Share

BAB 2. SAYAP-SAYAP PATAH

Aku semakin penasaran dan membuka-buka semua deretan pesan di laptop Mas Wildan yang masih terkoneksi dengan aplikasi w******p di ponselnya. Tak ada lagi pesan yang masuk, sepertinya ponsel Mas Wildan sudah non aktif, mungkin dia sudah terbang menuju Balikpapan.

Beberapa teman dekat Mas Wildan yang juga ku kenal bahkan mengirim chat pribadi mengucapkan selamat pada suamiku atas kelahiran putra pertamanya. Aku terus membaca semua pesan-pesan itu, yang semuanya dibalas dengan ucapan terima kasih dan emot senyum oleh Mas Wildan. Sementara suara tangisan bayi Lilis mengiringi air mataku yang kini mulai mengalir, mengaburkan pandanganku. Semua ucapan selamat itu dikirim 5 hari yang lalu, hari di mana Mas Wildan dan Ibu terlihat sibuk karena menemani Lilis yang sedang menjalani operasi caesar di rumah sakit.

Ah ... hatiku merasa sakit, aku yakin putra pertama Mas Wildan yang dimaksud oleh semua isi chat itu adalah bayi Lilis. Aku tak menyangka bayi yang sudah 2 hari ini berada di dalam rumahku itu adalah anak dari suamiku. Lalu Lilis? Ah, aku tak sanggup membayangkan siapa Lilis, wanita polos dengan kecantikan alami yang baru 5 hari lalu melahirkan putranya.

Masih dengan perasaan tak menentu aku berusaha mencari kontak bernama Lilis, namun dari sederetan chat tersebut, tak ada satu pun pesan chat dari nama Lilis. Namun jariku tak berhenti begitu saja, kubaca satu persatu dan menemukan pesan dari “Fadli”. Aku mengeryitkan keningku. Fadli? Apakah itu adik Mas Wildan? Tapi bukankah Fadli sudah lama meninggal karena kecelakaan motor? Mengapa nomornya masih aktif mengirimkan pesan. 

“Mas, sepertinya aku kontraksi.”

“Mas Wildan ke sini nemanin Lilis melahirkan, kan?”

“Lilis maunya lahiran ditemani suami.”

“Mas, kata Bidan dedek bayinya kelilit tali pusat. Sepertinya harus ke rumah sakit, Mas. Nggak bisa lahiran di bidan, takutnya harus tindakan operasi.”

Sederet pesan dari kontak bernama “Fadli” membuatku semakin gemetaran. Selanjutnya aku membaca balasan dari Mas Wildan.

“Kamu dan Ibu bersiap-siap ya, Lis. Mas ke sana sekarang jemput kalian. Kamu lahiran di Jakarta aja biar dekat dan Mas bisa selalu mengawasimu dan bayi kita.”

“Hahh?? Bayi kita? Tega sekali kamu, Mas!” gumamku lirih.

Aku berusaha mencari-cari charger laptop Mas Wildan agar aku bisa mencari tau lebih banyak lagi dari pesan-pesan di laptopnya. Gotcha! aku menemukannya di dalam tas laptop yang tergeletak begitu saja di bawah meja. Sepertinya Mas Wildan memang sangat terburu-buru tadi sehingga melupakan barang-barang pentingnya ini. Atau mungkin Allah sedang memberi jalan untukku mencari tau mengenai Mas Wildan, suamiku.

Aku mengambil charger di tas laptop dan menghubungkannya dengan aliran listrik. Namun naluriku menyuruhku membuka tas laptop Mas Wildan. Entahlah, aku merasa semakin penasaran untuk terus mencari fakta. Ternyata naluriku tak salah, di sekat kantong depan tas laptop suamiku aku menemukan tumpukan nota-nota rumah sakit dan apotik. kubaca satu-persatu nota-nota itu.

Nyesss! hatiku kembali seakan diremas hingga remuk ketika membaca nota rumah sakit dimana Lilis melahirkan beberapa hari lalu. Semua nota pembayaran dibayar oleh Wildan Ramadhani dengan jumlah yang tidak sedikit karena Lilis menempati ruang VIP di rumah sakit itu. 

Namun yang lebih membuat hatiku remuk adalah selembar Surat Keterangan Lahir berlogo rumah sakit, dimana di sana tertulis jelas nama suamiku Tn. Wildan Ramadhani sebagai ayah dari bayi laki-laki dengan berat 3,2 kg dan panjang 56 cm yang dilahirkan oleh Ny. Lilis Andriani.

Aku tergugu, tak dapat lagi membendung tangisku. Semua bukti yang terpampang di hadapanku saat ini sangat membuatku terpukul. Aku merasa diasingkan, sayap-sayapku patah dan aku tak sanggup untuk terbang kembali. Dengan tangan gemetar dan air mata yang terus mengalir aku mengambil gawaiku, kufoto semua bukti-bukti itu, termasuk semua pesan di laptop Mas Wildan. Aku harus tetap berdiri meski sayapku telah patah. Aku pasti akan memerlukan semua bukti ini nantinya.

Malam ini, aku terpekur seorang diri di dalam kamarku menangisi kenyataan pahit yang baru saja kutemukan. Aku mengusap perutku rataku. Apa karena aku belum bisa menghadirkan anak baginya sehingga suamiku tega memiliki anak dari wanita lain? Padahal selama ini Mas Wildan tau bagaimana usahaku agar segera bisa hamil benihnya. Karena selama ini akupun sering merasa kesepian di rumah ini. Rumahku dan Mas Wildan terhitung sangat besar untuk ditinggali hanya oleh kami berdua, aku memilih untuk tidak memakai jasa ART karena kurasa belum memerlukannya. Belum lagi pekerjaan Mas Wildan yang sering kali mengharuskannya untuk bertugas ke luar kota.

Maka, di saat aku ditinggal sendirian, aku selalu merasa kesepian sehingga keinginanku untuk segera memiliki anak sangatlah besar.

Aku beberapa kali mengajak Mas Wildan berkonsultasi ke dokter untuk menanyakan kesuburan kami. Meskipun Mas Wildan menolaknya dan selalu saja mengatakan jika dia tidak pernah mempermasalahkan anak, namun akhirnya Mas Wildan mengalah juga dan menemaniku berkonsultasi ke dokter. Hasil pemeriksaan kami berdua pun tak ada yang mengkhawatirkan, kami berdua dinyatakan subur dan tak memiliki hambatan apapun untuk memperoleh keturunan. Mungkin karena belum rejeki dari-Nya saja sehingga sampai usia 5 tahun pernikahanku dengan Mas Wildan aku belum juga kunjung hamil.

Aku menggeliat ketika mendengar ketukan di pintu kamarku. Seluruh sendiku terasasa kaku. Ah, pantas saja, rupanya aku ketiduran di atas karpet lantai kamarku. Mungkin karena semalam kelelahan menangis membuatku ketiduran di atas karpet. Kulirik jam di dinding, sudah subuh rupanya. Pantas saja pintu kamarku di ketuk. Ibu mertuaku memang selalu rajin membangunkanku ataupun Mas Wildan untuk sholat subuh disaat Ibu sedang menginap di rumah kami. Sambil menahan pegal di sekujur tubuhku aku bangkit dan berjalan perlahan menuju pintu.

“Sudah subuh, Nak. Yuk salat jamaah,” sapa Ibu ketika aku membuka pintu kamarku.

“Ibu salat duluan aja, ya. Alana mau mandi dulu, nanti biar salat di kamar aja,” jawabku.

“Oh, baiklah, Nak,” kata Ibu mengangguk.

Aku kembali menutup perlahan pintu kamarku, namun merasa heran ketika tangan Ibu sedikit menahan gagang pintu bahkan kemudian mendorongnya perlahan.

“Alana habis nangis? Kok matanya bengkak gitu kayak orang habis menangis?” tanya Ibu menatap mataku.

“Ng- nggak kok, Bu. Mungkin karena baru bangun tidur aja,” jawabku. Padahal aku ingin sekali mengatakan bahwa aku memang menangis semalaman. Menangisi kebodohanku yang telah dibohongi oleh kalian semua. 

“Ya sudah, jangan lupa salat subuh ya, Nak,” ucap Ibu lembut sambil mengusap punggung tanganku. Sedangkan matanya masih terus menatap tajam seolah mencari sesuatu ke dalam mataku.

💫Bersambung💫

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
mertua laknat
goodnovel comment avatar
Salakory Bens
hati orang siapa yg tau
goodnovel comment avatar
Nike Shakila
yakut ada apa apa dengan anaknya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status