Share

BAB 3. KEHILANGAN ARAH

Kuraih gawaiku di atas nakas setelah melaksanakan salat subuh dan merapikan kembali alat-alat salatku. Mas Wildan sama sekali tak mengirim pesan sekedar mengabarkan kalau dia sudah tiba di Balikpapan. Tapi itu memang hal yang sudah biasa bagiku, ketika sedang menekuni pekerjaannya, Mas Wildan jarang sekali mengirimkan pesan. Mas Wildan juga jarang mengabari sudah sampai di kota mana ketika dia sedang bertugas di luar kota, kecuali jika aku yang menanyakan atau menelponnya duluan. 

Tapi jangan ditanya bagaimana Mas Wildan jika sudah berada di rumah. Dia selalu menjadi suami yang romantis, memperlakukanku dengan sangat lembut. Kemudian kami berdua akan melalui malam-malam panjang yang melelahkan berdua, seolah menebus waktu-waktu yang sudah dihabiskannya di luar dengan pekerjaannya. Itulah yang membuatku sangat mencintai suamiku, Mas Wildan selalu bisa menebus dinginnya malam-malamku dalam kesendirian dengan menciptakan suasana romantis nan indah pada malam-malam berikutnya. 

Meskipun, sesekali saat sedang berada di rumah Mas Wildan juga masih serius dengan setumpuk pekerjaannya. Satu lagi, Mas Wildan sangat memanjakanku dengan limpahan materi. Rekeningku selalu rutin diisinya setiap bulan, belum lagi hadiah-hadiah mahal yang selalu diberikannya padaku. Sehingga aku tak pernah merasa kekurangan materi selama menjadi istri Mas Wildan.  

Aku menarik nafasku berat, mengingat 5 tahun yang sudah kulalui dengan segala suka duka dengan Mas Wildan. Mengenang hari-hari sepiku seorang diri di saat Mas Wildan sibuk dengan pekerjaannya, kemudian mengenang hari-hari penuh cinta di antara kami berdua di saat Mas Wildan sedang tidak sibuk bekerja. Mas Wildan selalu mengajakku ke tempat-tempat romantis ketika dia punya waktu luang. Suamiku itu selalu memujiku, memuji semua yang ada di tubuhku. Bahkan Mas Wildan sendiri yang memilih dan membelikan semua baju-baju rumahku hingga lusinan lingerie yang tergantung rapi di lemari. Dia selalu menyuruhku memakai pakaian-pakaian seksi di rumah, ini jugalah salah satu alasan aku memilih tak mempekerjakan ART di rumah kami. Karena jika sedang di rumah, aku selalu hanya menggunakan tank top dan hot pants. Itu semua atas permintaan Mas Wildan. Katanya, melihatku memakai baju-baju minim akan membuatnya kembali segar setelah menghadapi tumpukan pekerjaan di kantornya. 

Kunyalakan kembali laptop Mas Wildan yang masih dalam posisi standby, tak ada apapun di sana selain percakapannya dengan rekan kerjanya. Aku memilih masih belum mematikan laptopnya, menunggu sesuatu yang mungkin masih akan memberiku informasi di sana. Semoga saja Mas Wildan tak menyadari jika aplikasi w******p ponselnya masih terhubung ke web.

“Alana, sarapan dulu, Nak.” Suara Ibu kembali terdengar sambil mengetuk pintu kamarku. 

Ah, rasanya aku malas sekali keluar dari kamar ini dan bertemu dengan mereka. Aku masih tak tau bagaimana harus menghadapi Ibu, wanita itu memperlakukanku dengan sangat lembut namun aku tak percaya jika Ibu tak mengetahui apapun tentang Lilis dan Mas Wildan. Apakah Ibu sedang bersandiwara di depanku dengan sikap lembutnya? 

Akupun malas bertemu Lilis, entah aku harus memasang ekspresi wajah seperti apa nanti ketika bertatapan dengan wanita itu. Wanita yang baru saja melahirkan anak dari suamiku.

Aku masih harus berpura-pura tidak tau dan mencari waktu yang tepat untuk membongkar semua kebusukan mereka.

“Al ... Alana!” Ibu kembali memanggil namaku.

“Iya, Bu,” jawabku malas. Kurapikan rambutku dan mengolesi wajahku dengan krim serta menaburi sedikit bedak agar tak terlihat pucat. Meskipun mataku masih terlihat sedikit bengkak ketika aku melihat bayanganku di cermin.

Aku langsung disuguhi pemandangan Lilis sedang menyusui bayinya ketika aku membuka pintu kamarku. Wanita itu tersenyum lebar menyapaku.

“Selamat pagi, Mbak Alana,” sapanya. Aku hanya mengangguk kecil dan berusaha membalas senyumnya. Lilis meraih tangan mungil bayinya, kemudian menggerakkannya.

“Ayo, Nak. Disapa dulu Tante Alana nya. Selamat Pagi Tante Alana,” ucapnya menirukan suara anak kecil sambil menggerak-gerakkan tangan bayinya. Namun aku sudah tak menggubrisnya lagi, aku melangkahkan kakiku ke arah dapur.

“Ayo silahkan sarapan, Nak. Ibu sudah menyiapkan menu kesukaan Nak Alana ini. Kata Wildan, Alana suka sekali sarapan bubur ayam,” ucap Ibu mertuaku. Aku melirik sekilas ke meja makan, di sana sudah tertata menu bubur ayam, seperti yang Ibu ucapkan tadi.

“Maaf, Bu. Alana sedang tak selera makan. Al mau sarapan sereal aja,” jawabku sambil membuka lemari dapur dan mengambil sebungkus sereal dari dalam sana. Ketika aku sedang menyeduh sereal dengan air panas, ekor mataku menangkap Ibu sedang menatapku dengan wajah sedih. Mungkin Ibu merasa sedih karena aku tak mau makan masakannya kali ini. Ah ... biarlah, aku tak peduli. Aku memang sedang tak berselera makan saat ini. 

“Al balik ke kamar dulu ya, Bu,” pamitku sambil membawa gelas berisi sereal yang masih mengepulkan asap.

“Iya, Nak,” jawab Ibu lirih, ada sebersit kekecewaan terpancar di mata wanita tua itu.

Akupun buru-buru melangkah kembali ke arah kamarku. Sejujurnya aku tak tega melihat Ibu seperti itu, maka aku memilih kembali saja ke dalam kamarku daripada berlama-lama di dapur.

Saat melangkah melewati ruang tengah, aku tak lagi menyapa Lilis yang masih duduk di sofa menyusui anaknya. Lilis pun tak lagi menyapaku, namun aku tau dia terus menatapku hingga aku menghilang di balik pintu kamar.

“Huffttt!!” gumamku ketika menutup pintu kamar. Kenapa harus aku yang menghindar seperti ini? Ah, biarlah, tak apa aku mengalah dulu. Aku masih ingin mengumpulkan bukti-bukti atas pengkhiatan suamiku.

Aku memilih kembali duduk di depan laptop Mas Wildan. Ada beberapa pesan baru di sana yang sepertinya sudah dibaca oleh Mas Wildan. Baguslah, jadi aku pun tak perlu takut ketahuan jika membukanya duluan.

[Wah, cakep banget anakmu Wil. Udah berapa hari umurnya masih merah gitu.] pesan dari Tio, sahabat lama Mas Wildan. Ternyata Tio menulis pesan itu setelah melihat foto yang dipasang Mas Wildan di status WA nya. 

Aku terbelalak ketika membuka foto yang dipajang Mas Wildan di status WA nya. Itu bayi Lilis dengan latar belakang sofa di rumahku. Lilis memang tidak kelihatan di foto itu, hanya tangannya yang terlihat sedang menggendong bayinya, dan aku tau itu adalah pakaian yang saat ini sedang dikenakannya. Kubaca caption pada foto bayi Lilis yang dipajang Mas Wildan,

"Selamat Pagi Jagoan Ayah” begitu kalimat yang ditulis Mas Wildan.

Nyesss!!! Hatiku kembali nyeri seolah diremas-remas. Buru-buru kuraih ponselku kemudian mencari pembaharuan status WA Mas Wildan. Tapi aku tak menemukan status apapun di kontak W******p Mas Wildan. Rupanya lelaki itu menyembunyikan pembaharuan statusnya dariku. Ah ... jahat sekali kamu, Mas! Aku mengeraskan rahangku marah. Aku akan membalas semua kecuranganmu ini! Lihat saja, aku bukanlah perempuan lemah yang bisa kau permainkan sesuka hatimu!

Rasa amarah yang menguasai hatiku membuatku memutuskan untuk keluar mencari udara segar, berlama-lama di kamar ini hanya membuatku semakin sesak. Aku membuka lemari dan memilih dress lengan pendek dengan panjang sampai betis. Kuraih gawaiku dan tas tanganku serta kunci mobilku. Saat akan membuka pintu kamar, mataku tertuju pada jas hitam yang tergeletak di pinggir tempat tidurku. Jas hitam milik Darwin, yang semalam dipinjamkannya padaku untuk menggantikan cardiganku yang basah. Kuraih jas hitam itu kemudian mendekatkannya ke hidungku. Hmmmm, aku sangat menyukai aroma maskulin dari jas ini! 

“Mau kemana Alana?” Ibu tergopoh-gopoh melangkah ke arah pintu ketika mendengar aku menyalakan mesin mobilku.

“Al mau keluar sebentar cari angin, Bu,” jawabku asal kemudian melajukan mobilku keluar dari pagar.

💫Bersambung💫

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status