Aku semakin penasaran dan membuka-buka semua deretan pesan di laptop Mas Wildan yang masih terkoneksi dengan aplikasi w******p di ponselnya. Tak ada lagi pesan yang masuk, sepertinya ponsel Mas Wildan sudah non aktif, mungkin dia sudah terbang menuju Balikpapan.
Beberapa teman dekat Mas Wildan yang juga ku kenal bahkan mengirim chat pribadi mengucapkan selamat pada suamiku atas kelahiran putra pertamanya. Aku terus membaca semua pesan-pesan itu, yang semuanya dibalas dengan ucapan terima kasih dan emot senyum oleh Mas Wildan. Sementara suara tangisan bayi Lilis mengiringi air mataku yang kini mulai mengalir, mengaburkan pandanganku. Semua ucapan selamat itu dikirim 5 hari yang lalu, hari di mana Mas Wildan dan Ibu terlihat sibuk karena menemani Lilis yang sedang menjalani operasi caesar di rumah sakit.
Ah ... hatiku merasa sakit, aku yakin putra pertama Mas Wildan yang dimaksud oleh semua isi chat itu adalah bayi Lilis. Aku tak menyangka bayi yang sudah 2 hari ini berada di dalam rumahku itu adalah anak dari suamiku. Lalu Lilis? Ah, aku tak sanggup membayangkan siapa Lilis, wanita polos dengan kecantikan alami yang baru 5 hari lalu melahirkan putranya.
Masih dengan perasaan tak menentu aku berusaha mencari kontak bernama Lilis, namun dari sederetan chat tersebut, tak ada satu pun pesan chat dari nama Lilis. Namun jariku tak berhenti begitu saja, kubaca satu persatu dan menemukan pesan dari “Fadli”. Aku mengeryitkan keningku. Fadli? Apakah itu adik Mas Wildan? Tapi bukankah Fadli sudah lama meninggal karena kecelakaan motor? Mengapa nomornya masih aktif mengirimkan pesan.
“Mas, sepertinya aku kontraksi.”
“Mas Wildan ke sini nemanin Lilis melahirkan, kan?”
“Lilis maunya lahiran ditemani suami.”
“Mas, kata Bidan dedek bayinya kelilit tali pusat. Sepertinya harus ke rumah sakit, Mas. Nggak bisa lahiran di bidan, takutnya harus tindakan operasi.”
Sederet pesan dari kontak bernama “Fadli” membuatku semakin gemetaran. Selanjutnya aku membaca balasan dari Mas Wildan.
“Kamu dan Ibu bersiap-siap ya, Lis. Mas ke sana sekarang jemput kalian. Kamu lahiran di Jakarta aja biar dekat dan Mas bisa selalu mengawasimu dan bayi kita.”
“Hahh?? Bayi kita? Tega sekali kamu, Mas!” gumamku lirih.
Aku berusaha mencari-cari charger laptop Mas Wildan agar aku bisa mencari tau lebih banyak lagi dari pesan-pesan di laptopnya. Gotcha! aku menemukannya di dalam tas laptop yang tergeletak begitu saja di bawah meja. Sepertinya Mas Wildan memang sangat terburu-buru tadi sehingga melupakan barang-barang pentingnya ini. Atau mungkin Allah sedang memberi jalan untukku mencari tau mengenai Mas Wildan, suamiku.
Aku mengambil charger di tas laptop dan menghubungkannya dengan aliran listrik. Namun naluriku menyuruhku membuka tas laptop Mas Wildan. Entahlah, aku merasa semakin penasaran untuk terus mencari fakta. Ternyata naluriku tak salah, di sekat kantong depan tas laptop suamiku aku menemukan tumpukan nota-nota rumah sakit dan apotik. kubaca satu-persatu nota-nota itu.
Nyesss! hatiku kembali seakan diremas hingga remuk ketika membaca nota rumah sakit dimana Lilis melahirkan beberapa hari lalu. Semua nota pembayaran dibayar oleh Wildan Ramadhani dengan jumlah yang tidak sedikit karena Lilis menempati ruang VIP di rumah sakit itu.
Namun yang lebih membuat hatiku remuk adalah selembar Surat Keterangan Lahir berlogo rumah sakit, dimana di sana tertulis jelas nama suamiku Tn. Wildan Ramadhani sebagai ayah dari bayi laki-laki dengan berat 3,2 kg dan panjang 56 cm yang dilahirkan oleh Ny. Lilis Andriani.
Aku tergugu, tak dapat lagi membendung tangisku. Semua bukti yang terpampang di hadapanku saat ini sangat membuatku terpukul. Aku merasa diasingkan, sayap-sayapku patah dan aku tak sanggup untuk terbang kembali. Dengan tangan gemetar dan air mata yang terus mengalir aku mengambil gawaiku, kufoto semua bukti-bukti itu, termasuk semua pesan di laptop Mas Wildan. Aku harus tetap berdiri meski sayapku telah patah. Aku pasti akan memerlukan semua bukti ini nantinya.
Malam ini, aku terpekur seorang diri di dalam kamarku menangisi kenyataan pahit yang baru saja kutemukan. Aku mengusap perutku rataku. Apa karena aku belum bisa menghadirkan anak baginya sehingga suamiku tega memiliki anak dari wanita lain? Padahal selama ini Mas Wildan tau bagaimana usahaku agar segera bisa hamil benihnya. Karena selama ini akupun sering merasa kesepian di rumah ini. Rumahku dan Mas Wildan terhitung sangat besar untuk ditinggali hanya oleh kami berdua, aku memilih untuk tidak memakai jasa ART karena kurasa belum memerlukannya. Belum lagi pekerjaan Mas Wildan yang sering kali mengharuskannya untuk bertugas ke luar kota.
Maka, di saat aku ditinggal sendirian, aku selalu merasa kesepian sehingga keinginanku untuk segera memiliki anak sangatlah besar.
Aku beberapa kali mengajak Mas Wildan berkonsultasi ke dokter untuk menanyakan kesuburan kami. Meskipun Mas Wildan menolaknya dan selalu saja mengatakan jika dia tidak pernah mempermasalahkan anak, namun akhirnya Mas Wildan mengalah juga dan menemaniku berkonsultasi ke dokter. Hasil pemeriksaan kami berdua pun tak ada yang mengkhawatirkan, kami berdua dinyatakan subur dan tak memiliki hambatan apapun untuk memperoleh keturunan. Mungkin karena belum rejeki dari-Nya saja sehingga sampai usia 5 tahun pernikahanku dengan Mas Wildan aku belum juga kunjung hamil.
Aku menggeliat ketika mendengar ketukan di pintu kamarku. Seluruh sendiku terasasa kaku. Ah, pantas saja, rupanya aku ketiduran di atas karpet lantai kamarku. Mungkin karena semalam kelelahan menangis membuatku ketiduran di atas karpet. Kulirik jam di dinding, sudah subuh rupanya. Pantas saja pintu kamarku di ketuk. Ibu mertuaku memang selalu rajin membangunkanku ataupun Mas Wildan untuk sholat subuh disaat Ibu sedang menginap di rumah kami. Sambil menahan pegal di sekujur tubuhku aku bangkit dan berjalan perlahan menuju pintu.
“Sudah subuh, Nak. Yuk salat jamaah,” sapa Ibu ketika aku membuka pintu kamarku.
“Ibu salat duluan aja, ya. Alana mau mandi dulu, nanti biar salat di kamar aja,” jawabku.
“Oh, baiklah, Nak,” kata Ibu mengangguk.
Aku kembali menutup perlahan pintu kamarku, namun merasa heran ketika tangan Ibu sedikit menahan gagang pintu bahkan kemudian mendorongnya perlahan.
“Alana habis nangis? Kok matanya bengkak gitu kayak orang habis menangis?” tanya Ibu menatap mataku.
“Ng- nggak kok, Bu. Mungkin karena baru bangun tidur aja,” jawabku. Padahal aku ingin sekali mengatakan bahwa aku memang menangis semalaman. Menangisi kebodohanku yang telah dibohongi oleh kalian semua.
“Ya sudah, jangan lupa salat subuh ya, Nak,” ucap Ibu lembut sambil mengusap punggung tanganku. Sedangkan matanya masih terus menatap tajam seolah mencari sesuatu ke dalam mataku.
💫Bersambung💫
Kuraih gawaiku di atas nakas setelah melaksanakan salat subuh dan merapikan kembali alat-alat salatku. Mas Wildan sama sekali tak mengirim pesan sekedar mengabarkan kalau dia sudah tiba di Balikpapan. Tapi itu memang hal yang sudah biasa bagiku, ketika sedang menekuni pekerjaannya, Mas Wildan jarang sekali mengirimkan pesan. Mas Wildan juga jarang mengabari sudah sampai di kota mana ketika dia sedang bertugas di luar kota, kecuali jika aku yang menanyakan atau menelponnya duluan. Tapi jangan ditanya bagaimana Mas Wildan jika sudah berada di rumah. Dia selalu menjadi suami yang romantis, memperlakukanku dengan sangat lembut. Kemudian kami berdua akan melalui malam-malam panjang yang melelahkan berdua, seolah menebus waktu-waktu yang sudah dihabiskannya di luar dengan pekerjaannya. Itulah yang membuatku sangat mencintai suamiku, Mas Wildan selalu bisa menebus dinginnya malam-malamku dalam kesendirian dengan menciptakan suasana romantis nan indah pada malam-malam berikutnya. Meskipun,
Wildan.Kuseruput kopi panas yang baru saja diantarkan ke kamarku oleh petugas hotel. Aku memang sengaja meminta layanan sarapan di kamar sebab aku masih harus menyiapkan beberapa bahan untuk pekerjaanku selama di Balikpapan. Tubuhku masih sedikit lelah, karena terbang dengan penerbangan terakhir Jakarta-Balikpapan tadi malam. Apalagi beberapa hari sebelumnya aku memang sedang banyak sekali urusan, disamping padatnya pekerjaanku, aku pun harus bolak-balik ke rumah sakit mengurus Lilis yang baru saja melahirkan putraku melalui operasi caesar.Memikirkan tentang Lilis, aku selalu merasa khawatir. Khawatir bagaimana reaksi istriku Alana nanti jika dia mengetahui bahwa aku memiliki hubungan dengan wanita lain, bahkan kini wanita itu telah melahirkan seorang putra untukku. Ah, semoga saja Alana bisa memahamiku, aku masih mencari cara yang halus untuk menyampaikan ini padanya. Aku begitu mencintai Alana. Dulunya, tidak mudah bagiku mendapatkan hati wanita itu.Aku masuk ke dalam hidupnya ke
Aku bersiap menuju ke kantor cabang di Kota Balikpapan setelah menikmati sarapan pagiku. Ada beberapa masalah keuangan di kantor cabang Balikpapan yang mengharuskanku sebagai manager keuangan pusat harus turun tangan langsung dalam rangka megaudit laoporan keuangan cabang. Biasanya jika aku sudah turun tangan langsung seperti ini, beberapa pejabat di kantor cabang akan khawatir dengan posisi mereka. Karena pasti akan ada yang berubah setelah aku melakukan audit keuangan, entah itu penurunan jabatan atau bahkan pemecatan oleh pemilik perusahaan. Karena aku hanya akan turun tangan langsung jika memang kondisi keuangan sudah sangat banyak penyimpangan oleh oknum-oknum tertentu.Kuraih laptopku di atas meja kemudian memasukkannya ke dalam tas. Sebenarnya ini hanya laptop cadanganku di kantor karena laptop yang sehari-hari kugunakan ketinggalan di rumah saat aku mampir membawakan salep untuk mengobati iritasi bayi yang dipesan Lilis. Beruntung Alana bisa membantuku dengan mengirimkan sem
Ibu.Aku berjalan mondar-mandir di dalam rumah besar putraku, Wildan. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 9 malam, namun Alana, menantuku, belum juga pulang kembali ke rumah. Entah mengapa aku merasa ada yang tak biasa dari wanita cantik yang sudah 5 tahun menemani putraku itu. Tadi pagi, saat mengajaknya untuk sholat berjamaah, aku merasa Alana berbeda, matanya bengkak seperti orang yang habis menangis semalaman.Begitupun saat aku menawarkan sarapan dengan menu favoritnya, Alana menolak dan lebih memilih sereal untuk sarapan. Bahkan Alana terlihat seperti enggan menatapku dan berlama-lama berbicara denganku. Padahal biasanya Alana selalu terlihat senang berlama-lama mengobrol denganku, dia selalu mencari tau tentang masa kecil suaminya padaku. Kemudian kami akan tertawa bersama ketika aku menceritakan cerita-cerita lucu saat Wildan masih kecil.“Bu, ini kok kulit Bagas masih merah-merah gini ya ... padahal sudah Lilis olesin salep yang dibeli Mas Wildan kemarin.” Suara Lilis membuya
Tiga bulan setelah kecelakaan yang merenggut nyawa Fadli, putra bungsuku. Kulihat Lilis pun sudah tidak terlalu sedih, gadis malang itu sudah mulai berinteraksi dengan beberapa tetangga yang sebaya dengannya. Lilis meminta izin padaku untuk tetap tinggal di rumah, menurutnya dia tak sanggup tinggal sendirian di rumahnya karena ibunya pun sudah meninggal. Itu akan membuatnya merasa sendiri dan kesepian.Aku pun menyetujuinya, karena selain aku juga merasa kesepian jika harus tinggal sendirian di rumah ini, aku juga sudah menyayangi Lilis, gadis itu sudah kuanggap sebagai anakku sendiri. Sebenarnya, beberapa kali Wildan dan Alana memintaku untuk tinggal bersama mereka, namun aku menolak. Aku lebih suka tinggal di sini, dan masih mengelola toko sembako kecil-kecilan peninggalan suamiku.Hingga suatu hari, ketika Wildan kembali mengunjungiku. Aku kembali mempertanyakan cucu padanya, namun seperti biasa, Wildan hanya menjawab dengan gelengan.“Wildan masih menikmati masa-masa indah pernika
LilisSubuh itu, saat aku hendak membangunkan ibu untuk sholat subuh bersama, aku terkejut mendapati tubuh renta ibu tergeletak di lantai kamarnya. Dengan panik aku berusaha mengangkat tubuh ibu ke atas tempat tidurnya. Subuh-subuh aku terpaksa menggedor-gedor rumah tetangga untuk meminta pertolongan.Ditengah kepanikanku, aku teringat untuk memberi kabar tentang ibu pada Mas Wildan. Kuraih ponselku kemudian mencari-cari kontak Mas Wildan. "Halo! Ini siapa?" Aku terkejut mendengar suara Mas Wildan yang terdengar setengah berteriak.“Aku ... aku Lilis, Mas. Maaf harus menelpon subuh-subuh. Lilis cuma mau mengabari Mas Wildan kalau Ibu pingsan, Mas.”“Astaghfirullah, Lilis! Kamu ngagetin aku tau nggak! Kamu pakai nomor Fadli? Aku kaget sekali ada panggilan dari nomor ponsel almarhum, nggak taunya kamu yang nelpon.”Suara Mas Wildan masih terdengar sedikit berteriak, mungkin dia memang sedang kaget karena aku memang menelpon pakai ponsel Mas Fadli. Saat kecelakaan motor waktu itu, ponse
“Lis, apa kamu tau Ibu memintaku untuk menikahimu?” tanyaku saat kami berdua sudah duduk di kursi yang ada di taman di area rumah sakit. Kulihat gadis itu menghela nafasnya. “Lilis tau, Mas. Ibu pun sudah mengatakannya pada Lilis,” jawabnya lirih.“Lalu bagaimana tanggapanmu, Lis?”“Aku tak tau, Mas. Masa depanku terasa gelap saat Mas Fadli meninggalkanku bersama impian-impian yang sudah kami bangun berdua. Aku merasa aku hidup, tapi terasa mati. Mas Fadli nyaris membawa pergi semua gairah hidupku.” Gadis itu menyeka sudut matanya. Aku terdiam, menunggunya meneruskan kalimatnya.“Yang kuinginkan saat ini hanyalah berada di sekitar Ibu, walaupun mungkin orang-orang akan memandang aneh padaku. Tapi tinggal di rumah Ibu dan melihat Ibu setiap hari membuatku merasa Mas Fadli tak pergi jauh-jauh dariku. Maka, ketika Ibu mengatakan niatnya meminangku untuk Mas Wildan, aku tak bisa mengiyakan maupun menolaknya. Sungguh, aku hanya ingin berpasrah karena aku pun tak tau mau ke mana arah hidu
Alana.Kuparkirkan mobilku di parkiran Kafe Jingga. Ini adalah kafe yang kubangun bersama Nafisa, sahabatku. Meskipun kami berdua jarang terlibat langsung dalam pengelolaan Kafe ini karena kesibukan kami dengan rumah tangga masing-masing. Aku dan Nafisa mempercayakan pengelolaan Kafe Jingga pada Handi, sepupu Nafisa. Entah kenapa, pagi ini setelah menemukan fakta-fakta mengejutkan tentang Mas Wildan, aku jadi ingin ke kafe ini. Di dalam ada ruangan khusus yang hanya aku dan Nafisa yang punya kuncinya. Aku ingin istirahat dan menghabiskan waktuku di sana. Kuraih gawaiku kemudian mencari kontak Handi, menyuruhnya sedikit agak pagi datang ke kafe karena Handi yang pegang kunci kafe."Mbak Alana mau sarapan? Mau dibikinin menu apa nih, Mbak?" tanya Handi setelah membuka kafe."Boleh deh, Han. Kebetulan Mbak laper nih belum sarapan. Tolong bikinin kopi kental dan roti bakar pakai selai cokelat ya," pintaku."Baik, Mbak. Nanti Handi antakan ke ruangan Mba Alana kalo udah siap."Kurebahkan