"Saya hanya sebentar, tak akan lama, Mbok." Pamit Vania kemudian berlalu meninggalkan Sum yang masih berusaha membujuknya.***Mata Gio tampak tak berkedip saat melihat Vania keluar dari sebuah taksi, nafas pemuda itu tampak tertahan ketika melihat Vania yang tampak sedikit kesusahan karena perutnya yang sudah membuncit.Segera, ia menarik kunci mobilnya, niatnya untuk pergi dari sebuah gerai ponsel ini di urungkannya karena bagaimanapun ia tak ingin melewatkan kesempatan untuk mengajak Vania berbicara.Langkahnya melaju cepat, di iringi fokus pandangannya yang tak lepas dari Vania. Usahanya berhasil, Vania hanya tinggal beberapa jengkal lagi dari posisinya saat ini."Vania!" Seru Gio setengah berteriak memanggilnya.Tangan lelaki itu kini menepuk pelan pundak Vania sesaat setelah wanita cantik itu menoleh padanya."Gio!" Balas Vania dengan ekspresi wajah terkejut."Aku tak mengira akan bertemu lagi denganmu di sini," ucap Gio tersenyum. Mungkin itu adalah senyum terbaik yang diperlih
"Aku tahu dan karena hal itu aku memintamu datang untuk bicara denganku, Mbak. Aku ingin secepatnya menyelesaikan semua masalah ini," ucap Vania sambil melirik Gio yang masih duduk di meja tak jauh dari tempatnya berada.***Gio menatap Vania yang sedang berbicara dengan Karin dengan tatapan sayu, mata itu seolah menyiratkan kerinduannya pada sosok wanita yang saat ini menghuni hatinya.Sudah beberapa kali ia mencoba melupakan Vania karena menyadari bahwa wanita itu sudah menutup harapan untuk bisa menjalin hubungan kembali dengannya. Namun, tetap saja sangat sulit baginya meskipun sudah beberapa cara di lakukannya.Mulai dari mencari kenalan cantik di lingkungan pertemanannya, di sosial media miliknya, bahkan ia juga pernah mengikuti kencan buta pada sebuah aplikasi chat, Namun tak ada sosok wanita yang mampu membuatnya berpaling dari Vania, bahkan Sabrina, mantan kekasihnya sewaktu masih menuntut ilmu diluar negeri pun tak jua mampu membuatnya melupakan Vania.Sambil menyesap kopi y
"Iya, aku memang tidak berdaya menentang keinginan mama Helena untuk memiliki seorang penerus. Aku memang diam saat beliau meminta Mas Rendi menikahimu. Andai kau berada di posisi ku apa kau bisa menolaknya?" Balas Karin tak sabar.***Vania tersenyum sinis." Mengapa bertanya seperti itu padaku, aku yakin kau sudah tahu apa jawabannya Mbak."Melihat reaksi Vania, Karin tampak tak mampu berkata-kata lagi. Tak lama ia memejamkan mata lalu menundukkan kepalanya, seakan sedang memikirkan sesuatu.""Mungkin kau benar, Vania. Aku yang terlalu bodoh karena berharap sebuah mata air di tengah gurun tandus yang gersang." Suara Karin terdengar lirih dan lemah."Kau tahu Vania? sejak awal Mas Rendi memang tidak pernah mencintaiku, pernikahan kami pun terjadi karena ia merasa bertanggung jawab atas kematian calon suamiku. Begitu juga dengan mama Helena, meski ia tak pernah bersikap kasar padaku tapi aku tahu ia tak begitu menyukaiku.""Apa yang sebenarnya ingin kau katakan padaku, mbak?" Tanya Van
"Tadi kau bilang padaku jika Mas Rendi menikahimu karena perasaan bersalah, bolehkah aku tahu alasannya dan mengapa?" Tanya Vania sambil menahan rasa mulas di perutnya.***Mendengar pertanyaan Vania, Karin tampak mengulas senyum. Wanita itu tak terlihat kesal. Tak lama ia menunduk sebentar sebelum akhirnya bicara kembali."Tentu saja, Vania. Bukankah kau sudah seperti adikku sendiri? setelah mengetahuinya maka kau juga akan tahu keputusanku.""Setidaknya kau benar jika tak akan pernah ada dua ratu yang berkuasa dalam satu istana. Dan aku telah memutuskan untuk Menyingkirkan salah seorang ratu tersebut agar semua penghuni istana dapat berbahagia," tutur Karin dengan senyumannya yang terlihat misterius."Aku masih tak mengerti, mbak. Kau bilang menyingkirkan? Apa kau sedang berencana untuk menyingkirkanku?" Tanya Vania dengan wajah datar.Kembali Karin tersenyum. Pertanyaan Vania tak membuat resah, sepertinya Karin sudah menduga pertanyaan itu akan keluar dari mulut adik madunya.Wani
Ujar Gio sambil menatap Karin, seakan meminta izin pada wanita itu agar bisa membantu, begitu melihat Karin menganggukkan kepalanya, dengan cepat tangan kekar Gio meraih tubuh Vania dan menggendongnya keluar dari cafe.***Wajah Karin terlihat begitu cemas sambil mengikuti langkah Gio yang menggendong tubuh Vania dari belakang. Meskipun tak mengerti mengapa laki laki itu bisa ada di tempat yang sama dengan mereka, namun ia bersyukur dengan kebetulan ini.Erangan halus Vania terdengar saat tubuhnya diletakan dengan sangat hati-hati di jok depan mobil Karin, setelah memastikan sabuk pengamannya sudah terpasang dengan baik, Gio pun menutup pintu mobil Karin."Tolong hati hati bawa mobilnya, Mbak. Jika kau berkenan biar aku saja yang menyetir," cemas Gio sambil melirik Vania yang mengerang."Terima kasih, tapi aku bisa menyetir sendiri. Aku akan berhati-hati," tolak Karin."Baiklah," ujar Gio menyerah. lalu menggeser tubuhnya agar Karin bisa lewat.Selagi Karin sibuk mengeluarkan mobilnya
"Lalu Gio, di mana dia? Apakah dia juga pergi setelah mengantarku ke rumah sakit, sama seperti Karin?" Bisik Vania teramat pelan, karena tak mungkin baginya untuk bertanya tentang lelaki itu pada ibu mertuanya.***Gio menyetir mobilnya dengan pikiran yang berkecamuk, lelaki itu tampak murung, sambil sesekali berdecak kesal.Setelah memastikan Vania ada yang menjaga, tepatnya setelah ia melihat kedatangan Rendi ke rumah sakit, lelaki itu perlahan mundur dan memutuskan untuk pergi dari rumah sakit. Tak hanya dirinya, karena beberapa saat kemudian, ia juga melihat Karin pergi meninggalkan rumah sakit, setelah berbicara sebentar dengan Rendi."Apa yang sebenarnya terjadi, Vania? Mengapa aku merasa sangat cemas seperti ini?" Lirih Gio tertahan.Dari kejauhan, ekor mata Gio menangkap mobil berwarna silver metalik yang dikendarai Karin. Entah mengapa mendadak ia memutuskan untuk mengikuti mobil Karin dan ingin mengajaknya bicara.Setengah jam telah berlalu, namun Gio masih belum melepaskan
Pernyataan Vania sontak membuat Lelaki itu memandangnya tanpa berkedip. "Iya, aku masih ingat, kenapa?" Balasnya bertanya."Talak aku mas," ujar Vania dengan suaranya yang bergetar.***Untuk beberapa saat Rendi tampak tak percaya dengan apa yang baru saja Vania katakan. Matanya tampak mendelik marah karena tak suka dengan permintaan istri keduanya itu.Tangan Rendi mengepal, seolah menahan emosinya. Lelaki itu tak menduga jika Vania berniat untuk berpisah darinya."Apa kau sedang bercanda?" Tanya Rendi sambil menatap tajam pada istri keduanya itu. Sungguh ia tak suka dengan permintaan Vania kali ini.Vania menggeleng. "Tidak mas, aku serius. Tolong segera urus perceraian kita.""Kenapa? Apa ada kesalahan yang kubuat? Ataukah ada hal lain yang membuatmu ingin berpisah dariku?" Cecar Rendi.Vania menggeleng." Tidak mas, kau tidak berbuat kesalahan apapun. Hanya saja aku sudah tak ingin lagi menjadi orang ketiga dalam pernikahanmu dan Mbak Karin," jawab Vania menunduk. Bahunya tampak se
"Kau terlihat gelisah, mas. Apa ada masalah?" Mendengarnya, Rendi lalu menghela nafas berat."Iya, pengacara Karin baru saja menelponku, beliau bilang bahwa Karin telah mendaftarkan gugatan cerainya ke pengadilan agama," jawab Rendi, nada suaranya terdengar parau.***"Gugatan cerai?" Ucap Vania seakan tak percaya. Terlihat keningnya seketika berkerut."Benar, pengacaranya berkata seperti itu padaku," tegas Rendi sambil menganggukkan kepalanya."Mustahil?""Rasanya aku tak bisa mempercayainya? Bukankah sebelumnya ia begitu sangat menginginkan bayiku agar bisa terus bersamamu, mas. Lalu kenapa sekarang ingin bercerai?" Vania mendesis seolah tak yakin jika Karin benar-benar melakukannya."Entahlah, aku juga tak tahu alasannya, kurasa aku harus mengajak Karin bicara. Aku ingin tahu apa alasannya kali ini setelah sebelumnya begitu sangat menginginkan bayimu," pungkas Rendi.Untuk beberapa saat, diantara mereka tak ada yang bicara seakan sibuk dengan pikirannya masing-masing hingga akhirny