Alana.
“Naf, aku pulang duluan, ya,” pamitku pada Nafisa yang duduk di sampingku. Aku sedikit merasa risih dengan dress tali satu yang kugunakan saat ini.
Sebenarnya tadi aku memakai cardigan untuk outer karena dress bercorak floral yang kukenakan sangat terbuka di bagian atasnya. Namun, insiden aku bertabrakan dengan waiters tadi membuat cardiganku basah ketumpahan minuman, bahkan sebagian dari tumpahannya juga mengenai dressku sehingga aku terpaksa melepas cardiganku yang basah.
“Udah dijemput?” tanya Nafisa.
“Mas Wildan nggak jadi jemput, Naf. Tadi ngirim pesan katanya lagi ada kerjaan mendesak dan harus lembur. Aku sudah memesan transportasi online,” jawabku.
“Aku antar ya, Alana.” Tiba-tiba saja pria itu sudah berada di sampingku. Aku meliriknya sekilas kemudian berusaha tersenyum sambil menggeleng.
“Makasih, Win. Aku udah pesan Grab kok. Ya udah, aku ke depan dulu ya, sepertinya grab nya udah tiba,” ucapku sambil melirik aplikasi transportasi online di ponselku.
“Tunggu, Al!” seru Darwin ketika aku sudah melangkah beberapa langkah meninggalkan mereka. “Pakai ini, sepertinya kamu kedinginan akibat ketumpahan minuman tadi, dan juga tak baik berpenampilan terbuka seperti ini dengan menumpang transportasi online,” ucapnya sambil melepas jas nya dan memakaikannya padaku.
Aku belum sempat menolak ataupun mengiyakan. Namun, jas hitamnya sudah menutup tubuhku, terutama bagian bahuku yang tadinya terekspos bebas. Rasa hangat segera kurasakan saat jas itu menutupi tubuhku. Ah, aku merasa nyaman dengan balutan jas ini, itu membuatku spontan mengangguk dan mengucapkan terima kasih dengan gugup padanya. Kupikir tak ada salahnya menerima pinjamn jas Darwin, apalagi aku harus pulang menumpang transport online. Sementara di belakang punggung Darwin kulihat Nafisa tersenyum usil melihat Darwin memakaikan jas nya padaku.
“Cieeee ....” Kurasa begitu Nafisa berucap, terlihat dari gerakan bibirnya walaupun tanpa suara.
Kurapatkan jas hitam yang menutup tubuhku lebih erat lagi saat sudah berada di dalam mobil grab yang kupesan lewat aplikasi tadi. Udara dingin dari AC mobil membuatku sedikit kedinginan. Jas beraroma parfum maskulin milik Darwin ini benar-benar membantu dan membuatku merasa hangat kembali. Diam-diam aku menghirup dalam-dalam aroma maskulin yang menguar dari jas yang sedang kupakai.
“Sudah pulang, Nak?” sambut Ibu mertuaku setelah tiba di rumahku dan membuka pintu rumah serta mengucapkan salam.
Sejak 2 hari ini Ibu mertuaku memang sedang menginap di rumah kami. Namun, Ibu tidak sendiri, dia bersama Lilis, seorang wanita yang baru beberapa lalu melahirkan lewat operasi caesar.
Menurut Ibu, Lilis adalah kerabat dekatnya yang yatim piatu, sementara suaminya sedang berada di luar kota, sehingga Ibulah yang menemaninya saat wanita itu melahirkan. Sebenarnya aku sedikit heran karena dalam beberapa hari kemarin Mas Wildan dan Ibu benar-benar heboh dan sibuk bolak-balik ke rumah sakit saat Lilis melahirkan putranya lewat proses operasi. Namun aku hanya menyimpan keherananku karena kupikir mungkin memang Lilis tak punya kerabat lain sehingga Ibu yang disibukkan, dan kurasa Mas Wildan jadi ikutan repot karena permintaan Ibu.
Mas Wildan memang sangat dekat dengan Ibunya. Apalagi sejak Fadli, adik satu-satunya meninggal setahun yang lalu akibat kecelakaan motor di kampung Ibu.
“Alana?” Ibu menatapku heran karena aku hanya terpaku di depan pintu.
“Eh ... iya, Bu. Alana baru pulang,” jawabku.
“Wildan nya mana? Bukannya tadi udah janji mau jemputin Al?” tanya Ibu lagi.
“Oh, Mas Wildan lembur, Bu. Jadi nggak jadi jemputin,” jawabku. Namun aku kembali menoleh pada Ibu ketika menyadari satu hal, “Ibu tau dari mana kalau Mas Wildan mau jemput Al?” tanyaku menyelidik.
“Ehm ... itu ... tadi sore Wildan sempat pulang sebentar ke rumah sebelum kembali ke kantornya. Wildan yang mengatakan pada Ibu kalau udah janji mau jemput Nak Alana dari acara reuni.”
Aku menyipitkan mata. ‘Mas Wildan pulang kerumah tadi sore? Ngapain?’ pikirku.
“Jangan berpikiran macam-macam Al, tadi Wildan hanya pulang untuk mengambil beberapa berkas kantornya yang ketinggalan di kamar kalian,” ucap Ibu mertuaku seolah mengerti isi hatiku.
“Bu, salep yang tadi sore Lilis minta belikan Mas Wildan ditaruh di mana ya?” Lilis tiba-tiba muncul di depan pintu kamar tamu, kamar yang ku sediakan untunya selama wanita itu menginap di rumah kami bersama putranya yang baru berusia beberapa hari. Sedangkan Ibu menggunakan kamar satunya lagi, di samping kamar Lilis.
Aku spontan menoleh ke arah pintu kamar tamu, begitu juga dengan Ibu. Kulihat Lilis terlihat salah tingkah melihatku.
"Eh, Mbak Alana udah pulang," sapanya dengan senyum tipis.
"Iya, Lis," jawabku singkat, namun aku masih memikirkan pertanyaan Lilis tadi. 'Salep yang dibelikan Mas Wildan tadi sore?' pikiranku sedikit terganggu dengan pertanyaan itu. Apalagi kata Ibu barusan, Mas Wildan tadi sore pulang ke rumah untuk mengambil berkas kerjanya.
Baru saja akan menanyakan pada Ibu, ponselku yang kugenggam di tanganku berbunyi.
Husband calling.
Aku mengangguk pada Ibu meminta izin untuk mengangkat telpon dari Mas Wildan sambil berjalan menuju kamar utama di rumah ini, kamarku dengan Mas Wildan.
"Laptopku ketinggalan di kamar, Dek. Aku sekarang lagi di bandara mau ke Balikpapan, maaf tak sempat berpamitan. Tiba-tiba saja aku dan tim harus terbang ke sana malam ini juga karena ada beberapa masalah di kantor cabang di Balikpapan. Tolong kamu kirim beberapa file ke emailku ya, aku memerlukan data-data itu tapi tak mungkin untuk pulang mengambil laptopku."
Mas Wildan pun memberikan beberapa petunjuk lewat ponsel tentang letak file-file penting yang dibutuhkannya. Kemudian aku mengirimkan semua berkasnya lewat emailnya. Ternyata memang laptop Mas Wildan masih dalam posisi on, mungkin dia memang sangat terburu-buru tadi sehingga lupa membawa laptopnya, bahkan lupa mematikannya.
"Udah, Mas," jawabku setelah selesai mengirim berkas-berkas yang dimaksudnya.
"Ok, terima kasih, Sayang. Baik-baik di rumah dengan Ibu dan Lilis ya." Mas Wildan menutup panggilan telpon tanpa basa-basi lagi.
Aku baru saja akan mematikan laptop Mas Wildan ketika aku melihat pesan masuk di layar. Rupanya laptonya masih terkoneksi dengan applikasi W******p di ponsel Mas Wildan.
Iseng aku membuka dan membaca-baca beberapa chat di sana. Beberapa chat di grup perusahaan tempatnya bekerja dan grup pertemanannya. Namun aku tersentak ketika membuka grup pertemanan Mas Wildan dan mendapati beberapa ucapan selamat di sana.
"Selamat ya Wil akhirnya jadi bapak juga."
"Selamat atas kelahiran putra pertamanya ya Wil."
"Wah, selamat datang di club bapak-bapak keren."
"Duh, anakmu ganteng banget Wil. Tapi nggak mirip kamu, pasti ibunya cantik ya."
Masih banyak lagi ucapan selamat dari teman-teman Mas Wildan dan semuanya dibalas dengan ucapan terima kasih dari nomor Mas Wildan.
Aku terkesiap.
Lalu ... dengan tangan gemetar aku membuka pesan di grup perusahaannya dan mencari chat dari beberapa hari yang lalu. Hatiku kembali seperti diremas-remas ketika mendapati pesan dengan isi serupa di grup itu. Ucapan selamat atas kelahiran putra pertama Mas Wildan, suamiku. Kali ini dengan kalimat yang lebih formal, mungkin karen ini adalah grup perusahaan. Bahkan kulihat, atasan Mas Wildan pun turut memberikan ucapan selamat dan dibalas dengan ucapan terima kasih oleh Mas Wildan.
Aku terhuyung. Ya Allah! Ada apa ini? Aku merasa ada sesuatu yang tidak ku ketahui.
Suara tangisan bayi dari arah kamar tamu membuat hatiku semakin dipenuhi tanda tanya.
Putra pertama Mas Wildan?
Apakah yang mereka maksud adalah bayi Lilis?
Kalau begitu siapa sebenarnya Lilis?
Benarkah dia hanyalah kerabat Ibu yang yatim piatu?
💫Bersambung💫
Aku semakin penasaran dan membuka-buka semua deretan pesan di laptop Mas Wildan yang masih terkoneksi dengan aplikasi whatsapp di ponselnya. Tak ada lagi pesan yang masuk, sepertinya ponsel Mas Wildan sudah non aktif, mungkin dia sudah terbang menuju Balikpapan.Beberapa teman dekat Mas Wildan yang juga ku kenal bahkan mengirim chat pribadi mengucapkan selamat pada suamiku atas kelahiran putra pertamanya. Aku terus membaca semua pesan-pesan itu, yang semuanya dibalas dengan ucapan terima kasih dan emot senyum oleh Mas Wildan. Sementara suara tangisan bayi Lilis mengiringi air mataku yang kini mulai mengalir, mengaburkan pandanganku. Semua ucapan selamat itu dikirim 5 hari yang lalu, hari di mana Mas Wildan dan Ibu terlihat sibuk karena menemani Lilis yang sedang menjalani operasi caesar di rumah sakit.Ah ... hatiku merasa sakit, aku yakin putra pertama Mas Wildan yang dimaksud oleh semua isi chat itu adalah bayi Lilis. Aku tak menyangka bayi yang sudah 2 hari ini berada di dalam ruma
Kuraih gawaiku di atas nakas setelah melaksanakan salat subuh dan merapikan kembali alat-alat salatku. Mas Wildan sama sekali tak mengirim pesan sekedar mengabarkan kalau dia sudah tiba di Balikpapan. Tapi itu memang hal yang sudah biasa bagiku, ketika sedang menekuni pekerjaannya, Mas Wildan jarang sekali mengirimkan pesan. Mas Wildan juga jarang mengabari sudah sampai di kota mana ketika dia sedang bertugas di luar kota, kecuali jika aku yang menanyakan atau menelponnya duluan. Tapi jangan ditanya bagaimana Mas Wildan jika sudah berada di rumah. Dia selalu menjadi suami yang romantis, memperlakukanku dengan sangat lembut. Kemudian kami berdua akan melalui malam-malam panjang yang melelahkan berdua, seolah menebus waktu-waktu yang sudah dihabiskannya di luar dengan pekerjaannya. Itulah yang membuatku sangat mencintai suamiku, Mas Wildan selalu bisa menebus dinginnya malam-malamku dalam kesendirian dengan menciptakan suasana romantis nan indah pada malam-malam berikutnya. Meskipun,
Wildan.Kuseruput kopi panas yang baru saja diantarkan ke kamarku oleh petugas hotel. Aku memang sengaja meminta layanan sarapan di kamar sebab aku masih harus menyiapkan beberapa bahan untuk pekerjaanku selama di Balikpapan. Tubuhku masih sedikit lelah, karena terbang dengan penerbangan terakhir Jakarta-Balikpapan tadi malam. Apalagi beberapa hari sebelumnya aku memang sedang banyak sekali urusan, disamping padatnya pekerjaanku, aku pun harus bolak-balik ke rumah sakit mengurus Lilis yang baru saja melahirkan putraku melalui operasi caesar.Memikirkan tentang Lilis, aku selalu merasa khawatir. Khawatir bagaimana reaksi istriku Alana nanti jika dia mengetahui bahwa aku memiliki hubungan dengan wanita lain, bahkan kini wanita itu telah melahirkan seorang putra untukku. Ah, semoga saja Alana bisa memahamiku, aku masih mencari cara yang halus untuk menyampaikan ini padanya. Aku begitu mencintai Alana. Dulunya, tidak mudah bagiku mendapatkan hati wanita itu.Aku masuk ke dalam hidupnya ke
Aku bersiap menuju ke kantor cabang di Kota Balikpapan setelah menikmati sarapan pagiku. Ada beberapa masalah keuangan di kantor cabang Balikpapan yang mengharuskanku sebagai manager keuangan pusat harus turun tangan langsung dalam rangka megaudit laoporan keuangan cabang. Biasanya jika aku sudah turun tangan langsung seperti ini, beberapa pejabat di kantor cabang akan khawatir dengan posisi mereka. Karena pasti akan ada yang berubah setelah aku melakukan audit keuangan, entah itu penurunan jabatan atau bahkan pemecatan oleh pemilik perusahaan. Karena aku hanya akan turun tangan langsung jika memang kondisi keuangan sudah sangat banyak penyimpangan oleh oknum-oknum tertentu.Kuraih laptopku di atas meja kemudian memasukkannya ke dalam tas. Sebenarnya ini hanya laptop cadanganku di kantor karena laptop yang sehari-hari kugunakan ketinggalan di rumah saat aku mampir membawakan salep untuk mengobati iritasi bayi yang dipesan Lilis. Beruntung Alana bisa membantuku dengan mengirimkan sem
Ibu.Aku berjalan mondar-mandir di dalam rumah besar putraku, Wildan. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 9 malam, namun Alana, menantuku, belum juga pulang kembali ke rumah. Entah mengapa aku merasa ada yang tak biasa dari wanita cantik yang sudah 5 tahun menemani putraku itu. Tadi pagi, saat mengajaknya untuk sholat berjamaah, aku merasa Alana berbeda, matanya bengkak seperti orang yang habis menangis semalaman.Begitupun saat aku menawarkan sarapan dengan menu favoritnya, Alana menolak dan lebih memilih sereal untuk sarapan. Bahkan Alana terlihat seperti enggan menatapku dan berlama-lama berbicara denganku. Padahal biasanya Alana selalu terlihat senang berlama-lama mengobrol denganku, dia selalu mencari tau tentang masa kecil suaminya padaku. Kemudian kami akan tertawa bersama ketika aku menceritakan cerita-cerita lucu saat Wildan masih kecil.“Bu, ini kok kulit Bagas masih merah-merah gini ya ... padahal sudah Lilis olesin salep yang dibeli Mas Wildan kemarin.” Suara Lilis membuya
Tiga bulan setelah kecelakaan yang merenggut nyawa Fadli, putra bungsuku. Kulihat Lilis pun sudah tidak terlalu sedih, gadis malang itu sudah mulai berinteraksi dengan beberapa tetangga yang sebaya dengannya. Lilis meminta izin padaku untuk tetap tinggal di rumah, menurutnya dia tak sanggup tinggal sendirian di rumahnya karena ibunya pun sudah meninggal. Itu akan membuatnya merasa sendiri dan kesepian.Aku pun menyetujuinya, karena selain aku juga merasa kesepian jika harus tinggal sendirian di rumah ini, aku juga sudah menyayangi Lilis, gadis itu sudah kuanggap sebagai anakku sendiri. Sebenarnya, beberapa kali Wildan dan Alana memintaku untuk tinggal bersama mereka, namun aku menolak. Aku lebih suka tinggal di sini, dan masih mengelola toko sembako kecil-kecilan peninggalan suamiku.Hingga suatu hari, ketika Wildan kembali mengunjungiku. Aku kembali mempertanyakan cucu padanya, namun seperti biasa, Wildan hanya menjawab dengan gelengan.“Wildan masih menikmati masa-masa indah pernika
LilisSubuh itu, saat aku hendak membangunkan ibu untuk sholat subuh bersama, aku terkejut mendapati tubuh renta ibu tergeletak di lantai kamarnya. Dengan panik aku berusaha mengangkat tubuh ibu ke atas tempat tidurnya. Subuh-subuh aku terpaksa menggedor-gedor rumah tetangga untuk meminta pertolongan.Ditengah kepanikanku, aku teringat untuk memberi kabar tentang ibu pada Mas Wildan. Kuraih ponselku kemudian mencari-cari kontak Mas Wildan. "Halo! Ini siapa?" Aku terkejut mendengar suara Mas Wildan yang terdengar setengah berteriak.“Aku ... aku Lilis, Mas. Maaf harus menelpon subuh-subuh. Lilis cuma mau mengabari Mas Wildan kalau Ibu pingsan, Mas.”“Astaghfirullah, Lilis! Kamu ngagetin aku tau nggak! Kamu pakai nomor Fadli? Aku kaget sekali ada panggilan dari nomor ponsel almarhum, nggak taunya kamu yang nelpon.”Suara Mas Wildan masih terdengar sedikit berteriak, mungkin dia memang sedang kaget karena aku memang menelpon pakai ponsel Mas Fadli. Saat kecelakaan motor waktu itu, ponse
“Lis, apa kamu tau Ibu memintaku untuk menikahimu?” tanyaku saat kami berdua sudah duduk di kursi yang ada di taman di area rumah sakit. Kulihat gadis itu menghela nafasnya. “Lilis tau, Mas. Ibu pun sudah mengatakannya pada Lilis,” jawabnya lirih.“Lalu bagaimana tanggapanmu, Lis?”“Aku tak tau, Mas. Masa depanku terasa gelap saat Mas Fadli meninggalkanku bersama impian-impian yang sudah kami bangun berdua. Aku merasa aku hidup, tapi terasa mati. Mas Fadli nyaris membawa pergi semua gairah hidupku.” Gadis itu menyeka sudut matanya. Aku terdiam, menunggunya meneruskan kalimatnya.“Yang kuinginkan saat ini hanyalah berada di sekitar Ibu, walaupun mungkin orang-orang akan memandang aneh padaku. Tapi tinggal di rumah Ibu dan melihat Ibu setiap hari membuatku merasa Mas Fadli tak pergi jauh-jauh dariku. Maka, ketika Ibu mengatakan niatnya meminangku untuk Mas Wildan, aku tak bisa mengiyakan maupun menolaknya. Sungguh, aku hanya ingin berpasrah karena aku pun tak tau mau ke mana arah hidu