"Mbak Jenar!" Alif meneriaki nama Jenar ketika melihat perempuan itu berjalan menelusuri trotoar jalanan.
Jenar berhenti, menoleh pada Alif yang berlari menuju ke arahnya.
"Mbak Jenar dari mana?" tanya Alif seraya mengatur kembali napasnya. "Tumben jalan kaki."
"Memangnya aku biasanya naik helikopter?" kekeh Jenar. Dia kembali menatap jalanan di depannya. Jenar memilih duduk di kursi halte, padahal Julian memberikan uang saku yang banyak, bahkan cukup untuk menyewa puluhan taksi demi menghantarkan dirinya pulang.
Jenar tidak bisa mengabaikan kebiasaan lamanya naik bus.
"Mbak Jenar sudah jadi istrinya orang kaya, jadi sedikit aneh melihat M
Jenar mampir sebentar di swalayan. Niatnya ingin membeli beberapa buah-buahan segar sebelum pulang ke rumah. Julian menelepon dirinya sebelum ini, bertanya dia ada di mana. Katanya Julian akan menjemputnya di swalayan ini, dia akan datang setengah jam lagi. Sedang asyik asyiknya memilih buah, tangannya tiba-tiba bersentuhan dengan pengunjung swalayan lainnya.Jenar langsung menarik tangannya dan menoleh. "Maafkan, aku ...." Jenar tidak jadi melanjutkan kalimatnya setelah dia melihat siapa yang ada di sisinya. "Adam?" Jenar mengerutkan kening. Adam adalah mantan kekasihnya yang pernah dia ceritakan pada Julio. Mereka berpisah sudah lebih dari dua tahun yang lalu. Setelah perpisahan tak baik itu, Jenar tidak pernah bertemu dengan Adam lagi. "Kamu seperti sedang melihat hantu, Jenar." Adam tertawa. "Kamu sepertinya sudah lupa denganku?" Jenar menggelengkan kepalanya. "Tentu saja aku ingat kamu." Jurnal berbicara sembari memandang penampilan Adam. "Kamu banyak berubah, Dam." Adam te
Jenar berusaha untuk menghilangkan perasaan aneh ini sekarang."Kamu, benar-benar sudah melupakan aku?" Adam bertanya sembari mengulas ingatan di masa lalu. "Dulu kamu mencintaiku dengan segenap hatimu. Kamu bahkan menangis dan memohon padaku agar aku lebih memilih kamu."Jenar memandang Adam yang terkesan tidak tahu malu. Seharusnya dia tidak diberi kelonggaran seperti ini."Keadaannya sudah berbeda, Dam. Aku bukan Jenar yang dulu kamu kenal," jawab Jenar. "Aku sudah berubah dan waktu pun juga sudah mengubah hubungan di antara kita."Adam menghela napas penuh kecewa. "Kita bisa memperbaiki semuanya, Jenar.""Aku sudah belajar banyak hal di pern
Jenar tidak melakukan kesalahan apapun, tetapi dia juga tidak berani memandang Julian. Sepanjang perjalanan, mereka hanya diam. "Kamu akan terus diam begini?" Julian yang pertama kali menyela pembicaraan di antara mereka. Dia tersenyum ketika Jenar menoleh padanya. "Kalau kamu diam begini, aku jadi merasa bersalah sudah mengusir mantan kekasihmu dan berbicara seperti itu tadi." Julian menambahkan. Jenar menggeleng. "Mas Julian tidak salah apapun. Yang kamu lakukan tadi sudah benar.""Lalu kenapa kamu diam sepanjang perjalanan?" tanya Julian lagi. "Jangan bilang kalau kamu marah padaku sebab aku terlambat menjemput," tandasnya. Julian tertawa kecil. Jenar menggelengkan kepala lagi. "Aku yang merasa tidak enak atas apa yang sudah terjadi tadi, Mas Julian." "Kenapa kamu merasa tidak enak?" Julian langsung menghentikan aktivitasnya. Dia memandang Jenar yang duduk di atas sofa sembari memandang ke arahnya.Julian berjalan mendekatinya dan memilih turun dari ranjang, pembicaraan tidak
Jasmine berjalan seorang diri menyusuri gang komplek perumahannya. Di tengah perempatan jalan komplek, Jasmi melihat seorang pria berdiri di bawah tiang lampu jalan. Dia asyik memainkan sembari merokok. Tentu saja itu bukan hal yang aneh, Jasmine biasa menghadapi orang seperti itu. Lagian ini bukan kali pertamanya dia pulang malam. Jasmine melewatinya begitu saja. Namun, hanya berjalan mulus beberapa langkah. Pria itu memanggil Jasmine. "Hei! Nak!" Jasmine menoleh. Bodohnya dia malah berhenti di sana. "Bapak memanggilku?" Jasmine menunjuk pada dirinya sendiri, memastikan kalau memang pria itu memanggilnya."Namaku Hang," katanya. Hang adalah nama panggilannya, dia tidak memperkenalkan siapa nama lengkapnya. Hang juga yakin, Jasmine tidak aku mau peduli.Jasmine hanya manggut-manggut. Dia pria paling aneh yang pernah ditemui Jasmine. "Haruskah aku memperkenalkan namaku juga?" Jasmine meladeninya. Jasmine memang benar-benar tidak punya rasa takut, mirip seperti ibu kandungnya. Luce
"Sekarang katakan siapa kamu?" Jasmine memutuskan untuk ikut dengan dia ini. Dia berharap kalau dirinya akan mendapati informasi darinya. Jasmine memicingkan mata. "Sepertinya kamu sudah tidak asing dengan keluargaku. Akan tetapi, aku begitu asing denganmu."Hang menyeruput kopi yang ada di depannya. "Terima kasih untuk kopinya. Padahal aku yang mau mentraktir tadi.""Kamu mau mentraktirku?" Jasmine meremehkan. "Aku tidak yakin kamu punya uang."Hang terdiam dan mengembalikan kelas di atas meja. Dia memandang Jasmine tanpa kata-kata. Sepertinya sedang memahami siapa yang sedang duduk di depannya."Kamu tersinggung dengan kata-kataku tadi?" tanya Jasmine. "Itu adalah candaan anak muda. Kamu harus terbiasa jika ingin berbicara akrab denganku." Pria berambut sedikit ikal itu hanya mengangguk. Dia mengandalkan waktu yang tersisa untuk menjelaskan banyak hal. "Sebelum aku memperkenalkan diriku secara utuh, gimana keadaan kakakmu?" Hang fokus menata perubahan ekspresi wajah Jasmine. Sep
Julio menghampiri Jenar yang duduk di kursi dapur sembari menyantap mie rebus yang dia buat. "Di tengah malam." Julio memulai pembicaraan terlebih dahulu, sembari mengambil air putih dingin di dalam kulkas. Jenar menoleh ke arah Julio sembari menganggukkan kepalanya. "Itulah kenapa kamu masih berkeliaran di sini bukannya tidur karena besok kamu pasti ada kegiatan."Julio tersenyum tipis. Dia menutup pintu kulkas. "Dosenku izin dan kelas kosong. Aku berpikir untuk bangun lebih siang."Jenar manggut-manggut. Cukup mengerti dan dia tidak bisa membantahnya. Jenar kembali menikmati mie rebus yang dia buat.Ternyata Julio tidak langsung pergi dari sana, dia memutuskan menarik kursi di depan Jenar. "Mau mie rebusnya? Kita bagi dua kalau mau," tawar Jenar, seraya mendorong mangkuk mie. Julio menggelengkan kepalanya. "Kamu tidak takut gendut makan tengah malam? Sama perempuan pasti memikirkan itu. Mereka rela menahan lapar sampai besok pagi hanya karena tidak ingin kehilangan tubuh yang ba
Terik menyinari bumi, cahayanya merambah lewat tirai jendela yang separuh terbuka. Julio bangun dari tidurnya. Dia menatap langit-langit kamarnya dengan malas, sebelum memutuskan bangkit sembari mengusap wajahnya. "Aku sudah menunggumu dari tadi, Kak!" Suara itu mengejutkan Julio. Dia langsung menoleh ke arah sumber suara. Jasmine duduk di sana sembari tersenyum aneh padanya. "Kamu sejak kapan di situ?" tanya Julio lagi. "Jangan bilang kamu ada di sini sejak semalam? Sudah kukatakan berhentilah untuk menatapku ketika aku sedang tidur," tandas Julio.Julio turun dari ranjang, memakai sandal kaki dan berjalan malas menuju meja kecil di sudut ruangan. Dia biasa mengimplementasikan jiwa dan menyatukan raga di sana. Jasmine mendekatinya. Dia berjalan sambil melirik jam tangannya. "Sejak pukul enam?" kekehnya. "Mungkin lebih sedikit."Julio mengusap wajahnya. Dia menyambut kedatangan Jasmine. "Sekarang kenapa kamu tiba-tiba memata-matai aku begitu?""Biasanya kalau begitu kamu mau minta
Kediaman mewah Luce Wileen. Jakarta, Indonesia. Luce membukakan pintu untuk kedatangan Julian. Tentu saja sedikit mengejutkan untuknya, tetapi dia berusaha untuk menutupi itu semua. "Mau minum teh atau air dingin?" tanya Luce. "Aku punya jus alpukat kesukaanmu. Kamu mau?" Julian tak banyak berbicara, dia hanya menganggukkan kepalanya yakin. Setelah mendapat anggukan itu, Luce melenggang pergi masuk ke dalam dapur. Julian menunggu sembari memandang sekitarnya. Sejak perceraian mereka satu tahun yang lalu, ini adalah kali pertamanya dia datang ke rumah Luce Wileen. Tentu saja mewah seperti yang dia bayangkan. "Rumahku terasa asing untukmu?" Luce keluar dari ambang dapur membawa nampan berisi segelas jus alpukat dengan kue kering untuk menyambut kedatangan Julian. Julian tersenyum canggung. "Sedikit. Ini adalah kali pertamanya aku datang." Luce terkekeh. "Untuk itu seringlah datang ke sini agar kamu merasa tidak asing.""Jenar bisa salah paham juga dia tahu." Julian langsung menya