Malam dengan suasana gerimis yang khas. Jenar duduk di serambi rumah sembari menikmati secangkir teh manis. Tiba-tiba saja kedatangan Jasmine membuyarkan fokusnya.
“Soal apa yang terjadi tadi siang.” Jasmine berbicara dari ambang pintu.
Jenar menoleh padanya. “Tadi siang?” Dia berpura-pura tidak tahu. Jenar memandang wajah Jasmine yang lesu. Dia sepertinya bisa menebak tujuan Jasmine mendatanginya malam ini.
“Jangan pura-pura lupa.” Jasmine sedikit membentak. Dia menyimpan kesal di dalam hatinya.
Jenar manggut-manggut. “Tentu saja. Aku ingat semuanya.” Jenar tertawa kecil. “Kamu datang karena kamu mau minta maaf sama aku?”
“Jangan harap!” Jasmine langsung menyanggah. “Aku tidak salah dan aku tidak akan minta maaf.”
Jenar menggelengkan kepalanya. “Kamu bersalah, Jasmine. Bolos sekolah adalah kesalahan.” Jenar menimpali dari tempat duduknya.
Jenar berlarian menyusuri koridor rumah sakit. Dia mencari mencari resepsionis untuk bertanya keberadaan Julio. Setelah Jenar sampai di depan meja resepsionis, dia langsung bertanya. "Saya ingin bertanya tentang Julio." Jenar berbicara dengan nafas yang tersengal-sengal. Dia langsung mengoreksi setelah mendapati perubahan ekspresi wajah petugas resepsionis. "Maksud saya adalah pasien yang datang karena kecelakaan motor beberapa menit yang lalu," ubah Jenar. "Atas nama siapa, Bu?" tanya petugas. "Biar saya bantu cari.""Julio ...." Jenar lupa kalau dia bahkan tidak mengenal nama panjang putranya sendiri. "Atas nama Julio. Dia baru datang beberapa menit yang lalu.""Baik, Bu. Saya akan bantu cari," jawab petugas dengan begitu lembut.Jenar tidak bisa diajak kompromi saat ini. Dia terlalu panik dan khawatir. "Tolong cepat.""Kamu benar-benar datang?" Suara Julio membuyarkan fokus Jenar.Jenar langsung menoleh pada Julio. Dia terkejut mendapati keadaan putra dirinya itu. "Julio!" Jen
"Makanlah. Setelah itu kita pulang ke rumah." Jenar fokus dengan sepiring nasi goreng telur di depannya. Jenar mengimbuhkan. "Aku sudah menghubungi papa kamu. Dia yang akan mengurus motor kamu di bengkel," pungkas Jenar.Julio hanya memandang sepiring nasi goreng di depannya. Tidak ada aksi yang dia berikan. Dia bahkan tidak menjawab semua kalimat Jenar. Jenar menoleh ke arah Julio. "Kenapa kamu tidak makan nasi gorengnya?" "Kamu masih keras kepala tidak mau makan denganku?" Jenar langsung menyimpulkan. "Haruskah aku yang pergi dari sini dan membiarkan kamu makan sampai selesai?""Julio. Aku—""Kamu tidak lihat tangan kananku terluka?" Julio langsung menimpali.Jenar terdiam dalam satu waktu. Dia memandang keadaan Julio, lalu menganggukkan kepalanya. "Maafkan aku."Jenar tiba-tiba saja menarik piring makan Julio. Julio memandangnya dengan sedikit heran. "Aku suapi," kata Jenar. Dia sudah menodongkan sendok berisi nasi goreng tepat di hadapan mulut Julio. Julio memandangnya sejena
Jenar mengetuk pintu kamar Julio. Dia lantas mendorong pintu itu dan masuk ke dalam. "Kamu lagi ngapain?" tanya Jenar saat dia mendapati Julio berdiri memunggungi dirinya. Jenar berdiri di belakang Julio. Dia mendengar decakan ringan milik pemuda itu. "Kenapa susah sekali!" Julio menggerutu ringan. Jenar menarik punggung Julio, membuat pemuda itu berbalik menatapnya. "Apa yang susah?" Jenar sedikit terkejut ketika melihat Julio belum memasangkan kancing baju miliknya. "Kenapa kamu kaget begitu?" tanya Julio. "Karena aku belum pakai baju?" timpal Julio lagi. Jenar jadi gelagapan sendiri di tempatnya. Dia tidak bisa memberi jawaban, hanya diam sembari sesekali menghindari kontak mata dengan Julio. "Itulah kenapa kalau mengetuk pintu, orang di dalam belum menjawab jangan masuk." Julio berpaling dari hadapan Jenar. Jenar menatap punggung Julio. Dia jadi orang kikuk di sini. Padahal kedatangannya hanya ingin memberitahu pada Julio, ini adalah waktu sarapan. "Mau aku bantu?"
Meja makan, kediaman mewah Julian.“Apa yang terjadi?” Jenar tidak bisa menahan pertanyaan yang bergumul di dalam kepalanya.Julio mengerutkan dahi. Dia tidak menjawab, mengabaikan pertanyaan Jenar.“Aku berbicara soal kecelakaan kamu,” sambung Jenar. Jenar paham kebingungan Julio di sini. “Papa kamu mengabari kemarin malam, motor kamu rusak parah.”“Motornya bisa diambil siang ini?” Julio malah balik bertanya. “Aku ada jam kuliah siang nanti.”Jenar mendesah panjang. “Kamu masih mikirin motor kamu?” Nada bicara Jenar dipenuhi protes. “Syukur cuma tangan kamu yang retak, bagaimana jika kamu kehilangan nyawa kamu?” tanya Jenar.Julio mendengus. “Kamu pasti senang. Anak tiri kamu berkurang satu,” jawab Julio tak acuh.Jenar melirik Jasmine yang terkesan tidak acuh dengan Julio pagi ini. “Kamu tidak ingin tahu keadaan kakak kamu?” tanya Jenar pada Jasmine.Jasmine menggelengkan kepalanya. “Dia masih bisa makan pagi ini, itu artinya dia baik-baik saja,” ketus Jasmine. Dia menukas lagi. “K
Jenar pulang dari warung yang tidak jauh dari rumahnya. Langkah kakinya terhenti setelah melihat sosok pria yang tidak asing untuk dirinya.Jenar mendekati pria itu. "Permisi," ucap Jenar dengan lirih. Suaranya menarik fokus perhatiannya. "Bapak ingin mencari seseorang?" tanya Jenar. Pria itu tidak memberi jawaban, hanya menatap Jenar tanpa kata-kata. Jenar seakan tahu bingungan pria itu. "Nama saya Jenar. Saya pemilik rumah ini," tutur Jenar dengan lembut. Dia memperkenalkan dirinya. "Kamu pemilik rumahnya?" tanyanya. "Aku kira ini rumah Julian."Jenar tersenyum sembari menganggukkan kepalanya. "Saya istrinya.""Kamu istrinya?" sahutnya. "Kami baru saja menikah beberapa minggu yang lalu." Jenar mengulurkan tangannya. "Bapak ini temannya Pak Julian?" Jenar bukannya menebak tanpa dasar. Melihat perawakan pria ini, sepertinya dia seumuran dengan Julian. "Pak Julian sedang bekerja jika jam segini. Katanya dia akan pulang sore nanti karena tidak ada lembur di kantor." Jenar berusaha
Jenar mendorong pintu kamar. Dia masuk ke dalam kamar dan mendapati Julian duduk memunggungi dirinya."Sudah makan malam?" tanya Jenar. "Sepertinya makan malam di meja tidak ada yang menyentuh." Suara Jenar menarik fokus Julian. Pria itu menoleh dan tersenyum menyambut kehadiran istrinya malam ini. "Aku sudah makan di kantor," kata Julian. "Maaf karena tidak mengabari," imbuhnya. Sejujurnya, Julian berbohong. Dia belum makan apapun. Kesibukan di kantor membuatnya melupakan makan.Jenar duduk di ujung ranjang. "Kenapa harus minta maaf?" tanya Jenar. "Kamu tidak melakukan kesalahan apapun, Pak Julian."Julian bangkit dari tempatnya. "Jangan memanggilku Pak lagi," kata Julian. Dia berjalan mendekati Jenar. "Aku adalah suamimu. Itu sudah berlalu beberapa minggu."Jenar tersenyum tipis. "Lalu aku harus bagaimana?" tanya Jenar. Dia berpura-pura polos. "Akan sangat aneh jika aku memanggilmu dengan nama. Aku berbeda dengan Nyonya Luce."Julian duduk di sisi Jenar. "Aku tidak menyamakan kali
Jenar meletakkan kepalanya di atas dada telanjang Julian. Jenar memandang langit-langit kamar, sembari mencoba untuk mengatur napasnya yang menggebu-gebu. Sisa perjuangan melepaskan napsu dan gairah yang mereka punyai."Kamu menyukainya, Jenar?" gumam Julian. Dia melirik Jenar yang tidur di sisinya. Jenar tersenyum. Dia tidak memberi jawaban hanya mengerang ringan. "Fantasi anak muda terkadang jauh lebih membahayakan," ucap Julian. "Aku takut permainan kita malam ini mengecewakan dirimu."Jenar menggeleng. "Itu yang aku pikirkan juga, Pak Julian." Jenar mendesah panjang, mengeluarkan sisa kelelahan yang ada. "Aku takut jika aku tidak sesuai harapanmu."Jenar menarik wajahnya. Sekarang dia mendongak dan menatap Julian. "Aku tidak sehebat yang kamu pikirkan, Pak Julian. Aku mungkin tidak sama dengan Nyonya Luce."Julian menggelengkan kepalanya. "Kenapa menyebut dia lagi?" tanya Julian. "Aku tidak pernah mau membandingkan kamu dengan dia. Kalian berbeda."Jenar tersenyum dengan bibir p
Siang ini, Jenar memutuskan untuk menjemput Julio. Alasan terbesar yang mendasari aksi mulianya kali ini adalah sebab Julio tidak bisa menyetir dengan satu tangan. "Julio bertengkar lagi?" Bisikan-bisikan di sekitarnya menarik fokus Jenar. Dia memandang ke sekitarnya. Lalu lalang orang membawa Jenar memberanikan diri untuk masuk ke dalam lingkungan kampus. "Sepertinya Gianna berulah lagi," sambung seseorang dari belakang Jenar. Mereka berlalu begitu saja. Arah tujuan sama, mengarah pada taman yang tak jauh dari pandangan Jenar. Kerumunan orang seakan sedang menonton pertunjukan. "Permisi," ucap Jenar menyela langkah kaki dua orang mahasiswa. Dua pemuda itu menatap Jenar. Sepertinya sejenak tersihir dengan kecantikan Jenar. "Kamu mahasiswi baru?" Seorang pemuda berambut cepak, ala tentara, memulai obrolan. "Namaku Fino."Jenar terdiam. Dia tidak mau berkenalan dengan mereka. "Ini temanku Darren," katanya lagi. Menunjuk pemuda sedikit gempal di sisinya. Jenar tersenyum kikuk. "