Wildan.
Kuseruput kopi panas yang baru saja diantarkan ke kamarku oleh petugas hotel. Aku memang sengaja meminta layanan sarapan di kamar sebab aku masih harus menyiapkan beberapa bahan untuk pekerjaanku selama di Balikpapan. Tubuhku masih sedikit lelah, karena terbang dengan penerbangan terakhir Jakarta-Balikpapan tadi malam. Apalagi beberapa hari sebelumnya aku memang sedang banyak sekali urusan, disamping padatnya pekerjaanku, aku pun harus bolak-balik ke rumah sakit mengurus Lilis yang baru saja melahirkan putraku melalui operasi caesar.
Memikirkan tentang Lilis, aku selalu merasa khawatir. Khawatir bagaimana reaksi istriku Alana nanti jika dia mengetahui bahwa aku memiliki hubungan dengan wanita lain, bahkan kini wanita itu telah melahirkan seorang putra untukku. Ah, semoga saja Alana bisa memahamiku, aku masih mencari cara yang halus untuk menyampaikan ini padanya. Aku begitu mencintai Alana. Dulunya, tidak mudah bagiku mendapatkan hati wanita itu.
Aku masuk ke dalam hidupnya ketika dia sedang patah hati karena hubungannya dengan kekasihnya kandas. Ketika itu kami kuliah di kampus yang sama dan Alana adalah adik tingkatku. Sebenarnya sudah lama aku memperhatikannya, kulitnya yang putih bersih dan mata bulatnya yang selalu berbinar-binar saat berbicara membuatku terpukau, belum lagi bentuk tubuhnya yang begitu menggoda. Meskipun Alana selalu berpakaian sopan, namun tubuhnya selalu menjadi objek yang empuk untuk dipandang mata.
Kurasa bukan hanya aku, beberapa mahasiswa lain juga kulihat selalu mencuri-curi pandang pada Alana. Namun saat itu, Alana masih punya kekasih yang juga kuliah di kampus yang sama. Karena aku dan Alana sama-sama mengambil jurusan Akuntansi, maka aku sering sekali berpapasan dengannya, sedangkan yang kutau saat itu, kekasih Alana mengambil jurusan IT.
Hingga pada tahun kedua Alana kuliah, kudengar dia putus dengan kekasihnya. Aku tak menyia-nyiakan kesempatan itu, dengan segala upaya aku berusaha mendekati Alana. Aku mencari tau semua jadwalnya, dan aku akan selalu ada di sekitarnya. Usahaku membuahkan hasil, aku dan Alana mulai akrab. Awalnya kami akrab dalam urusan perkuliahan, prestasiku saat itu memang menonjol, sehingga adik-adik tingkatku termasuk Alana selalu mencariku untuk sekedar bertanya ataupun berkonsultasi tentang pelajaran. Aku memang populer di jurusanku, aku sangat menyukai akuntansi dan menguasainya dengan baik, sehingga beberapa dosen memang menyarankan pada mahasiswa lain untuk belajar padaku.
Singkat cerita, aku kemudian menawarkan hubungan yang spesial pada Alana, gadis pujaanku. Saat itu, Alana menolakku mentah-mentah, bahkan kemudian berusaha menjauhiku karena merasa aku punya maksud lain padanya. Namun aku tak putus asa dengan penolakannya, aku masih terus berusaha untuk dekat dengannya dan selalu berada di sekitarnya. Aku meminta maaf padanya karena telah mengungkapkan perasaanku hingga membuatnya tak nyaman. Diluar dugaanku, Alana justru tersenyum dan mengucapkan terima kasih karena aku menyukainya meskipun Alana tak bisa membalas perasaanku.
Hubungan pertemanan kami pun terus berlanjut, dan aku tetap mencari celah untuk mencuri hatinya. Kuselipkan beberapa kata-kata dan tindakan-tindakan romantis di sela-sela pertemanan kami.
Hingga akhirnya saat aku pulang dari lokasi KKN yang jauh di pedalaman selama 2 bulan, Alana tiba-tiba saja muncul di hadapanku kemudian menghambur memelukku dengan deraian air mata. Rupanya kehilanganku selama 2 bulan sejak aku KKN di pedalaman membuatnya merasa kehilangan.
“Apa tawaran Mas Wildan waktu itu masih berlaku?” tanyanya lirih, masih dengan memelukku.
“Tawaran yang mana?” tanyaku pura-pura tak mengerti. Padahal jangan ditanya bagaimana jantungku berdetak lebih cepat di dalam sana. Aku memejamkan mataku menikmati pelukan dari gadis idamanku.
“Ng ... itu ... tawaran jadi ... jadi ....” Gadis itu terbata-bata dengan wajah merona merah.
“Tawaran apa sih, Al? Kok malah jadi kayak kepiting rebus gitu mukanya?” Aku masih menggodanya.
“Ih, Mas Wildan nggak peka banget. Aku ... aku kangen!” lirihnya.
Aku tertawa melihatnya salah tingkah. Kueratkan dekapanku pada tubuh wanginya. “Aku mengerti, Al. Aku peka. Tapi maaf Al, aku udah punya pacar sekarang," ucapku dengan nada serius.
"Oohh, maafkan aku! Ka- kalau begitu aku balik dulu ya," ucapnya terbata-bata dengan mata yang berkabut.
Aku tersenyum dan menarik tangannya, membuat Alana yang baru saja hendak melangkah menjauh kembali jatuh ke pelukanku.
"Nggak, Al. Aku hanya bercanda, aku belum punya pacar. Aku suka sama seorang gadis, tapi dia menolakku. Dan sekarang gadis itu sedang berada di pelukanku."
Alana memukul lenganku sambil menyeka sudut matanya.
"Sekarang mau jadi pacarku, hmm?” ucapku dengan nada lembut di telinganya.
Gadis itu mangangguk pasti, setetes air mata menetes di pipinya.
“Eh, kok malah nangis?”
“Aku kangen Mas Wildan. Kenapa lama banget sih KKN nya? Kenapa nggak bisa dihubungi? Al kehilangan teman cerita, kehilangan teman diskusi. Mas Wildan jahat nggak sekalipun hubungin Alana.”
“Bukan nggak mau hubungi, Al. Aku juga kangen kamu, tapi aku sadar bukan siapa-siapa. Takut dicuekin akunya. Lagian di sana memang nggak ada signal.”
Alana hanya mengangguk, wajah polosnya membuatku merasa gemas ingin menyentuh dan mencium pipinya, namun kutahan semata agar dia tak menilaiku kurang ajar.
“Jadi kita jadian nih?” tanyaku menggodanya.
Anggukan kepalanya benar-benar membuatku terlena dan tak tahan lagi untuk menyentuhnya. Kudekatkan wajahnya kemudian mendaratkan kecupan ringan di keningnya. Ciumanku yang pertama untuk gadis pujaanku, hanya di kening, namun semua perasaan cintaku kutuangkan dalam kecupan ringan itu. Alana pun terlihat sedikit terkejut menerima kecupanku di keningnya. Namun akhirnya gadis itu tersenyum dengan mata bulatnya yang berbinar indah.
Drrrttt ... drrrtttt ....
Bunyi ponselku membuyarkan lamunanku tentang Alana. Kuraih ponselku dan membuka pesan yang masuk. Ternyata dari Lilis, aku bahkan belum mengganti namanya di kontakku, nomornya masih tersimpan dengan nama “Fadli”. Aku tersenyum ketika melihat foto-foto yang dikirim Lilis. Foto putraku yang baru berusia 6 hari. Ah, baru kemarin tak melihatnya saja, aku sudah rindu pada putra pertamaku itu. Ya, putra pertama yang sayangnya bukan lahir dari Alana istriku, namun lahir dari rahim Lilis, gadis yang kunikahi secara siri setahun yang lalu.
Aku menghela nafas panjang. Kembali memikirkan tentang Lilis membuatku sedikit takut, takut jika Alana mengetahui jika Lilis adalah madunya, dan bayi yang sedang ditampungnya di rumah kami sekarang adalah anakku, darah dagingku. Foto-foto lucu bayiku yang dikirm Lilis sedikit menghilangkan kegelisahanku, kupasang foto terbaiknya di status whatsappku, tak lupa kuubah pengaturannya di ponselku agar Alana tak bisa melihat foto yang baru saja kujadikan status WA itu.
Tak berapa lama, beberapa pesan masuk di ponselku, kebanyakan teman-temanku memberi ucapan selamat dan mengomentari foto putraku. Memang sejak kelahiran putraku beberapa hari kemarin, banyak sekali ucapan selamat dari teman-temanku termasuk dari atasanku. Karena mereka semua tau bahwa aku sudah 5 tahun menikah dan baru saja dikaruniai seorang anak. Namun ada juga beberapa teman akrabku yang tau jika bayiku adalah anak dari istri siriku.
Sebenarnya Alana pun sangat ingin memiliki anak dariku, aku tau dia selalu merasa kesepian jika kutinggal sendirian di rumah karena segudang kesibukan kerjaku, beberapa kali istriku itu mengajakku memeriksakan diri ke dokter. Aku sering menolaknya karena sebenarnya aku tau jika Alana normal dan subur. Namun untuk menyenangkannya aku pun menuruti keinginannya untuk berkonsultasi ke dokter. Dan seperti dugaanku, hasil pemeriksaan menyatakan kami berdua subur.
Alana hanya tak tau, kalau sebenarnya selama ini aku yang belum menginginkannya melahirkan anak. Rahasia yang sampai sekarang masih kusimpan sendiri.
💫Bersambung💫
Aku bersiap menuju ke kantor cabang di Kota Balikpapan setelah menikmati sarapan pagiku. Ada beberapa masalah keuangan di kantor cabang Balikpapan yang mengharuskanku sebagai manager keuangan pusat harus turun tangan langsung dalam rangka megaudit laoporan keuangan cabang. Biasanya jika aku sudah turun tangan langsung seperti ini, beberapa pejabat di kantor cabang akan khawatir dengan posisi mereka. Karena pasti akan ada yang berubah setelah aku melakukan audit keuangan, entah itu penurunan jabatan atau bahkan pemecatan oleh pemilik perusahaan. Karena aku hanya akan turun tangan langsung jika memang kondisi keuangan sudah sangat banyak penyimpangan oleh oknum-oknum tertentu.Kuraih laptopku di atas meja kemudian memasukkannya ke dalam tas. Sebenarnya ini hanya laptop cadanganku di kantor karena laptop yang sehari-hari kugunakan ketinggalan di rumah saat aku mampir membawakan salep untuk mengobati iritasi bayi yang dipesan Lilis. Beruntung Alana bisa membantuku dengan mengirimkan sem
Ibu.Aku berjalan mondar-mandir di dalam rumah besar putraku, Wildan. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 9 malam, namun Alana, menantuku, belum juga pulang kembali ke rumah. Entah mengapa aku merasa ada yang tak biasa dari wanita cantik yang sudah 5 tahun menemani putraku itu. Tadi pagi, saat mengajaknya untuk sholat berjamaah, aku merasa Alana berbeda, matanya bengkak seperti orang yang habis menangis semalaman.Begitupun saat aku menawarkan sarapan dengan menu favoritnya, Alana menolak dan lebih memilih sereal untuk sarapan. Bahkan Alana terlihat seperti enggan menatapku dan berlama-lama berbicara denganku. Padahal biasanya Alana selalu terlihat senang berlama-lama mengobrol denganku, dia selalu mencari tau tentang masa kecil suaminya padaku. Kemudian kami akan tertawa bersama ketika aku menceritakan cerita-cerita lucu saat Wildan masih kecil.“Bu, ini kok kulit Bagas masih merah-merah gini ya ... padahal sudah Lilis olesin salep yang dibeli Mas Wildan kemarin.” Suara Lilis membuya
Tiga bulan setelah kecelakaan yang merenggut nyawa Fadli, putra bungsuku. Kulihat Lilis pun sudah tidak terlalu sedih, gadis malang itu sudah mulai berinteraksi dengan beberapa tetangga yang sebaya dengannya. Lilis meminta izin padaku untuk tetap tinggal di rumah, menurutnya dia tak sanggup tinggal sendirian di rumahnya karena ibunya pun sudah meninggal. Itu akan membuatnya merasa sendiri dan kesepian.Aku pun menyetujuinya, karena selain aku juga merasa kesepian jika harus tinggal sendirian di rumah ini, aku juga sudah menyayangi Lilis, gadis itu sudah kuanggap sebagai anakku sendiri. Sebenarnya, beberapa kali Wildan dan Alana memintaku untuk tinggal bersama mereka, namun aku menolak. Aku lebih suka tinggal di sini, dan masih mengelola toko sembako kecil-kecilan peninggalan suamiku.Hingga suatu hari, ketika Wildan kembali mengunjungiku. Aku kembali mempertanyakan cucu padanya, namun seperti biasa, Wildan hanya menjawab dengan gelengan.“Wildan masih menikmati masa-masa indah pernika
LilisSubuh itu, saat aku hendak membangunkan ibu untuk sholat subuh bersama, aku terkejut mendapati tubuh renta ibu tergeletak di lantai kamarnya. Dengan panik aku berusaha mengangkat tubuh ibu ke atas tempat tidurnya. Subuh-subuh aku terpaksa menggedor-gedor rumah tetangga untuk meminta pertolongan.Ditengah kepanikanku, aku teringat untuk memberi kabar tentang ibu pada Mas Wildan. Kuraih ponselku kemudian mencari-cari kontak Mas Wildan. "Halo! Ini siapa?" Aku terkejut mendengar suara Mas Wildan yang terdengar setengah berteriak.“Aku ... aku Lilis, Mas. Maaf harus menelpon subuh-subuh. Lilis cuma mau mengabari Mas Wildan kalau Ibu pingsan, Mas.”“Astaghfirullah, Lilis! Kamu ngagetin aku tau nggak! Kamu pakai nomor Fadli? Aku kaget sekali ada panggilan dari nomor ponsel almarhum, nggak taunya kamu yang nelpon.”Suara Mas Wildan masih terdengar sedikit berteriak, mungkin dia memang sedang kaget karena aku memang menelpon pakai ponsel Mas Fadli. Saat kecelakaan motor waktu itu, ponse
“Lis, apa kamu tau Ibu memintaku untuk menikahimu?” tanyaku saat kami berdua sudah duduk di kursi yang ada di taman di area rumah sakit. Kulihat gadis itu menghela nafasnya. “Lilis tau, Mas. Ibu pun sudah mengatakannya pada Lilis,” jawabnya lirih.“Lalu bagaimana tanggapanmu, Lis?”“Aku tak tau, Mas. Masa depanku terasa gelap saat Mas Fadli meninggalkanku bersama impian-impian yang sudah kami bangun berdua. Aku merasa aku hidup, tapi terasa mati. Mas Fadli nyaris membawa pergi semua gairah hidupku.” Gadis itu menyeka sudut matanya. Aku terdiam, menunggunya meneruskan kalimatnya.“Yang kuinginkan saat ini hanyalah berada di sekitar Ibu, walaupun mungkin orang-orang akan memandang aneh padaku. Tapi tinggal di rumah Ibu dan melihat Ibu setiap hari membuatku merasa Mas Fadli tak pergi jauh-jauh dariku. Maka, ketika Ibu mengatakan niatnya meminangku untuk Mas Wildan, aku tak bisa mengiyakan maupun menolaknya. Sungguh, aku hanya ingin berpasrah karena aku pun tak tau mau ke mana arah hidu
Alana.Kuparkirkan mobilku di parkiran Kafe Jingga. Ini adalah kafe yang kubangun bersama Nafisa, sahabatku. Meskipun kami berdua jarang terlibat langsung dalam pengelolaan Kafe ini karena kesibukan kami dengan rumah tangga masing-masing. Aku dan Nafisa mempercayakan pengelolaan Kafe Jingga pada Handi, sepupu Nafisa. Entah kenapa, pagi ini setelah menemukan fakta-fakta mengejutkan tentang Mas Wildan, aku jadi ingin ke kafe ini. Di dalam ada ruangan khusus yang hanya aku dan Nafisa yang punya kuncinya. Aku ingin istirahat dan menghabiskan waktuku di sana. Kuraih gawaiku kemudian mencari kontak Handi, menyuruhnya sedikit agak pagi datang ke kafe karena Handi yang pegang kunci kafe."Mbak Alana mau sarapan? Mau dibikinin menu apa nih, Mbak?" tanya Handi setelah membuka kafe."Boleh deh, Han. Kebetulan Mbak laper nih belum sarapan. Tolong bikinin kopi kental dan roti bakar pakai selai cokelat ya," pintaku."Baik, Mbak. Nanti Handi antakan ke ruangan Mba Alana kalo udah siap."Kurebahkan
“Alana ....” Suara itu menyapaku lembut.“Darwin ....”“Wah, akhirnya aku bisa juga bertemu owner Kafe Jingga.”“Ka- kamu tau ini kafe aku?”“Ya, aku tau Kamu dan Nafisa adalah pemilik kafe ini. Kamu tau nggak, aku adalah pelanggan setia di kafe ini. Coba deh kamu tanya karyawan di sini, mereka semua mengenalku. Pelanggan tetap yang punya niat terselubung untuk bertemu pemilik kafe ini, dan ternyata setelah sekian lama jadi pelanggan, malam ini aku benar-benar bertemu dengannya.”Aku berusaha mengabaikan ucapan Darwin.“Nafisa tau kamu sering kemari?” tanyaku.“Taulah. Nafisa bahkan sering memberiku diskon jika kebetulan dia lagi berkunjung ke sini. Kuharap pemilik kafe yang ada di hadapanku sekarang juga sudi memberi harga khusus padaku malam ini.”“Kenapa Nafisa nggak pernah cerita?” Aku masih mengabaikan gurauannya.Pria itu menarik napas panjang. “Begitulah sahabatmu itu. Katanya kamu sudah sangat bahagia dengan kehidupanmu dan melarangku untuk muncul di hadapanmu, seolah-olah aku
Entahlah, beberapa bulan setelah menikahi Lilis. Disaat Lilis sedang hamil besar, aku kepikiran untuk menceraikannya setelah wanita itu melahirkan bayiku. Meskipun aku hanya sesekali pulang ke rumah Ibu sejak menikahi Lilis, namun aku makin merasa Lilis tak pernah menganggapku sebagai Wildan. Aku tau, setiap kali aku menggaulinya, matanya terus menatap ke arah fotonya dengan Fadli yang terpajang di atas meja. Kamar Fadli pun tak berubah sedikitpun, meski kamar itu sudah menjadi kamarku dan Lilis ketika aku pulang ke rumah Ibu.Harga diriku sebagai lelaki terkoyak, Lilis selalu membayangkan Fadli lah yang menggaulinya, bukan aku. Lilis bahkan tak segan menggumamkan nama Fadli ketika aku membawanya ke puncak kenikmatan. Meskipun Fadli adalah adikku, tapi aku tetap merasa terhina ketika Lilis membayangkan orang lain atas tubuhku. Padahal, sebenarnya aku pun seperti itu. Masih terbayang dalam ingatanku saat aku berusaha memberikan malam pertama sebagai sepasang suami istri sehari sebelum