Ibu.
Aku berjalan mondar-mandir di dalam rumah besar putraku, Wildan. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 9 malam, namun Alana, menantuku, belum juga pulang kembali ke rumah. Entah mengapa aku merasa ada yang tak biasa dari wanita cantik yang sudah 5 tahun menemani putraku itu. Tadi pagi, saat mengajaknya untuk sholat berjamaah, aku merasa Alana berbeda, matanya bengkak seperti orang yang habis menangis semalaman.Begitupun saat aku menawarkan sarapan dengan menu favoritnya, Alana menolak dan lebih memilih sereal untuk sarapan. Bahkan Alana terlihat seperti enggan menatapku dan berlama-lama berbicara denganku. Padahal biasanya Alana selalu terlihat senang berlama-lama mengobrol denganku, dia selalu mencari tau tentang masa kecil suaminya padaku. Kemudian kami akan tertawa bersama ketika aku menceritakan cerita-cerita lucu saat Wildan masih kecil.“Bu, ini kok kulit Bagas masih merah-merah gini ya ... padahal sudah Lilis olesin salep yang dibeli Mas Wildan kemarin.” Suara Lilis membuyarkan lamunanku tentang Alana.“Bagas? Kalian sudah memberinya nama?” tanyaku.“Lilis yang memberinya nama Bagas, Bu. Mas Wildan sih belum bilang setuju, katanya masih belum ketemu nama yang pas. Tapi, Lilis maunya namanya Bagas. Itu adalah nama yang diinginkan Mas Fadli dulu jika kami menikah dan punya anak,” jawabnya. Kalimat terakhirnya terdengar lirih nyaris menggumam.Aku menarik napasku panjang, menatap Lilis yang sedang menggendong bayinya. Lilis, gadis polos dan penurut. Lilis dulunya adalah kekasih dari Fadli, putra bungsuku. Fadli adalah putra kesayanganku, dia anak yang tidak terlalu berambisi seperti kakaknya, Wildan. Wildan sejak lulus SMA lebih memilih kuliah di kota, bahkan Wildan bisa membiayai kuliahnya sendiri, kudengar putra sulungku itu mengajar privat di beberapa tempat untuk mendapatkan penghasilan selama kuliah. Wildan memang sangat berprestasi, sejak SMA Wildan tak pernah lepas mendapatkan beasiswa. Berbeda dengan adiknya Fadli, saat aku menyuruhnya untuk kuliah di kota, Fadli malah memilih membantuku mengelola Toko Sembako peninggalan ayahnya. Alasannya karena tak mau meninggalkanku seorang diri, apalagi setelah Wildan menikah.Maka saat Fadli membawa seorang gadis ke rumah dan memperkenalkan Lilis sebagai kekasihnya, aku langsung menyukai Lilis. Gadis itu terlihat sangat menyayangi Fadli, begitupun sebaliknya. Namun nahas, beberapa bulan sebelum rencana pernikahan mereka, Fadli dan Lilis mengalami kecelakaan motor ketika Fadli hendak mengantar Lilis pulang. Fadli kehilangan nyawanya dalam kecelakaan itu, motornya hancur, aku bahkan tak sanggup melihat kondisi motornya pada saat itu. Aku membayangkan bagaimana kondisi putra bungsuku itu sedangkan motornya saja sehancur itu setelah kecelakaan. Sedangkan Lilis tak sadarkan diri selama seminggu setelah kecelakaan.“Jadi gimana ini, Bu? Kasihan ini paha Bagas sampai merah-merah karena alergi.” Suara Lilis lagi-lagi membuyarkan pikiranku.“Rajin-rajin ganti popoknya, Lis. Juga salepnya harus diolesin rutin, titpis-tips aja olesnya,” jawabku.“Tapi ini nggak berbahaya kan, Bu? Mas Wildan kapan sih pulangnya, sepertinya Bagas harus dibawa ke dokter deh, Bu.”“Jangan terlalu panik, Insya Allah bayimu nggak apa-apa. Itu hanya alergi biasa. Rajin-rajin dibersihin aja biar alerginya hilang.”Aku kembali melirik ke arah pintu, menunggu Alana pulang.“Ibu lagi nunggu Mbak Alana?” tanya Lilis.“Iya, Ibu khawatir. Sudah jam segini kok Alana belum pulang ya,” gumamku.“Mungkin Mbak Alana memang sering pulang malam, Bu. Apalagi kalau Mas Wildan sedang nggak ada di rumah.”“Kamu nggak usah ngomentari Alana, Lis. Konsentrasi saja mengurus bayimu. Bagaimana luka operasinya? Masih sering nyeri?” tanyaku.“Sesekali masih teras nyeri, Bu. Ya sudah, Lilis dan Bagas masuk ke kamar dulu ya, Bu.”Aku hanya mengangguk lalu meraih ponsel dan berusaha menghubungi Alana namun nomornya tidak aktif. Apakah Alana sudah mengetahui tentang Lilis? Apakah Alana sudah mengetahui bahwa bayi Lilis adalah anak kandung dari suaminya? Semoga saja Alana belum mengetahuinya, Wildan masih mencari cara yang halus untuk jujur pada Alana tentang Lilis. Aku merasa sangat bersalah, bagaimanapun akulah yang paling bertanggung jawab atas kondisi rumah tangga Wildan putraku.Ingatanku kembali melayang pada saat kami kehilangan Fadli. Hampir sebulan lebih aku terpuruk dalam kesedihan karena kepergian putra bungsuku itu. Wildan dan Alana hanya menemaniku selama seminggu setelah pemakaman Fadli, karena Wildan tak bisa lama-lama meninggalkan pekerjaannya. Sedangkan Lilis masih terbaring di rumah sakit, gadis itu terlihat makin terpuruk saat mengetahui jika Fadli, kekasihnya, meninggal dalam kecelakaan motor yang menimpa mereka. Yang makin membuatku merasa iba, beberapa hari setelah Lilis keluar dari rumah sakit, ibunya meninggal dunia. Sehingga gadis itu menjadi yatim piatu karena ayahnya sudah meninggal sejak Lilis masih kecil. Karena kasihan dan merasa senasib ditinggal oleh orang-orang tersayang, aku pun menyuruh Lilis tinggal di rumah bersamaku. Lilis juga tak menolak, karena gadis malang itu pun merasa kesepian setelah Fadli kemudian ibunya meninggalkannya.Drrrttt .... Drrrtttt .... Aku buru-buru menjawab ponselku yang berdering. Wildan menelpon."Nak, Alana ada hubungin kamu nggak?" tanyaku tanpa basa-basi."Justru Wildan mau nanya Alana ada di rumah nggak, Bu? Nomornya nggak aktif nih.""Alana belum pulang, Nak. Coba kamu hubungi teman-temannya. Ibu khawatir. Sungguh Ibu merasa takut, sepertinya Alana sudah mengetahui tentang Lilis dan bayinya. Kamu hubungi teman-temannya ya, Nak.""Iya ... iya, nanti Wildan hubungi teman Alana, Bu. Ibu nggak usah khawatir, Alana itu wanita cerdas, Bu. Dia nggak mungkin melakukan hal-hal yang merugikan dirinya.""Tetap saja Ibu merasa sangat bersalah pada istrimu itu, Nak. Kalau saja waktu itu Ibu tak memaksamu menikahi Lilis.""Sudahlah, Bu. Jangan dibahas. Wildan sudah punya rencana ke depannya untuk hidup Wildan dan Alana, Bu. Biar Wildan konsentrasi pada kerjaan Wildan dulu. Setelah itu Wildan akan mengajak Alana untuk bicara. Ya sudah, Bu. Wildan nelpon teman-teman dekat Al dulu.""Iya, Nak!"Aku menyeka air mataku setelah Wildan mengakhiri panggilannya. Seandainya saja waktu itu aku tak menyuruhnya menikahi Lilis, sesalku. Sebulan setelah kepergian Fadli, Wildan selalu menyempatkan datang sesekali untuk menengokku. Tapi Wildan tak pernah mengajak Alana, karena katanya dia hanya mencuri-curi waktu di sela-sela padatnya pekerjaannya untuk mengunjungiku. Wildan pun beralasan tak ingin membuat istrinya kecapean karena harus bolak-balik. Wildan memang kelihatan sangat mencintai Alana, istrinya. Akupun sangat menyayangi Alana karena kulihat besarnya rasa cinta putraku pada wanita terpelajar itu. Rumah tangga mereka kelihatan sangat bahagia dan harmonis, meskipun Wildan sering sekali meninggalkan Alana sendirian di rumah mereka karena sering ke luar kota maupun saat sedang lembur di kantornya. Hanya satu kekurangan dari rumah tangga mereka, yaitu belum adanya anak yang hadir meramaikan rumah besar mereka. Padahal mereka sudah 4 tahun menikah pada saat itu.“Alana dan aku nggak ada masalah, Bu. Kami berdua sehat dan subur. Hanya saja Wildan memang belum menginginkan Alana hamil, meskipun Alana sebenarnya sudah sangat menginginkannya.” Begitu jawaban dari Wildan saat aku menanyakan anak padanya.Aku mengeryitkan keningku. “Belum menginginkannya? Jadi Alana KB?” tanyaku.“Nggak lah, Bu. Alana malah rutin minum obat penyubur dari dokter. Tapi Wildan yang sengaja menghindar.”“Astaghfirullah! Apa maksud kamu, Nak?”“Ah, sudahlah, Bu. Pokoknya Wildan belum rela melihat tubuh Al berubah karena hamil.”Aku terkejut dan heran mendengar pengakuan Wildan, namun aku akhirnya diam dan tak membahasnya lagi karena kulihat dia kecapean.💫Bersambung💫Tiga bulan setelah kecelakaan yang merenggut nyawa Fadli, putra bungsuku. Kulihat Lilis pun sudah tidak terlalu sedih, gadis malang itu sudah mulai berinteraksi dengan beberapa tetangga yang sebaya dengannya. Lilis meminta izin padaku untuk tetap tinggal di rumah, menurutnya dia tak sanggup tinggal sendirian di rumahnya karena ibunya pun sudah meninggal. Itu akan membuatnya merasa sendiri dan kesepian.Aku pun menyetujuinya, karena selain aku juga merasa kesepian jika harus tinggal sendirian di rumah ini, aku juga sudah menyayangi Lilis, gadis itu sudah kuanggap sebagai anakku sendiri. Sebenarnya, beberapa kali Wildan dan Alana memintaku untuk tinggal bersama mereka, namun aku menolak. Aku lebih suka tinggal di sini, dan masih mengelola toko sembako kecil-kecilan peninggalan suamiku.Hingga suatu hari, ketika Wildan kembali mengunjungiku. Aku kembali mempertanyakan cucu padanya, namun seperti biasa, Wildan hanya menjawab dengan gelengan.“Wildan masih menikmati masa-masa indah pernika
LilisSubuh itu, saat aku hendak membangunkan ibu untuk sholat subuh bersama, aku terkejut mendapati tubuh renta ibu tergeletak di lantai kamarnya. Dengan panik aku berusaha mengangkat tubuh ibu ke atas tempat tidurnya. Subuh-subuh aku terpaksa menggedor-gedor rumah tetangga untuk meminta pertolongan.Ditengah kepanikanku, aku teringat untuk memberi kabar tentang ibu pada Mas Wildan. Kuraih ponselku kemudian mencari-cari kontak Mas Wildan. "Halo! Ini siapa?" Aku terkejut mendengar suara Mas Wildan yang terdengar setengah berteriak.“Aku ... aku Lilis, Mas. Maaf harus menelpon subuh-subuh. Lilis cuma mau mengabari Mas Wildan kalau Ibu pingsan, Mas.”“Astaghfirullah, Lilis! Kamu ngagetin aku tau nggak! Kamu pakai nomor Fadli? Aku kaget sekali ada panggilan dari nomor ponsel almarhum, nggak taunya kamu yang nelpon.”Suara Mas Wildan masih terdengar sedikit berteriak, mungkin dia memang sedang kaget karena aku memang menelpon pakai ponsel Mas Fadli. Saat kecelakaan motor waktu itu, ponse
“Lis, apa kamu tau Ibu memintaku untuk menikahimu?” tanyaku saat kami berdua sudah duduk di kursi yang ada di taman di area rumah sakit. Kulihat gadis itu menghela nafasnya. “Lilis tau, Mas. Ibu pun sudah mengatakannya pada Lilis,” jawabnya lirih.“Lalu bagaimana tanggapanmu, Lis?”“Aku tak tau, Mas. Masa depanku terasa gelap saat Mas Fadli meninggalkanku bersama impian-impian yang sudah kami bangun berdua. Aku merasa aku hidup, tapi terasa mati. Mas Fadli nyaris membawa pergi semua gairah hidupku.” Gadis itu menyeka sudut matanya. Aku terdiam, menunggunya meneruskan kalimatnya.“Yang kuinginkan saat ini hanyalah berada di sekitar Ibu, walaupun mungkin orang-orang akan memandang aneh padaku. Tapi tinggal di rumah Ibu dan melihat Ibu setiap hari membuatku merasa Mas Fadli tak pergi jauh-jauh dariku. Maka, ketika Ibu mengatakan niatnya meminangku untuk Mas Wildan, aku tak bisa mengiyakan maupun menolaknya. Sungguh, aku hanya ingin berpasrah karena aku pun tak tau mau ke mana arah hidu
Alana.Kuparkirkan mobilku di parkiran Kafe Jingga. Ini adalah kafe yang kubangun bersama Nafisa, sahabatku. Meskipun kami berdua jarang terlibat langsung dalam pengelolaan Kafe ini karena kesibukan kami dengan rumah tangga masing-masing. Aku dan Nafisa mempercayakan pengelolaan Kafe Jingga pada Handi, sepupu Nafisa. Entah kenapa, pagi ini setelah menemukan fakta-fakta mengejutkan tentang Mas Wildan, aku jadi ingin ke kafe ini. Di dalam ada ruangan khusus yang hanya aku dan Nafisa yang punya kuncinya. Aku ingin istirahat dan menghabiskan waktuku di sana. Kuraih gawaiku kemudian mencari kontak Handi, menyuruhnya sedikit agak pagi datang ke kafe karena Handi yang pegang kunci kafe."Mbak Alana mau sarapan? Mau dibikinin menu apa nih, Mbak?" tanya Handi setelah membuka kafe."Boleh deh, Han. Kebetulan Mbak laper nih belum sarapan. Tolong bikinin kopi kental dan roti bakar pakai selai cokelat ya," pintaku."Baik, Mbak. Nanti Handi antakan ke ruangan Mba Alana kalo udah siap."Kurebahkan
“Alana ....” Suara itu menyapaku lembut.“Darwin ....”“Wah, akhirnya aku bisa juga bertemu owner Kafe Jingga.”“Ka- kamu tau ini kafe aku?”“Ya, aku tau Kamu dan Nafisa adalah pemilik kafe ini. Kamu tau nggak, aku adalah pelanggan setia di kafe ini. Coba deh kamu tanya karyawan di sini, mereka semua mengenalku. Pelanggan tetap yang punya niat terselubung untuk bertemu pemilik kafe ini, dan ternyata setelah sekian lama jadi pelanggan, malam ini aku benar-benar bertemu dengannya.”Aku berusaha mengabaikan ucapan Darwin.“Nafisa tau kamu sering kemari?” tanyaku.“Taulah. Nafisa bahkan sering memberiku diskon jika kebetulan dia lagi berkunjung ke sini. Kuharap pemilik kafe yang ada di hadapanku sekarang juga sudi memberi harga khusus padaku malam ini.”“Kenapa Nafisa nggak pernah cerita?” Aku masih mengabaikan gurauannya.Pria itu menarik napas panjang. “Begitulah sahabatmu itu. Katanya kamu sudah sangat bahagia dengan kehidupanmu dan melarangku untuk muncul di hadapanmu, seolah-olah aku
Entahlah, beberapa bulan setelah menikahi Lilis. Disaat Lilis sedang hamil besar, aku kepikiran untuk menceraikannya setelah wanita itu melahirkan bayiku. Meskipun aku hanya sesekali pulang ke rumah Ibu sejak menikahi Lilis, namun aku makin merasa Lilis tak pernah menganggapku sebagai Wildan. Aku tau, setiap kali aku menggaulinya, matanya terus menatap ke arah fotonya dengan Fadli yang terpajang di atas meja. Kamar Fadli pun tak berubah sedikitpun, meski kamar itu sudah menjadi kamarku dan Lilis ketika aku pulang ke rumah Ibu.Harga diriku sebagai lelaki terkoyak, Lilis selalu membayangkan Fadli lah yang menggaulinya, bukan aku. Lilis bahkan tak segan menggumamkan nama Fadli ketika aku membawanya ke puncak kenikmatan. Meskipun Fadli adalah adikku, tapi aku tetap merasa terhina ketika Lilis membayangkan orang lain atas tubuhku. Padahal, sebenarnya aku pun seperti itu. Masih terbayang dalam ingatanku saat aku berusaha memberikan malam pertama sebagai sepasang suami istri sehari sebelum
"Hey, Sayang, kamu kenapa?" tanyaku lembut.Namun suara Alana masih saja terdengar terisak-isak di telepon."Al ... Sayang ... ada apa?""Aku ... aku mimpi buruk, Mas. Mas Wildan baik-baik saja, kan?" tanyanya terbata-bata.Aku menarik napas lega, rupanya Alana hanya mimpi buruk sampai menangis begitu. Tadinya kupikir ada sesuatu yang buruk terjadi di Bandung."Sayang, hanya mimpi buruk kok sampai nangis gitu, sih. Sudah, tidur lagi ya, Sayang. Masih tengah malam nih.""Tapi mimpiku enggak enak banget, Mas. Al mimpi Mas Wildan ninggalin Alana."Aku tersentak, Apakah ini firasat Alana atas apa yang baru saja kulakukan pada Lilis? Tiba-tiba saja ada rasa bersalah menelusup dalam hatiku."Itu hanya mimpi, Al. Nggak mungkin lah Mas ninggalin kamu, istri yang sangat Mas cintai." Aku berusaha menghiburnya."Iya, Mas. Oiya, Mas jadi nyusul ke Bandung nggak?""Maaf ya, Sayang. Mas nggak bisa nyusul ke sana. Sekarang Mas lagi di rumah Ibu.""Di rumah Ibu?""Iya, Sayang. Ibu kemarin sakit dan s
“Lilis! Bayi itu anakku, darah dagingku! Bukan Fadli! Kenapa semua yang ada di kehidupanmu harus tentang Fadli hah??? Aku suamimu, Wildan Ramadhani, bukan Fadli!!” bentakku sebelum Lilis menyelesaikan kalimatnya.Kulihat Lilis terkejut mendengarku membentaknya, air matanya menetes, dadanya kembang kempis menahan perasaannya. Aku sudah tak peduli, kepergian Alana sudah membuatku pusing sekarang wanita di hadapanku ini malah menambahnya dengan kalimat-kalimat konyolnya.Hahh ... Fadli lagi ... Lilis benar-benar hidup dalam bayang-bayang Fadli. Mungkin benar apa yang dikatakannya, dia hidup namun terasa mati. Kurasa perasaan Lilis sudah mati terkubur bersama jasad Fadli, kekasihnya.“Ada apa ini? Kenapa teriak-teriak Wildan?” Ibu tiba-tiba muncul dari balik pintu kamarnya.“Nggak apa-apa, Bu. Wildan hanya sedang pusing,” jawabku.“Wil, Lilis baru saja melahirkan putramu, Nak. Dia bahkan masih dalam masa nifasnya. Jangan membentaknya seperti itu. Harusnya kamu menjadi orang nomor satu yan