"Pak Julian, ada yang ingin menemui Bapak." Julian mempersilahkan tamunya masuk ke dalam ruang kerjanya, meskipun hari menjelang sore. Seharusnya tidak ada tamu lagi yang datang untuk menemui dirinya.Luce adalah tamunya sore ini. "Luce?" Julian menyambutnya dengan senyuman. "Ada apa datang kemari?" tanya Julian. Dia tidak jadi bergegas pergi, Julian kembali meletakkan jasnya di atas meja. Luce duduk di atas sofa sambil merapikan posisinya. "Memangnya aku tidak boleh datang ke sini?" tanyanya. "Aku kira hubungan kita jauh lebih akrab setelah apa yang kita lalui beberapa hari belakangan."Julian manggut-manggut. "Tentu saja. Aku sedang mencoba akrab denganmu, Luce." Luce tersenyum padanya. "Aku kebetulan lewat sini. Dan aku membelikan kopi untukmu. Aku pikir kamu lembur hari ini, jadi aku membawanya ke sini," kata Luce. Dia mendorong cup kopi yang ada di atas meja.Julian berjalan mendekat dan duduk di depannya. Aroma Torabika menari-nari di dalam lubang hidungnya, Luce masih ingat
Setelah berhasil menidurkan Jean, Jenar keluar dari ruang kamar. Matanya melirik jam dinding yang hampir menunjuk ke angka sebelas malam. Namun, tidak ada satupun orang yang diharapkan datang pulang ke rumah. "Ke mana mereka pergi?" gumam Jenar. Dia merogoh ponsel dalam jaket yang dikenakannya. Orang pertama yang ingin dia hubungi adalah suaminya. Julian tidak memberi kabar pada dirinya, jika memang ingin lembur di kantor. Dia juga tidak pernah pulang terlambat selarut ini sebelumnya. Kekhawatiran menumpuk di dalam hatinya.Baru saja Jenar ingin menyambungkan panggilan, suara pintu dibuka mengambil fokus Jenar. Jasmine datang menatap dirinya dengan terkejut. "Ke--kenapa?" gumam Jenar sembari menutup pintu. "Kamu mengejutkan diriku dengan berdiri di tengah kegelapan begitu."Jasmine mendekati Jenar begitu juga dengan sebaliknya. Mereka bertemu di tengah-tengah. "Kamu mau mengadukan aku sama Papa kalau aku baru pulang?" tanya Jasmine. "Kak Julio juga akan kena marah," ucapnya. "Dia
"Mereka pasti sedang bersama di suatu tempat, dan kita sama-sama tidak tahu apa yang sedang mereka lakukan." Jasmine tersenyum puas setelah mengatakannya. Kata demi kata yang terlontar benar-benar mau jadi senjata luar biasa untuk menyakiti hati Jenar malam ini.Jasmine mendekatinya. "Jadi lebih baik kamu tidur. Menunggu Papa pulang hari ini, sepertinya akan sia-sia saja.""Kamu yang seharusnya tidur dan berhenti untuk melantur." Jenar kokoh ingin membohongi dirinya sendiri. Tidak mau percaya apapun yang dikatakan oleh Jasmine."Cuci kakimu dan tanganmu. Jangan lupa menggosok gigi lalu pergi tidur jangan melakukan apapun lagi. Sebentar lagi tengah malam dan besok kamu harus bangun pagi."Jenar pergi setelah me
Julio tertawa kecil setelah melihat perubahan ekspresi wajah Jenar ditambah dengan nada bicaranya yang terdengar begitu sedih.Jenar langsung menoleh ke arahnya. "Kamu menertawai aku?" tanya Jenar sembari menunjuk dirinya sendiri."Aku rasa tidak ada yang lucu di sini, kenapa kamu malah tertawa?" tanyanya lagi. "Ada yang salah padaku?" Jenar mengimbuhkan.Julio menghela nafas. Tawanya tidak bertahan lama. "Hanya lucu saja melihat kamu duduk di sini dengan kekhawatiran.""Apanya yang lucu?" Jenar memprotes Julio. "Bagimu adalah hal yang lucu ketika seorang istri khawatir saat suaminya belum pulang dan tanpa kabar seperti ini?"Julio manggut-mangg
Jenar terdiam di tempatnya. Julio masuk ke dalam rumah tanpa kata-kata dan memutuskan pembicaraan mereka begitu saja. Mungkin dia mulai jengkel dan muak dengan keras kepalanya seorang Jenar."Coklat panas?" Tiba-tiba saja Julio kembali menghampirinya dengan cangkir coklat panas yang ada dalam genggamannya.Jenar tersentak tidak percaya ini. "Aku kira kamu masuk untuk tidur dan beristirahat, kenapa malah keluar lagi?" tanya Jenar.Julio mengabaikan kalimat Jenar. Dia menyodorkan secangkir coklat panas untuk Jenar. "Ambil dulu, aku tidak kuat menahan dua gelas panas."Jenar manggut-manggut. "Terimakasih.""Aku terbiasa begadang. Apalagi kala
Jenar tiba-tiba saja merasakan pelukan hangat pada tubuhnya. Saat dia melirik, tangan Julian sudah melingkar di atas pinggangnya. Sepertinya dia bisa merasakan kemarahan bercampur dengan kekecewaan yang dirasakan oleh Jenar pagi ini. "Aku minta maaf, Jenar." Julian berbisik di sisi telinga Jenar. "Aku tahu kalau aku salah, seharusnya aku mengabari kamu."Jenar sampai tidak bisa berkata-kata. Dia hanya terdiam seribu bahasa. Kekecewaan dan kemarahan menahan ribuan umpatan yang ada di dalam benaknya. Sebelum kepulangan Julian subuh ini, dia sudah menyiapkan ribuan pertanyaan. Dia bahkan menyiapkan umpatan demi umpatan yang akan dia berikan pada suaminya nanti, tetapi sayangnya itu semua tertahan saat melihat Julian pulang. "Kamu boleh marah padaku, asal jangan mendiamkan aku." Julian memohon. Julian menggelengkan kepalanya. "Jujur kalau aku tidak bisa didiamkan, Jenar. Aku tidak tahan jika diabaikan."Jenar tersenyum tipis. Perlahan-lahan dia melepaskan pelukan Julian. "Mas ...." Je
Jenar hanya bisa memandang kepergian suaminya. Julian harus kembali bekerja, meskipun kehadirannya pagi ini tidak benar-benar melegakan hati Jenar."Papa pulang kemarin malam atau tadi pagi?" Jasmine tiba-tiba membuyarkan lamunan Jenar.Jenar menoleh dan menatap ke arahnya. "Kamu katanya mau pergi.""Tidak usah mengubah topik pembicaraan," kekeh Jasmine. "Jawab dulu pertanyaanku yang tadi."Jenar menghela nafasnya. "Kamu mau mempengaruhi aku lagi seperti kemarin malam?" tanyanya. "Sudah aku katakan kalau itu tidak akan mempengaruhi diriku. Jangan buang-buang waktumu untuk ini."Setelah menyelesaikan kalimatnya, Jenar melenggang pergi dari hadapa
Jenar memandang Julio. "Aku mengizinkan Jasmine pergi bukan ingin diam menatapmu begini," ucapnya. "Aku meminta penjelasan dari kata-kata yang kamu katakan tadi."Julio bergeming. "Kamu bisa mengatakan apapun itu yang kamu tahu, aku akan mencoba untuk memahaminya." Jenar memohon padanya. Pemuda itu menarik nafasnya dan menghela dengan kasar. "Bisa kita tidak membicarakan ini sekarang? Aku rasa tidak ada yang perlu dibicarakan."Jenar tersenyum tipis. "Aku ingin mengetahui faktanya." Jenar mulai ragu pada dirinya sendiri, seharusnya dia tidak bertindak sejauh ini. "Aku hanya ingin tahu sebagai istri dari papamu. Apa yang kamu ketahui tentang kegiatannya kemarin?" tanya Jenar lagi. Pandangan matanya sedikit mendesak. "Jenar, aku tidak bisa mengatakannya." Julio mulai berpikir ulang. "Aku bukannya tidak mau peduli, tetapi aku tidak mau ikut campur urusan kalian.""Julio aku mohon padamu." Jenar meminta lagi. "Apa yang tidak aku ketahui di rumah ini?""Kamu tidak tahu apapun, Jenar."