"Kau membujukku pulang karena menginginkan bayi ini kan, mas?"Pertanyaan Vania membuat Rendi refleks menoleh. Di lihatnya wajah Vania yang mulai basah, sungguh pemandangan yang kembali mengoyak hatinya.***Untuk beberapa saat Rendi terdiam, seakan sedang merangkai kata-kata untuk menjawab pertanyaan Vania. Kembali dilihatnya wajah istri keduanya yang tampak sendu. Membuat lelaki itu harus berhati-hati untuk menjelaskannya, jika tidak ingin Vania salah paham dan mengacaukan semuanya."Kenapa bicara seperti itu, princess?" Tanya Rendi pelan."Aku mendengar semua percakapanmu dan Mbak Karin, mas.""Istrimu itu menginginkan bayi ini, bukan? Ha ... ha lucu sekali. Seharusnya aku sudah tahu hal ini sejak awal. Pantas saja selama ini dia tidak bersikap buruk padaku, ternyata ..." Vania menghentikan ucapannya, ada getir yang terasa dalam tiap-tiap ucapannya."Aku yang salah, seharusnya aku menjelaskan semuanya padamu, princess," ujar Rendi berusaha menjelaskan.Mata Vania kini memandang taj
"Jangan dekat denganku, mas. Aku tak suka dengan aroma parfummu," keluh Vania ketika Rendi hendak berbaring di sisinya."Baiklah, aku akan tidur di sofa sana," ujar Rendi menyerah.Vania tersenyum tipis melihat Rendi beranjak menuju sofa yang berada di samping ranjang ini. Aroma wewangian itu entah mengapa membuat hidungnya tak nyaman, padahal sebelumnya ia sangat begitu menyukai aroma parfum suaminya.Tangan ramping itu kemudian menarik selimut hingga sebatas dada. Sekilas ia melirik ke arah Rendi yang sudah berbaring di sofa dengan mata terpejam.Vania mengubah letak bantalnya, sejak kandungan membesar, ia sudah mulai sulit mencari posisi tidur yang nyaman. Beberapa kali ia mengubah posisi tubuhnya hanya agar tidurnya bisa terlelap.Ponselnya tiba tiba bergetar disusul dengan suara bunyi notifikasi membuat Vania akhirnya terpaksa menyibak kasar selimutnya untuk meraih benda pipih yang berada di atas nakas itu, di liriknya sebentar suaminya yang tampak sudah terlelap, lalu meraih p
Dan orang yang paling ingin ditemuinya saat ini adalah Karin, kakak madunya. Sepertinya ia perlu bicara banyak hal pada istri pertama suaminya itu. Sungguh, Vania ingin mengakhiri semua ini, mengakhiri semua drama rumah tangga mereka.***Helena langsung memeluk Vania begitu wanita muda itu tiba turun dari dalam mobil Rendi. Manik coklat wanita paruh baya itu terlihat berkaca-kaca. Kepulangan Vania telah mengakhiri kegelisahannya beberapa hari ini.Dielusnya perut Vania perlahan, seakan hendak memastikan janin yang berada didalamnya baik baik saja. Beberapa saat kemudian, ia merangkul pinggang menantu kesayangannya itu dan mengajaknya masuk."Kau baik-baik saja, kan sayang? Beberapa hari kau menghilang tanpa kabar membuat mama sangat mencemaskanmu," ujar Helena."Aku baik baik saja, ma. Maaf karena telah membuat mama cemas," sahut Vania sambil mengulas senyum."Tak apa, yang penting sekarang kau sudah pulang. Ayo masuklah ke kamarmu, kau perlu istirahat. Mama tidak ingin kau merasa le
"Saya hanya sebentar, tak akan lama, Mbok." Pamit Vania kemudian berlalu meninggalkan Sum yang masih berusaha membujuknya.***Mata Gio tampak tak berkedip saat melihat Vania keluar dari sebuah taksi, nafas pemuda itu tampak tertahan ketika melihat Vania yang tampak sedikit kesusahan karena perutnya yang sudah membuncit.Segera, ia menarik kunci mobilnya, niatnya untuk pergi dari sebuah gerai ponsel ini di urungkannya karena bagaimanapun ia tak ingin melewatkan kesempatan untuk mengajak Vania berbicara.Langkahnya melaju cepat, di iringi fokus pandangannya yang tak lepas dari Vania. Usahanya berhasil, Vania hanya tinggal beberapa jengkal lagi dari posisinya saat ini."Vania!" Seru Gio setengah berteriak memanggilnya.Tangan lelaki itu kini menepuk pelan pundak Vania sesaat setelah wanita cantik itu menoleh padanya."Gio!" Balas Vania dengan ekspresi wajah terkejut."Aku tak mengira akan bertemu lagi denganmu di sini," ucap Gio tersenyum. Mungkin itu adalah senyum terbaik yang diperlih
"Aku tahu dan karena hal itu aku memintamu datang untuk bicara denganku, Mbak. Aku ingin secepatnya menyelesaikan semua masalah ini," ucap Vania sambil melirik Gio yang masih duduk di meja tak jauh dari tempatnya berada.***Gio menatap Vania yang sedang berbicara dengan Karin dengan tatapan sayu, mata itu seolah menyiratkan kerinduannya pada sosok wanita yang saat ini menghuni hatinya.Sudah beberapa kali ia mencoba melupakan Vania karena menyadari bahwa wanita itu sudah menutup harapan untuk bisa menjalin hubungan kembali dengannya. Namun, tetap saja sangat sulit baginya meskipun sudah beberapa cara di lakukannya.Mulai dari mencari kenalan cantik di lingkungan pertemanannya, di sosial media miliknya, bahkan ia juga pernah mengikuti kencan buta pada sebuah aplikasi chat, Namun tak ada sosok wanita yang mampu membuatnya berpaling dari Vania, bahkan Sabrina, mantan kekasihnya sewaktu masih menuntut ilmu diluar negeri pun tak jua mampu membuatnya melupakan Vania.Sambil menyesap kopi y
"Iya, aku memang tidak berdaya menentang keinginan mama Helena untuk memiliki seorang penerus. Aku memang diam saat beliau meminta Mas Rendi menikahimu. Andai kau berada di posisi ku apa kau bisa menolaknya?" Balas Karin tak sabar.***Vania tersenyum sinis." Mengapa bertanya seperti itu padaku, aku yakin kau sudah tahu apa jawabannya Mbak."Melihat reaksi Vania, Karin tampak tak mampu berkata-kata lagi. Tak lama ia memejamkan mata lalu menundukkan kepalanya, seakan sedang memikirkan sesuatu.""Mungkin kau benar, Vania. Aku yang terlalu bodoh karena berharap sebuah mata air di tengah gurun tandus yang gersang." Suara Karin terdengar lirih dan lemah."Kau tahu Vania? sejak awal Mas Rendi memang tidak pernah mencintaiku, pernikahan kami pun terjadi karena ia merasa bertanggung jawab atas kematian calon suamiku. Begitu juga dengan mama Helena, meski ia tak pernah bersikap kasar padaku tapi aku tahu ia tak begitu menyukaiku.""Apa yang sebenarnya ingin kau katakan padaku, mbak?" Tanya Van
"Tadi kau bilang padaku jika Mas Rendi menikahimu karena perasaan bersalah, bolehkah aku tahu alasannya dan mengapa?" Tanya Vania sambil menahan rasa mulas di perutnya.***Mendengar pertanyaan Vania, Karin tampak mengulas senyum. Wanita itu tak terlihat kesal. Tak lama ia menunduk sebentar sebelum akhirnya bicara kembali."Tentu saja, Vania. Bukankah kau sudah seperti adikku sendiri? setelah mengetahuinya maka kau juga akan tahu keputusanku.""Setidaknya kau benar jika tak akan pernah ada dua ratu yang berkuasa dalam satu istana. Dan aku telah memutuskan untuk Menyingkirkan salah seorang ratu tersebut agar semua penghuni istana dapat berbahagia," tutur Karin dengan senyumannya yang terlihat misterius."Aku masih tak mengerti, mbak. Kau bilang menyingkirkan? Apa kau sedang berencana untuk menyingkirkanku?" Tanya Vania dengan wajah datar.Kembali Karin tersenyum. Pertanyaan Vania tak membuat resah, sepertinya Karin sudah menduga pertanyaan itu akan keluar dari mulut adik madunya.Wani
Ujar Gio sambil menatap Karin, seakan meminta izin pada wanita itu agar bisa membantu, begitu melihat Karin menganggukkan kepalanya, dengan cepat tangan kekar Gio meraih tubuh Vania dan menggendongnya keluar dari cafe.***Wajah Karin terlihat begitu cemas sambil mengikuti langkah Gio yang menggendong tubuh Vania dari belakang. Meskipun tak mengerti mengapa laki laki itu bisa ada di tempat yang sama dengan mereka, namun ia bersyukur dengan kebetulan ini.Erangan halus Vania terdengar saat tubuhnya diletakan dengan sangat hati-hati di jok depan mobil Karin, setelah memastikan sabuk pengamannya sudah terpasang dengan baik, Gio pun menutup pintu mobil Karin."Tolong hati hati bawa mobilnya, Mbak. Jika kau berkenan biar aku saja yang menyetir," cemas Gio sambil melirik Vania yang mengerang."Terima kasih, tapi aku bisa menyetir sendiri. Aku akan berhati-hati," tolak Karin."Baiklah," ujar Gio menyerah. lalu menggeser tubuhnya agar Karin bisa lewat.Selagi Karin sibuk mengeluarkan mobilnya