Satu bulan kemudian.
Pesta pernikahan menyertakan Jenar dan Julian sebagai tokoh utamanya. Ucapan selamat berdatangan mengiringi kebahagaian mereka berdua. Pesta digelar sederhana, sesuai dengan permintanaan Jenar.
“Jujur aku kecewa sama kamu,” bisik Sarah pada Jenar. Dia tidak menyangka kalau temannya akan senekat ini.
Jenar tersenyum simpul. “Maafkan aku.”
Sarah bersedekap di depannya. Memandang temannya dengan balutan gaun pengantin. “Kamu benar-benar jadi istri seorang duda sekarang. Padahal aku hanya bercanda waktu itu,” katanya pada Jenar. Sedikit ketus, mengekspresikan kecewanya.
Jenar hanya mengangguk.
“Ingat Jenar. Jangan datang padaku kalau terjadi apapun.” Sarah memberi penekan pada Jenar. “Aku sudah memperingatkan itu padamu dulu.”
Jenar malah tertawa kecil. “Ha
“Tidak jadi menemui temanmu?” Luce datang menghampiri Jenar, dia berdiri di sisinya.Jenar menatapnya dalam diam.“Katanya tadi mau pergi karena ingin menjamu tamu yang lain,” ucapnya sembari melirik pada Jenar. Dia mengambil minuman dari atas meja. Tersenyum lagi pada Jenar. “Namun kamu malah di sini.”Jenar merasa risih dengannya. Sikap Nyonya Luce berubah begitu saja. Tidak seperti saat mereka bertemu sebelumnya.“Temanku ternyata sudah pulang,” jawab Jenar seadanya.“Tanpa pamit sama kamu?” Luce menyahut lagi.Jenar manggut-manggut. “Mungkin terburu-buru, dia orang sibuk dan aku memberi undangan dua hari sebelumnya. Itu sangat mendadak,” ujar Jenar. Dia sedang membicarakan Sarah yang menghilang entah ke mana.Luce bersedekap dengan satu tangan. Menoleh ke kanan da
Setelah pesta pernikahan, hidup baru Jenar dimulai. Jenar tersenyum lebar. Menatap Jasmine dan Julio yang duduk berdua, bercengkerama di atas sofa. Setidaknya dia disambut dengan pemandangan wajar yang begitu pantas untuk dilihat. “Boleh aku bergabung?” tanya Jenar seraya berjalan mendekat. Suara Jenar menyela percakapan keduanya. Jasmine dan Julio menoleh padanya. “Tidak boleh?” Jenar langsung menyimpulkan kala raut wajah keduanya berubah. Julio menggeratkan giginya. Dia memilih membuang pandangan matanya sekarang. Tentu saja dia masih belum terbiasa dengan situasinya. “Kamu mengizinkan dia bergabung?” bisiknya pada Jasmine. Jenar terlalu dekat untuk tidak mendengar bisikan itu. Jasmine melirik Jenar, lalu menggelengkan kepalanya. “Aku malah mengira kakak yang akan mengizinkan dia,” ujarnya sembari menyeringai. “Kalian bisa berbicara dengan santai, jika memang tidak nyaman dengan—“ “Ah, aku baru ingat!” Jasmine menyentak dengan nada bicaranya. Memotong kalimat Jenar. “Aku a
Malam tiba. Jenar menunggu di teras rumah dengan hujan gerimis yang membasahi malam. “Bu Jenar?” Wanita paruh baya memanggilnya. Dia adalah Mariani, pengasuh Jean sejak dia lahir—begitu kata Julian padanya. “Mau pulang?” tanya Jenar. Tersenyum tipis padanya. Dia memandang wanita itu dari atas sampai bawah. “Iya, Bu. Pak Julian kemarin berpesan kalau jam kerjaku akan berkurang karena Bu Jenar ada di sini.” Mariani berbicara lembut, penuh kesopanan meskipun Jenar seusia dengan anak termudanya. “Kalau Jean sudah tidur, aku boleh pulang.” Mariani mengimbuhkan. “Aku baru saja menidurkan dan membersihkan kamarnya, Bu.” Jenar manggut-manggut. “Biasanya kamu pulang jam segini?” Jenar melirik jam tangan miliknya. “Masih pukul tujuh,” sambungnya. “Biasanya pulang jam sembilan atau cepat jam delapan. Tergantung Pak Julian ada lembur atau tidak.” Senyum tidak pernah luntur darinya. Secara personal, tanpa mempertimbangkan banyak hal, sejak pertama kali dia melihat Jenar, Mariani sudah menyuka
“Maaf karena baru pulang.” Julian memasang wajah sedih pada Jenar. Dia berulang kali meminta maafnya sebab keterlambatannya malam ini. “Aku seharusnya tidak mengacaukan malam pertama ini.” Dia menatap punggung Jenar. Gadis itu menyibukkan diri dengan menata jas yang dipakai Julian malam ini. “Jenar ....” Julian memanggilnya dengan lembut. Dia mendekati Jenar perlahan-lahan. “Kamu marah padaku?” Jenar menoleh kala suara Julian semakin dekat dengannya. Jenar lantas menggelengkan kepalanya. “Aku tidak punya alasan untuk marah, Pak Julian.” Jenar hanya canggung. Dia tidak memikirkan alur setelah dia menikah dengan pria yang sama sekali belum pernah masuk ke dalam hatinya. “Kamu pergi ke kantor untuk menemui orang penting, jadi aku harus mengerti itu,” kata Jenar seraya tersenyum. Julian menggelengkan kepalanya. “Tidak. Itu kesalahan,” sahutnya.
“Mulai pagi ini, Mama Jenar akan resmi mengatur urusan rumah ini selagi papa tidak ada.” Julian memberi pengumuman pada anak-anaknya. “Dia adalah ibu kalian dan dia yang akan mendidik kalian mulai sekarang. Turuti semua perintahnya dan hormati dia meskipun usianya tidak jauh dari kalian,” pungkas Julian. Julian menatap Jasmine dan Julio. Seperti biasa kalau mereka tidak peduli dengan apa yang dikatakan oleh ayah mereka. “Kalian mendengarkan papa atau tidak?” tanyanya pada Julio dan Jasmine. “Papa sangat serius sekarang,” ucapnya lagi. Jenar merasakan kecanggungan yang luar biasa pagi ini. Ini adalah kali pertamanya dia duduk di hadapan Julian dan tiga anaknya. Jasmine menghentikan makannya. “Kita hanya perlu mengangguk dan mengiyakan kan, Pa?” tanyanya dengan ketus. “Maka kita akan melakukan itu,” sambung Jasmine seraya melirik Jenar yang duduk sisi ayahnya. “Lagian ada atau tidak, sama saja.” “Jasmine,” timpal Jenar memberi penekanan. “Papa berharap kamu menghargainya seb
“Panggil aku ibu!” sahut Jenar meninggikan nada bicaranya. “Aku adalah ibu kamu sekarang, Jasmine!” Mata menyorotkan kemarahan yang berlebih. “Hargai aku.” Jasmine malah tertawa. “Kamu berharap terlalu berlebihan, Jenar.” Dia berjalan mendekati Jenar. “Sudah aku katakan, mama aku hanya Mama Luce dan tidak akan ada yang bisa menggantikannya.” Jenar menghela nafas. Ternyata memang gadis ini punya tingkat keras kepala yang begitu tinggi. Entah dia mirip dan mewarisi sikap siapa. “Kamu tidak bisa menyaingi dia. Kamu tidak bisa menggantikan dia,” ujar Jasmine. Dia berjalan semakin dekat dengan Jenar. Matanya menelisik. “Aku dengar dari mama, kamu mengintimidasi mamaku, Jenar.” Keduanya saling diam satu sama lain. Tak ada yang berbicara. Jenar menemukan lawan tandingnya, Jasmine sama kerasnya dengan dia. “Jangan berani lagi mengintimidasi dia. Kamu tidak boleh memandang matanya apalagi sampai memaki-maki dia.” Jasmine memberi penekanan. Dia serius dengan kalimatnya. “Aku tidak akan t
Hai ini penulis Lefkilavanta. Terimakasih untuk kalian, para pembaca baik yang sudah mengikuti kisah Jenar dan Julian. Penulis berharap kalian tetap memberi cinta dalam bentuk dukungan saran dan lainnya (yang bersifat membangun) untuk penulis di masa depan. Penulis berharap, lewat cerita ini bisa memberikan banyak amanat dan sesuatu yang berkesan untuk kalian semua yang telah membacanya. Penulis juga berharap mendapatkan banyak dukungan untuk dari kalian agar novel ini menjadi salah satu novel 'berhasil' yang mampu mendapatkan banyak cinta dan perhatian dari seluruh pembaca Goodnovel. Akhir kata, terimakasih banyak dan terus ikuti kisah Jenar bersama keluarga barunya yang tentunya akan memberikan banyak kejutan untuk kalian semua. xoxo, and happy reading
“Sekali lagi aku minta maaf untuk Jasmine dan Julio.” Julian menatapnya dengan teduh, memohon pengertian dari Jenar. “Mereka memang keras kepala dan sulit untuk diatur.” Jenar malah tersenyum manis. Dia memberikan tas kerja pada Julian. “Kata orang menjadi ibu sambung memang tidak muda.” Jenar mencoba untuk memahami. “Aku sudah tahu risikonya sejak awal, Pak Julian. Aku mengerti dan memahami kedua anakmu dan aku akan mencoba untuk terus menghadapi mereka,” tuturnya. “Ini adalah pilihanku dan semua risikonya juga harus aku tanggung,” ucapnya seraya tersenyum. Jenar menatap jam dinding. “Berangkatlah sekarang, Pak Julian. Nanti terlambat bekerja.” Julian mengusap pundaknya dengan lembut. “Kabari aku jika terjadi sesuatu.” “Tentu,” jawab Jenar menganggukkan kepalanya. Dia berpaling dari Jenar, tetapi langkahnya tidak berjalan jauh. Dia kembali menatap ke arah Jenar. “Soal apa yang aku katakan pada Jasmine,” tutur Julian dengan suara rendah. Namun, cukup didengar oleh Jenar. “Ten