belum pulang? Apa maksud ucapanmu, Sumi? Lagipula, Ada apa dengan Vania?" Cecar He
[Kabari aku jika Vania menghubungimu]Karin meletakkan ponselnya di atas nakas, tak lama ia mengalihkan pandangannya cukup lama ke arah foto pernikahannya dengan Rendi."Sepertinya kita memang harus bicara banyak hal, Vania. Kau berkata benar, dalam satu istana tak akan mungkin ada dua ratu yang berkuasa. Kurasa ini saatnya salah satu dari kita harus menyingkir," ucap Karin dengan mata menyipit dan seringai sinis di wajahnya.***Mobil yang di tumpangi Rendi akhirnya berhenti di Mall Senayan, tempat terakhir keberadaan Vania. Bergegas ia melangkah masuk ke bangunan tersebut dengan wajah cemas.Sepanjang perjalanan menuju Mall Senayan, pikirannya bercabang. Perasaan gelisah masih terus mengikatnya. Membuat lelaki itu sedari tadi menghela nafas panjang demi menenangkan diri.Dengan langkah yang lebar, lelaki muda itu akhirnya memasuki bangunan mall yang megah tersebut, nafasnya tampak naik turun, menandakan bahwa dirinya tak cukup mampu mengendalikan rasa cemasnya saat ini.Ekor mata Re
Rendi mematung beberapa saat, lalu menghela nafas panjang beberapa kali, mencoba mengumpulkan keberanian, tak lama ia kembali melanjutkan langkahnya masuk ke dalam rumah.Tatapan tajam Helena langsung menyambutnya, membuat Rendi seketika menelan ludah. Tak lama sebuah pertanyaan sederhana keluar dari bibir Helena namun terasa begitu menusuk dan mengerikan di telinganya."Mana Vania? Jangan bilang pada mama jika kau tidak menemukannya?" ***Kerongkongan Rendi tercekat kala mendengarnya, meskipun pertanyaan itu sudah bisa diperkirakannya, tetap saja membuatnya gemetar. Dengan langkah gontai, Rendi berjalan hingga berhenti sejenak di hadapan Helena memperlihatkan wajahnya tidak bersemangat.Bibir Rendi kini mulai terasa kaku, lelaki itu akhirnya diam beberapa saat, hanya kakinya saja yang masih sedikit bertenaga untuk membawa tubuh lelahnya menuju sofa.Ekor mata Rendi masih menyadari jika ibunya masih tengah menatapnya. Di hempaskannya tubuhnya ke sofa, lalu menyandarkan punggungnya se
"Karin menginginkan anak yang sekarang di kandung Vania ma, Karin memohon dan memaksa agar aku menyerahkan anak pertama Vania untuk ia rawat sendiri," jelas Rendi gugup. Ia pasrah jika nanti nya Helena akan memarahinya, atau memaki dirinya.***Wajah Helena sontak memerah mendengar perkataan putranya. Kalimat itu seperti sebuah palu besi yang seakan menghantam kepalanya. Bayi itu bahkan belum lahir, bayi yang selama ini mereka tunggu selama bertahun- tahun, bayi yang kelak akan meneruskan nama besar besar Atmaja kini sedang di perebutkan? Seakan dijadikan sebuah objek.Dada Helena bergemuruh keras, nafasnya terlihat naik turun, tak di pedulikannya Rendi yang kini tertunduk lesu di hadapannya, wanita berdarah Belanda itu terlihat mengepalkan tangannya.Menyerahkan katanya? Kepala Helena menggeleng, sungguh ia tak habis pikir, apa yang ada dalam pikiran Karin hingga meminta anak pertama Vania. Tidakkah wanita itu memikirkan bagaimana perasaan Vania saat mengetahuinya? Atau memikirkan
"Mama akan suruh orang mencari Vania. Mencoba menghubungi teman-temannya, siapa tahu ada diantara mereka yang mengetahui keberadaannya. Kuharap kau cukup pintar untuk tidak memberi tahu keluarga Vania. Mama tidak mau mereka sampai berpikir bahwa kau tidak mampu mengurus putrinya."Lanjut Helena lalu kemudian mengeluarkan ponselnya, tak lama ia berjalan menuju ke ruang kerja suaminya. Tanpa mereka berdua sadari jika sedari tadi Karin tengah berdiri di balik pintu masuk dan mendengar semua pembicaraan mereka.***Karin termenung beberapa saat seakan tak percaya dengan semua yang baru saja didengarnya tadi. Bibirnya kaku meski untuk sekedar membuka mulutnya. Wajah wanita itu tampak begitu sayu dan pias.Ingin sekali rasanya ia berteriak, menumpahkan segala bebannya. Namun, apa daya. Tak mungkin hal itu dilakukannya di sini. Yang dilakukannya hanyalah menahan tangis agar tidak pecah.Tubuhnya kini bersandar di pintu, lalu perlahan merosot jatuh. Karin terduduk lalu menutup matanya beberap