Kuraih gawaiku di atas nakas setelah melaksanakan salat subuh dan merapikan kembali alat-alat salatku. Mas Wildan sama sekali tak mengirim pesan sekedar mengabarkan kalau dia sudah tiba di Balikpapan. Tapi itu memang hal yang sudah biasa bagiku, ketika sedang menekuni pekerjaannya, Mas Wildan jarang sekali mengirimkan pesan. Mas Wildan juga jarang mengabari sudah sampai di kota mana ketika dia sedang bertugas di luar kota, kecuali jika aku yang menanyakan atau menelponnya duluan.
Tapi jangan ditanya bagaimana Mas Wildan jika sudah berada di rumah. Dia selalu menjadi suami yang romantis, memperlakukanku dengan sangat lembut. Kemudian kami berdua akan melalui malam-malam panjang yang melelahkan berdua, seolah menebus waktu-waktu yang sudah dihabiskannya di luar dengan pekerjaannya. Itulah yang membuatku sangat mencintai suamiku, Mas Wildan selalu bisa menebus dinginnya malam-malamku dalam kesendirian dengan menciptakan suasana romantis nan indah pada malam-malam berikutnya.
Meskipun, sesekali saat sedang berada di rumah Mas Wildan juga masih serius dengan setumpuk pekerjaannya. Satu lagi, Mas Wildan sangat memanjakanku dengan limpahan materi. Rekeningku selalu rutin diisinya setiap bulan, belum lagi hadiah-hadiah mahal yang selalu diberikannya padaku. Sehingga aku tak pernah merasa kekurangan materi selama menjadi istri Mas Wildan.
Aku menarik nafasku berat, mengingat 5 tahun yang sudah kulalui dengan segala suka duka dengan Mas Wildan. Mengenang hari-hari sepiku seorang diri di saat Mas Wildan sibuk dengan pekerjaannya, kemudian mengenang hari-hari penuh cinta di antara kami berdua di saat Mas Wildan sedang tidak sibuk bekerja. Mas Wildan selalu mengajakku ke tempat-tempat romantis ketika dia punya waktu luang. Suamiku itu selalu memujiku, memuji semua yang ada di tubuhku. Bahkan Mas Wildan sendiri yang memilih dan membelikan semua baju-baju rumahku hingga lusinan lingerie yang tergantung rapi di lemari. Dia selalu menyuruhku memakai pakaian-pakaian seksi di rumah, ini jugalah salah satu alasan aku memilih tak mempekerjakan ART di rumah kami. Karena jika sedang di rumah, aku selalu hanya menggunakan tank top dan hot pants. Itu semua atas permintaan Mas Wildan. Katanya, melihatku memakai baju-baju minim akan membuatnya kembali segar setelah menghadapi tumpukan pekerjaan di kantornya.
Kunyalakan kembali laptop Mas Wildan yang masih dalam posisi standby, tak ada apapun di sana selain percakapannya dengan rekan kerjanya. Aku memilih masih belum mematikan laptopnya, menunggu sesuatu yang mungkin masih akan memberiku informasi di sana. Semoga saja Mas Wildan tak menyadari jika aplikasi w******p ponselnya masih terhubung ke web.
“Alana, sarapan dulu, Nak.” Suara Ibu kembali terdengar sambil mengetuk pintu kamarku.
Ah, rasanya aku malas sekali keluar dari kamar ini dan bertemu dengan mereka. Aku masih tak tau bagaimana harus menghadapi Ibu, wanita itu memperlakukanku dengan sangat lembut namun aku tak percaya jika Ibu tak mengetahui apapun tentang Lilis dan Mas Wildan. Apakah Ibu sedang bersandiwara di depanku dengan sikap lembutnya?
Akupun malas bertemu Lilis, entah aku harus memasang ekspresi wajah seperti apa nanti ketika bertatapan dengan wanita itu. Wanita yang baru saja melahirkan anak dari suamiku.
Aku masih harus berpura-pura tidak tau dan mencari waktu yang tepat untuk membongkar semua kebusukan mereka.
“Al ... Alana!” Ibu kembali memanggil namaku.
“Iya, Bu,” jawabku malas. Kurapikan rambutku dan mengolesi wajahku dengan krim serta menaburi sedikit bedak agar tak terlihat pucat. Meskipun mataku masih terlihat sedikit bengkak ketika aku melihat bayanganku di cermin.
Aku langsung disuguhi pemandangan Lilis sedang menyusui bayinya ketika aku membuka pintu kamarku. Wanita itu tersenyum lebar menyapaku.
“Selamat pagi, Mbak Alana,” sapanya. Aku hanya mengangguk kecil dan berusaha membalas senyumnya. Lilis meraih tangan mungil bayinya, kemudian menggerakkannya.
“Ayo, Nak. Disapa dulu Tante Alana nya. Selamat Pagi Tante Alana,” ucapnya menirukan suara anak kecil sambil menggerak-gerakkan tangan bayinya. Namun aku sudah tak menggubrisnya lagi, aku melangkahkan kakiku ke arah dapur.
“Ayo silahkan sarapan, Nak. Ibu sudah menyiapkan menu kesukaan Nak Alana ini. Kata Wildan, Alana suka sekali sarapan bubur ayam,” ucap Ibu mertuaku. Aku melirik sekilas ke meja makan, di sana sudah tertata menu bubur ayam, seperti yang Ibu ucapkan tadi.
“Maaf, Bu. Alana sedang tak selera makan. Al mau sarapan sereal aja,” jawabku sambil membuka lemari dapur dan mengambil sebungkus sereal dari dalam sana. Ketika aku sedang menyeduh sereal dengan air panas, ekor mataku menangkap Ibu sedang menatapku dengan wajah sedih. Mungkin Ibu merasa sedih karena aku tak mau makan masakannya kali ini. Ah ... biarlah, aku tak peduli. Aku memang sedang tak berselera makan saat ini.
“Al balik ke kamar dulu ya, Bu,” pamitku sambil membawa gelas berisi sereal yang masih mengepulkan asap.
“Iya, Nak,” jawab Ibu lirih, ada sebersit kekecewaan terpancar di mata wanita tua itu.
Akupun buru-buru melangkah kembali ke arah kamarku. Sejujurnya aku tak tega melihat Ibu seperti itu, maka aku memilih kembali saja ke dalam kamarku daripada berlama-lama di dapur.
Saat melangkah melewati ruang tengah, aku tak lagi menyapa Lilis yang masih duduk di sofa menyusui anaknya. Lilis pun tak lagi menyapaku, namun aku tau dia terus menatapku hingga aku menghilang di balik pintu kamar.
“Huffttt!!” gumamku ketika menutup pintu kamar. Kenapa harus aku yang menghindar seperti ini? Ah, biarlah, tak apa aku mengalah dulu. Aku masih ingin mengumpulkan bukti-bukti atas pengkhiatan suamiku.
Aku memilih kembali duduk di depan laptop Mas Wildan. Ada beberapa pesan baru di sana yang sepertinya sudah dibaca oleh Mas Wildan. Baguslah, jadi aku pun tak perlu takut ketahuan jika membukanya duluan.
[Wah, cakep banget anakmu Wil. Udah berapa hari umurnya masih merah gitu.] pesan dari Tio, sahabat lama Mas Wildan. Ternyata Tio menulis pesan itu setelah melihat foto yang dipasang Mas Wildan di status WA nya.
Aku terbelalak ketika membuka foto yang dipajang Mas Wildan di status WA nya. Itu bayi Lilis dengan latar belakang sofa di rumahku. Lilis memang tidak kelihatan di foto itu, hanya tangannya yang terlihat sedang menggendong bayinya, dan aku tau itu adalah pakaian yang saat ini sedang dikenakannya. Kubaca caption pada foto bayi Lilis yang dipajang Mas Wildan,
"Selamat Pagi Jagoan Ayah” begitu kalimat yang ditulis Mas Wildan.
Nyesss!!! Hatiku kembali nyeri seolah diremas-remas. Buru-buru kuraih ponselku kemudian mencari pembaharuan status WA Mas Wildan. Tapi aku tak menemukan status apapun di kontak W******p Mas Wildan. Rupanya lelaki itu menyembunyikan pembaharuan statusnya dariku. Ah ... jahat sekali kamu, Mas! Aku mengeraskan rahangku marah. Aku akan membalas semua kecuranganmu ini! Lihat saja, aku bukanlah perempuan lemah yang bisa kau permainkan sesuka hatimu!
Rasa amarah yang menguasai hatiku membuatku memutuskan untuk keluar mencari udara segar, berlama-lama di kamar ini hanya membuatku semakin sesak. Aku membuka lemari dan memilih dress lengan pendek dengan panjang sampai betis. Kuraih gawaiku dan tas tanganku serta kunci mobilku. Saat akan membuka pintu kamar, mataku tertuju pada jas hitam yang tergeletak di pinggir tempat tidurku. Jas hitam milik Darwin, yang semalam dipinjamkannya padaku untuk menggantikan cardiganku yang basah. Kuraih jas hitam itu kemudian mendekatkannya ke hidungku. Hmmmm, aku sangat menyukai aroma maskulin dari jas ini!
“Mau kemana Alana?” Ibu tergopoh-gopoh melangkah ke arah pintu ketika mendengar aku menyalakan mesin mobilku.
“Al mau keluar sebentar cari angin, Bu,” jawabku asal kemudian melajukan mobilku keluar dari pagar.
💫Bersambung💫
Wildan.Kuseruput kopi panas yang baru saja diantarkan ke kamarku oleh petugas hotel. Aku memang sengaja meminta layanan sarapan di kamar sebab aku masih harus menyiapkan beberapa bahan untuk pekerjaanku selama di Balikpapan. Tubuhku masih sedikit lelah, karena terbang dengan penerbangan terakhir Jakarta-Balikpapan tadi malam. Apalagi beberapa hari sebelumnya aku memang sedang banyak sekali urusan, disamping padatnya pekerjaanku, aku pun harus bolak-balik ke rumah sakit mengurus Lilis yang baru saja melahirkan putraku melalui operasi caesar.Memikirkan tentang Lilis, aku selalu merasa khawatir. Khawatir bagaimana reaksi istriku Alana nanti jika dia mengetahui bahwa aku memiliki hubungan dengan wanita lain, bahkan kini wanita itu telah melahirkan seorang putra untukku. Ah, semoga saja Alana bisa memahamiku, aku masih mencari cara yang halus untuk menyampaikan ini padanya. Aku begitu mencintai Alana. Dulunya, tidak mudah bagiku mendapatkan hati wanita itu.Aku masuk ke dalam hidupnya ke
Aku bersiap menuju ke kantor cabang di Kota Balikpapan setelah menikmati sarapan pagiku. Ada beberapa masalah keuangan di kantor cabang Balikpapan yang mengharuskanku sebagai manager keuangan pusat harus turun tangan langsung dalam rangka megaudit laoporan keuangan cabang. Biasanya jika aku sudah turun tangan langsung seperti ini, beberapa pejabat di kantor cabang akan khawatir dengan posisi mereka. Karena pasti akan ada yang berubah setelah aku melakukan audit keuangan, entah itu penurunan jabatan atau bahkan pemecatan oleh pemilik perusahaan. Karena aku hanya akan turun tangan langsung jika memang kondisi keuangan sudah sangat banyak penyimpangan oleh oknum-oknum tertentu.Kuraih laptopku di atas meja kemudian memasukkannya ke dalam tas. Sebenarnya ini hanya laptop cadanganku di kantor karena laptop yang sehari-hari kugunakan ketinggalan di rumah saat aku mampir membawakan salep untuk mengobati iritasi bayi yang dipesan Lilis. Beruntung Alana bisa membantuku dengan mengirimkan sem
Ibu.Aku berjalan mondar-mandir di dalam rumah besar putraku, Wildan. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 9 malam, namun Alana, menantuku, belum juga pulang kembali ke rumah. Entah mengapa aku merasa ada yang tak biasa dari wanita cantik yang sudah 5 tahun menemani putraku itu. Tadi pagi, saat mengajaknya untuk sholat berjamaah, aku merasa Alana berbeda, matanya bengkak seperti orang yang habis menangis semalaman.Begitupun saat aku menawarkan sarapan dengan menu favoritnya, Alana menolak dan lebih memilih sereal untuk sarapan. Bahkan Alana terlihat seperti enggan menatapku dan berlama-lama berbicara denganku. Padahal biasanya Alana selalu terlihat senang berlama-lama mengobrol denganku, dia selalu mencari tau tentang masa kecil suaminya padaku. Kemudian kami akan tertawa bersama ketika aku menceritakan cerita-cerita lucu saat Wildan masih kecil.“Bu, ini kok kulit Bagas masih merah-merah gini ya ... padahal sudah Lilis olesin salep yang dibeli Mas Wildan kemarin.” Suara Lilis membuya
Tiga bulan setelah kecelakaan yang merenggut nyawa Fadli, putra bungsuku. Kulihat Lilis pun sudah tidak terlalu sedih, gadis malang itu sudah mulai berinteraksi dengan beberapa tetangga yang sebaya dengannya. Lilis meminta izin padaku untuk tetap tinggal di rumah, menurutnya dia tak sanggup tinggal sendirian di rumahnya karena ibunya pun sudah meninggal. Itu akan membuatnya merasa sendiri dan kesepian.Aku pun menyetujuinya, karena selain aku juga merasa kesepian jika harus tinggal sendirian di rumah ini, aku juga sudah menyayangi Lilis, gadis itu sudah kuanggap sebagai anakku sendiri. Sebenarnya, beberapa kali Wildan dan Alana memintaku untuk tinggal bersama mereka, namun aku menolak. Aku lebih suka tinggal di sini, dan masih mengelola toko sembako kecil-kecilan peninggalan suamiku.Hingga suatu hari, ketika Wildan kembali mengunjungiku. Aku kembali mempertanyakan cucu padanya, namun seperti biasa, Wildan hanya menjawab dengan gelengan.“Wildan masih menikmati masa-masa indah pernika
LilisSubuh itu, saat aku hendak membangunkan ibu untuk sholat subuh bersama, aku terkejut mendapati tubuh renta ibu tergeletak di lantai kamarnya. Dengan panik aku berusaha mengangkat tubuh ibu ke atas tempat tidurnya. Subuh-subuh aku terpaksa menggedor-gedor rumah tetangga untuk meminta pertolongan.Ditengah kepanikanku, aku teringat untuk memberi kabar tentang ibu pada Mas Wildan. Kuraih ponselku kemudian mencari-cari kontak Mas Wildan. "Halo! Ini siapa?" Aku terkejut mendengar suara Mas Wildan yang terdengar setengah berteriak.“Aku ... aku Lilis, Mas. Maaf harus menelpon subuh-subuh. Lilis cuma mau mengabari Mas Wildan kalau Ibu pingsan, Mas.”“Astaghfirullah, Lilis! Kamu ngagetin aku tau nggak! Kamu pakai nomor Fadli? Aku kaget sekali ada panggilan dari nomor ponsel almarhum, nggak taunya kamu yang nelpon.”Suara Mas Wildan masih terdengar sedikit berteriak, mungkin dia memang sedang kaget karena aku memang menelpon pakai ponsel Mas Fadli. Saat kecelakaan motor waktu itu, ponse
“Lis, apa kamu tau Ibu memintaku untuk menikahimu?” tanyaku saat kami berdua sudah duduk di kursi yang ada di taman di area rumah sakit. Kulihat gadis itu menghela nafasnya. “Lilis tau, Mas. Ibu pun sudah mengatakannya pada Lilis,” jawabnya lirih.“Lalu bagaimana tanggapanmu, Lis?”“Aku tak tau, Mas. Masa depanku terasa gelap saat Mas Fadli meninggalkanku bersama impian-impian yang sudah kami bangun berdua. Aku merasa aku hidup, tapi terasa mati. Mas Fadli nyaris membawa pergi semua gairah hidupku.” Gadis itu menyeka sudut matanya. Aku terdiam, menunggunya meneruskan kalimatnya.“Yang kuinginkan saat ini hanyalah berada di sekitar Ibu, walaupun mungkin orang-orang akan memandang aneh padaku. Tapi tinggal di rumah Ibu dan melihat Ibu setiap hari membuatku merasa Mas Fadli tak pergi jauh-jauh dariku. Maka, ketika Ibu mengatakan niatnya meminangku untuk Mas Wildan, aku tak bisa mengiyakan maupun menolaknya. Sungguh, aku hanya ingin berpasrah karena aku pun tak tau mau ke mana arah hidu
Alana.Kuparkirkan mobilku di parkiran Kafe Jingga. Ini adalah kafe yang kubangun bersama Nafisa, sahabatku. Meskipun kami berdua jarang terlibat langsung dalam pengelolaan Kafe ini karena kesibukan kami dengan rumah tangga masing-masing. Aku dan Nafisa mempercayakan pengelolaan Kafe Jingga pada Handi, sepupu Nafisa. Entah kenapa, pagi ini setelah menemukan fakta-fakta mengejutkan tentang Mas Wildan, aku jadi ingin ke kafe ini. Di dalam ada ruangan khusus yang hanya aku dan Nafisa yang punya kuncinya. Aku ingin istirahat dan menghabiskan waktuku di sana. Kuraih gawaiku kemudian mencari kontak Handi, menyuruhnya sedikit agak pagi datang ke kafe karena Handi yang pegang kunci kafe."Mbak Alana mau sarapan? Mau dibikinin menu apa nih, Mbak?" tanya Handi setelah membuka kafe."Boleh deh, Han. Kebetulan Mbak laper nih belum sarapan. Tolong bikinin kopi kental dan roti bakar pakai selai cokelat ya," pintaku."Baik, Mbak. Nanti Handi antakan ke ruangan Mba Alana kalo udah siap."Kurebahkan
“Alana ....” Suara itu menyapaku lembut.“Darwin ....”“Wah, akhirnya aku bisa juga bertemu owner Kafe Jingga.”“Ka- kamu tau ini kafe aku?”“Ya, aku tau Kamu dan Nafisa adalah pemilik kafe ini. Kamu tau nggak, aku adalah pelanggan setia di kafe ini. Coba deh kamu tanya karyawan di sini, mereka semua mengenalku. Pelanggan tetap yang punya niat terselubung untuk bertemu pemilik kafe ini, dan ternyata setelah sekian lama jadi pelanggan, malam ini aku benar-benar bertemu dengannya.”Aku berusaha mengabaikan ucapan Darwin.“Nafisa tau kamu sering kemari?” tanyaku.“Taulah. Nafisa bahkan sering memberiku diskon jika kebetulan dia lagi berkunjung ke sini. Kuharap pemilik kafe yang ada di hadapanku sekarang juga sudi memberi harga khusus padaku malam ini.”“Kenapa Nafisa nggak pernah cerita?” Aku masih mengabaikan gurauannya.Pria itu menarik napas panjang. “Begitulah sahabatmu itu. Katanya kamu sudah sangat bahagia dengan kehidupanmu dan melarangku untuk muncul di hadapanmu, seolah-olah aku