Jenar duduk di atas sofa sembari memandangi keadaan sekitarnya. Rumah mewah ini seakan membelenggu kebahagiaannya. Hanya ada kekhawatiran besar di dalam hatinya sekarang."Jasmine akan pulang sebentar lagi. Katanya dia sudah ada di depan gang komplek," ucap Julian. Menghampiri Jenar dengan membawakan secangkir teh untuk kedatangannya.Penyesalannya datang lagi. Dia seharusnya tadi menolak saat dia itu mengajaknya untuk sekalian datang mampir ke rumahnya.Jenar tersenyum manis pada Julian. "Di mana Jean?" tanyanya. Syukurlah kalau nama anak terakhir Julian mudah diingat olehnya."Aku menitipkannya di pengasuh. Katanya mereka sedang jalan-jalan di taman, nanti juga akan kembali karena aku sudah menelepon kalau ada tamu penting yang datang ke rumah." Pria itu menjawab seadanya. Duduk di depan Jenar. "Bagaimana dengan rumahku?" tanya Julian lagi. "Apanya yang bagaimana?" Jenar mengernyitkan dahi. "Nyaman untuk kamu?" Julian sepertinya tergesa-gesa, tentang Jenar yang harus segera menye
“Boleh aku masuk?”Jenar tidak tahu apakah dia akan melakukan kelancangan yang membuat Jasmine semakin membenci dirianya atau tidak. Dia hanya ingin datang dan berbicara.Jasmine tidak memberi jawaban. Dia meringkuk di dalam selimut tebalnya.“Aku anggap boleh,” ucapnya terdengar bimbang, meskipun begitu Jenar masih memaksakan diri untuk masuk ke dalam kamar Jasmine.“Papa kamu mengijinkan aku masuk ke sini untuk berpamitan pulang.” Jenar memulai kalimatnya. Dia masih takut jika itu hanya akan menambah kemarahan Jasmine saja.Jasmine menurunkan selimutnya. Dia bangkit dari tempat tidurnya dan menatap Jenar.“Kenapa melihatku seperti melihat monster?” Jenar berusaha untuk bergurau. Sayangnya, Jasmine tidak menangkap kalimat itu.“Katakan padaku dengan jujur!” Dia memer
Satu bulan kemudian.Pesta pernikahan menyertakan Jenar dan Julian sebagai tokoh utamanya. Ucapan selamat berdatangan mengiringi kebahagaian mereka berdua. Pesta digelar sederhana, sesuai dengan permintanaan Jenar.“Jujur aku kecewa sama kamu,” bisik Sarah pada Jenar. Dia tidak menyangka kalau temannya akan senekat ini.Jenar tersenyum simpul. “Maafkan aku.”Sarah bersedekap di depannya. Memandang temannya dengan balutan gaun pengantin. “Kamu benar-benar jadi istri seorang duda sekarang. Padahal aku hanya bercanda waktu itu,” katanya pada Jenar. Sedikit ketus, mengekspresikan kecewanya.Jenar hanya mengangguk.“Ingat Jenar. Jangan datang padaku kalau terjadi apapun.” Sarah memberi penekan pada Jenar. “Aku sudah memperingatkan itu padamu dulu.”Jenar malah tertawa kecil. “Ha
“Tidak jadi menemui temanmu?” Luce datang menghampiri Jenar, dia berdiri di sisinya.Jenar menatapnya dalam diam.“Katanya tadi mau pergi karena ingin menjamu tamu yang lain,” ucapnya sembari melirik pada Jenar. Dia mengambil minuman dari atas meja. Tersenyum lagi pada Jenar. “Namun kamu malah di sini.”Jenar merasa risih dengannya. Sikap Nyonya Luce berubah begitu saja. Tidak seperti saat mereka bertemu sebelumnya.“Temanku ternyata sudah pulang,” jawab Jenar seadanya.“Tanpa pamit sama kamu?” Luce menyahut lagi.Jenar manggut-manggut. “Mungkin terburu-buru, dia orang sibuk dan aku memberi undangan dua hari sebelumnya. Itu sangat mendadak,” ujar Jenar. Dia sedang membicarakan Sarah yang menghilang entah ke mana.Luce bersedekap dengan satu tangan. Menoleh ke kanan da
Setelah pesta pernikahan, hidup baru Jenar dimulai. Jenar tersenyum lebar. Menatap Jasmine dan Julio yang duduk berdua, bercengkerama di atas sofa. Setidaknya dia disambut dengan pemandangan wajar yang begitu pantas untuk dilihat. “Boleh aku bergabung?” tanya Jenar seraya berjalan mendekat. Suara Jenar menyela percakapan keduanya. Jasmine dan Julio menoleh padanya. “Tidak boleh?” Jenar langsung menyimpulkan kala raut wajah keduanya berubah. Julio menggeratkan giginya. Dia memilih membuang pandangan matanya sekarang. Tentu saja dia masih belum terbiasa dengan situasinya. “Kamu mengizinkan dia bergabung?” bisiknya pada Jasmine. Jenar terlalu dekat untuk tidak mendengar bisikan itu. Jasmine melirik Jenar, lalu menggelengkan kepalanya. “Aku malah mengira kakak yang akan mengizinkan dia,” ujarnya sembari menyeringai. “Kalian bisa berbicara dengan santai, jika memang tidak nyaman dengan—“ “Ah, aku baru ingat!” Jasmine menyentak dengan nada bicaranya. Memotong kalimat Jenar. “Aku a
Malam tiba. Jenar menunggu di teras rumah dengan hujan gerimis yang membasahi malam. “Bu Jenar?” Wanita paruh baya memanggilnya. Dia adalah Mariani, pengasuh Jean sejak dia lahir—begitu kata Julian padanya. “Mau pulang?” tanya Jenar. Tersenyum tipis padanya. Dia memandang wanita itu dari atas sampai bawah. “Iya, Bu. Pak Julian kemarin berpesan kalau jam kerjaku akan berkurang karena Bu Jenar ada di sini.” Mariani berbicara lembut, penuh kesopanan meskipun Jenar seusia dengan anak termudanya. “Kalau Jean sudah tidur, aku boleh pulang.” Mariani mengimbuhkan. “Aku baru saja menidurkan dan membersihkan kamarnya, Bu.” Jenar manggut-manggut. “Biasanya kamu pulang jam segini?” Jenar melirik jam tangan miliknya. “Masih pukul tujuh,” sambungnya. “Biasanya pulang jam sembilan atau cepat jam delapan. Tergantung Pak Julian ada lembur atau tidak.” Senyum tidak pernah luntur darinya. Secara personal, tanpa mempertimbangkan banyak hal, sejak pertama kali dia melihat Jenar, Mariani sudah menyuka
“Maaf karena baru pulang.” Julian memasang wajah sedih pada Jenar. Dia berulang kali meminta maafnya sebab keterlambatannya malam ini. “Aku seharusnya tidak mengacaukan malam pertama ini.” Dia menatap punggung Jenar. Gadis itu menyibukkan diri dengan menata jas yang dipakai Julian malam ini. “Jenar ....” Julian memanggilnya dengan lembut. Dia mendekati Jenar perlahan-lahan. “Kamu marah padaku?” Jenar menoleh kala suara Julian semakin dekat dengannya. Jenar lantas menggelengkan kepalanya. “Aku tidak punya alasan untuk marah, Pak Julian.” Jenar hanya canggung. Dia tidak memikirkan alur setelah dia menikah dengan pria yang sama sekali belum pernah masuk ke dalam hatinya. “Kamu pergi ke kantor untuk menemui orang penting, jadi aku harus mengerti itu,” kata Jenar seraya tersenyum. Julian menggelengkan kepalanya. “Tidak. Itu kesalahan,” sahutnya.
“Mulai pagi ini, Mama Jenar akan resmi mengatur urusan rumah ini selagi papa tidak ada.” Julian memberi pengumuman pada anak-anaknya. “Dia adalah ibu kalian dan dia yang akan mendidik kalian mulai sekarang. Turuti semua perintahnya dan hormati dia meskipun usianya tidak jauh dari kalian,” pungkas Julian. Julian menatap Jasmine dan Julio. Seperti biasa kalau mereka tidak peduli dengan apa yang dikatakan oleh ayah mereka. “Kalian mendengarkan papa atau tidak?” tanyanya pada Julio dan Jasmine. “Papa sangat serius sekarang,” ucapnya lagi. Jenar merasakan kecanggungan yang luar biasa pagi ini. Ini adalah kali pertamanya dia duduk di hadapan Julian dan tiga anaknya. Jasmine menghentikan makannya. “Kita hanya perlu mengangguk dan mengiyakan kan, Pa?” tanyanya dengan ketus. “Maka kita akan melakukan itu,” sambung Jasmine seraya melirik Jenar yang duduk sisi ayahnya. “Lagian ada atau tidak, sama saja.” “Jasmine,” timpal Jenar memberi penekanan. “Papa berharap kamu menghargainya seb