Share

NODA PERNIKAHAN
NODA PERNIKAHAN
Penulis: Aina D

BAB 1. RAHASIA

Alana.

“Naf, aku pulang duluan, ya,” pamitku pada Nafisa yang duduk di sampingku. Aku sedikit merasa risih dengan dress tali satu yang kugunakan saat ini. 

Sebenarnya tadi aku memakai cardigan untuk outer karena dress bercorak floral yang kukenakan sangat terbuka di bagian atasnya. Namun, insiden aku bertabrakan dengan waiters tadi membuat cardiganku basah ketumpahan minuman, bahkan sebagian dari tumpahannya juga mengenai dressku sehingga aku terpaksa melepas cardiganku yang basah.

“Udah dijemput?” tanya Nafisa.

“Mas Wildan nggak jadi jemput, Naf. Tadi ngirim pesan katanya lagi ada kerjaan mendesak dan harus lembur. Aku sudah memesan transportasi online,” jawabku.

“Aku antar ya, Alana.” Tiba-tiba saja pria itu sudah berada di sampingku. Aku meliriknya sekilas kemudian berusaha tersenyum sambil menggeleng.

“Makasih, Win. Aku udah pesan Grab kok. Ya udah, aku ke depan dulu ya, sepertinya grab nya udah tiba,” ucapku sambil melirik aplikasi transportasi online di ponselku.

“Tunggu, Al!” seru Darwin ketika aku sudah melangkah beberapa langkah meninggalkan mereka. “Pakai ini, sepertinya kamu kedinginan akibat ketumpahan minuman tadi, dan juga tak baik berpenampilan terbuka seperti ini dengan menumpang transportasi online,” ucapnya sambil melepas jas nya dan memakaikannya padaku.

Aku belum sempat menolak ataupun mengiyakan. Namun, jas hitamnya sudah menutup tubuhku, terutama bagian bahuku yang tadinya terekspos bebas. Rasa hangat segera kurasakan saat jas itu menutupi tubuhku. Ah, aku merasa nyaman dengan balutan jas ini, itu membuatku spontan mengangguk dan mengucapkan terima kasih dengan gugup padanya. Kupikir tak ada salahnya menerima pinjamn jas Darwin, apalagi aku harus pulang menumpang transport online. Sementara di belakang punggung Darwin kulihat Nafisa tersenyum usil melihat Darwin memakaikan jas nya padaku.

“Cieeee ....” Kurasa begitu Nafisa berucap, terlihat dari gerakan bibirnya walaupun tanpa suara.

Kurapatkan jas hitam yang menutup tubuhku lebih erat lagi saat sudah berada di dalam mobil grab yang kupesan lewat aplikasi tadi. Udara dingin dari AC mobil membuatku sedikit kedinginan. Jas beraroma parfum maskulin milik Darwin ini benar-benar membantu dan membuatku merasa hangat kembali. Diam-diam aku menghirup dalam-dalam aroma maskulin yang menguar dari jas yang sedang kupakai.

“Sudah pulang, Nak?” sambut Ibu mertuaku setelah tiba di rumahku dan membuka pintu rumah serta mengucapkan salam. 

Sejak 2 hari ini Ibu mertuaku memang sedang menginap di rumah kami. Namun, Ibu tidak sendiri, dia bersama Lilis, seorang wanita yang baru beberapa lalu melahirkan lewat operasi caesar. 

Menurut Ibu, Lilis adalah kerabat dekatnya yang yatim piatu, sementara suaminya sedang berada di luar kota, sehingga Ibulah yang menemaninya saat wanita itu melahirkan. Sebenarnya aku sedikit heran karena dalam beberapa hari kemarin Mas Wildan dan Ibu benar-benar heboh dan sibuk bolak-balik ke rumah sakit saat Lilis melahirkan putranya lewat proses operasi. Namun aku hanya menyimpan keherananku karena kupikir mungkin memang Lilis tak punya kerabat lain sehingga Ibu yang disibukkan, dan kurasa Mas Wildan jadi ikutan repot karena permintaan Ibu.

Mas Wildan memang sangat dekat dengan Ibunya. Apalagi sejak Fadli, adik satu-satunya meninggal setahun yang lalu akibat kecelakaan motor di kampung Ibu.

“Alana?” Ibu menatapku heran karena aku hanya terpaku di depan pintu.

“Eh ... iya, Bu. Alana baru pulang,” jawabku.

“Wildan nya mana? Bukannya tadi udah janji mau jemputin Al?” tanya Ibu lagi.

“Oh, Mas Wildan lembur, Bu. Jadi nggak jadi jemputin,” jawabku. Namun aku kembali menoleh pada Ibu ketika menyadari satu hal, “Ibu tau dari mana kalau Mas Wildan mau jemput Al?” tanyaku menyelidik.

“Ehm ... itu ... tadi sore Wildan sempat pulang sebentar ke rumah sebelum kembali ke kantornya. Wildan yang mengatakan pada Ibu kalau udah janji mau jemput Nak Alana dari acara reuni.”

Aku menyipitkan mata. ‘Mas Wildan pulang kerumah tadi sore? Ngapain?’ pikirku.

“Jangan berpikiran macam-macam Al, tadi Wildan hanya pulang untuk mengambil beberapa berkas kantornya yang ketinggalan di kamar kalian,” ucap Ibu mertuaku seolah mengerti isi hatiku.

“Bu, salep yang tadi sore Lilis minta belikan Mas Wildan ditaruh di mana ya?” Lilis tiba-tiba muncul di depan pintu kamar tamu, kamar yang ku sediakan untunya selama wanita itu menginap di rumah kami bersama putranya yang baru berusia beberapa hari. Sedangkan Ibu menggunakan kamar satunya lagi, di samping kamar Lilis.

Aku spontan menoleh ke arah pintu kamar tamu, begitu juga dengan Ibu. Kulihat Lilis terlihat salah tingkah melihatku.

"Eh, Mbak Alana udah pulang," sapanya dengan senyum tipis.

"Iya, Lis," jawabku singkat, namun aku masih memikirkan pertanyaan Lilis tadi. 'Salep yang dibelikan Mas Wildan tadi sore?' pikiranku sedikit terganggu dengan pertanyaan itu. Apalagi kata Ibu barusan, Mas Wildan tadi sore pulang ke rumah untuk mengambil berkas kerjanya.

Baru saja akan menanyakan pada Ibu, ponselku yang kugenggam di tanganku berbunyi. 

Husband calling. 

Aku mengangguk pada Ibu meminta izin untuk mengangkat telpon dari Mas Wildan sambil berjalan menuju kamar utama di rumah ini, kamarku dengan Mas Wildan.

"Laptopku ketinggalan di kamar, Dek. Aku sekarang lagi di bandara mau ke Balikpapan, maaf tak sempat berpamitan. Tiba-tiba saja aku dan tim harus terbang ke sana malam ini juga karena ada beberapa masalah di kantor cabang di Balikpapan. Tolong kamu kirim beberapa file ke emailku ya, aku memerlukan data-data itu tapi tak mungkin untuk pulang mengambil laptopku."

Mas Wildan pun memberikan beberapa petunjuk lewat ponsel tentang letak file-file penting yang dibutuhkannya. Kemudian aku mengirimkan semua berkasnya lewat emailnya. Ternyata memang laptop Mas Wildan masih dalam posisi on, mungkin dia memang sangat terburu-buru tadi sehingga lupa membawa laptopnya, bahkan lupa mematikannya.

"Udah, Mas," jawabku setelah selesai mengirim berkas-berkas yang dimaksudnya.

"Ok, terima kasih, Sayang. Baik-baik di rumah dengan Ibu dan Lilis ya." Mas Wildan menutup panggilan telpon tanpa basa-basi lagi.

Aku baru saja akan mematikan laptop Mas Wildan ketika aku melihat pesan masuk di layar. Rupanya laptonya masih terkoneksi dengan applikasi W******p di ponsel Mas Wildan.

Iseng aku membuka dan membaca-baca beberapa chat di sana. Beberapa chat di grup perusahaan tempatnya bekerja dan grup pertemanannya. Namun aku tersentak ketika membuka grup pertemanan Mas Wildan dan mendapati beberapa ucapan selamat di sana.

"Selamat ya Wil akhirnya jadi bapak juga."

"Selamat atas kelahiran putra pertamanya ya Wil."

"Wah, selamat datang di club bapak-bapak keren."

"Duh, anakmu ganteng banget Wil. Tapi nggak mirip kamu, pasti ibunya cantik ya."

Masih banyak lagi ucapan selamat dari teman-teman Mas Wildan dan semuanya dibalas dengan ucapan terima kasih dari nomor Mas Wildan.

Aku terkesiap.

Lalu ... dengan tangan gemetar aku membuka pesan di grup perusahaannya dan mencari chat dari beberapa hari yang lalu. Hatiku kembali seperti diremas-remas ketika mendapati pesan dengan isi serupa di grup itu. Ucapan selamat atas kelahiran putra pertama Mas Wildan, suamiku. Kali ini dengan kalimat yang lebih formal, mungkin karen ini adalah grup perusahaan. Bahkan kulihat, atasan Mas Wildan pun turut memberikan ucapan selamat dan dibalas dengan ucapan terima kasih oleh Mas Wildan.

Aku terhuyung. Ya Allah! Ada apa ini? Aku merasa ada sesuatu yang tidak ku ketahui.

Suara tangisan bayi dari arah kamar tamu membuat hatiku semakin dipenuhi tanda tanya.

Putra pertama Mas Wildan?

Apakah yang mereka maksud adalah bayi Lilis?

Kalau begitu siapa sebenarnya Lilis?

Benarkah dia hanyalah kerabat Ibu yang yatim piatu?

💫Bersambung💫

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Adi Casanova
Aui baguus
goodnovel comment avatar
Fahmi
Putra pertama mas wildan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status