Share

BAB 6. KISAH DUA SEJOLI

Ibu.

Aku berjalan mondar-mandir di dalam rumah besar putraku, Wildan. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 9 malam, namun Alana, menantuku, belum juga pulang kembali ke rumah. Entah mengapa aku merasa ada yang tak biasa dari wanita cantik yang sudah 5 tahun menemani putraku itu. Tadi pagi, saat mengajaknya untuk sholat berjamaah, aku merasa Alana berbeda, matanya bengkak seperti orang yang habis menangis semalaman.

Begitupun saat aku menawarkan sarapan dengan menu favoritnya, Alana menolak dan lebih memilih sereal untuk sarapan. Bahkan Alana terlihat seperti enggan menatapku dan berlama-lama berbicara denganku. Padahal biasanya Alana selalu terlihat senang berlama-lama mengobrol denganku, dia selalu mencari tau tentang masa kecil suaminya padaku. Kemudian kami akan tertawa bersama ketika aku menceritakan cerita-cerita lucu saat Wildan masih kecil.

“Bu, ini kok kulit Bagas masih merah-merah gini ya ... padahal sudah Lilis olesin salep yang dibeli Mas Wildan kemarin.” Suara Lilis membuyarkan lamunanku tentang Alana.

“Bagas? Kalian sudah memberinya nama?” tanyaku.

“Lilis yang memberinya nama Bagas, Bu. Mas Wildan sih belum bilang setuju, katanya masih belum ketemu nama yang pas. Tapi, Lilis maunya namanya Bagas. Itu adalah nama yang diinginkan Mas Fadli dulu jika kami menikah dan punya anak,” jawabnya. Kalimat terakhirnya terdengar lirih nyaris menggumam.

Aku menarik napasku panjang, menatap Lilis yang sedang menggendong bayinya. Lilis, gadis polos dan penurut. Lilis dulunya adalah kekasih dari Fadli, putra bungsuku. Fadli adalah putra kesayanganku, dia anak yang tidak terlalu berambisi seperti kakaknya, Wildan. Wildan sejak lulus SMA lebih memilih kuliah di kota, bahkan Wildan bisa membiayai kuliahnya sendiri, kudengar putra sulungku itu mengajar privat di beberapa tempat untuk mendapatkan penghasilan selama kuliah. Wildan memang sangat berprestasi, sejak SMA Wildan tak pernah lepas mendapatkan beasiswa. Berbeda dengan adiknya Fadli, saat aku menyuruhnya untuk kuliah di kota, Fadli malah memilih membantuku mengelola Toko Sembako peninggalan ayahnya. Alasannya karena tak mau meninggalkanku seorang diri, apalagi setelah Wildan menikah.

Maka saat Fadli membawa seorang gadis ke rumah dan memperkenalkan Lilis sebagai kekasihnya, aku langsung menyukai Lilis. Gadis itu terlihat sangat menyayangi Fadli, begitupun sebaliknya. 

Namun nahas, beberapa bulan sebelum rencana pernikahan mereka, Fadli dan Lilis mengalami kecelakaan motor ketika Fadli hendak mengantar Lilis pulang. Fadli kehilangan nyawanya dalam kecelakaan itu, motornya hancur, aku bahkan tak sanggup melihat kondisi motornya pada saat itu. Aku membayangkan bagaimana kondisi putra bungsuku itu sedangkan motornya saja sehancur itu setelah kecelakaan. Sedangkan Lilis tak sadarkan diri selama seminggu setelah kecelakaan.

“Jadi gimana ini, Bu? Kasihan ini paha Bagas sampai merah-merah karena alergi.” Suara Lilis lagi-lagi membuyarkan pikiranku.

“Rajin-rajin ganti popoknya, Lis. Juga salepnya harus diolesin rutin, titpis-tips aja olesnya,” jawabku.

“Tapi ini nggak berbahaya kan, Bu? Mas Wildan kapan sih pulangnya, sepertinya Bagas harus dibawa ke dokter deh, Bu.”

“Jangan terlalu panik, Insya Allah bayimu nggak apa-apa. Itu hanya alergi biasa. Rajin-rajin dibersihin aja biar alerginya hilang.”

Aku kembali melirik ke arah pintu, menunggu Alana pulang.

“Ibu lagi nunggu Mbak Alana?” tanya Lilis.

“Iya, Ibu khawatir. Sudah jam segini kok Alana belum pulang ya,” gumamku.

“Mungkin Mbak Alana memang sering pulang malam, Bu. Apalagi kalau Mas Wildan sedang nggak ada di rumah.”

“Kamu nggak usah ngomentari Alana, Lis. Konsentrasi saja mengurus bayimu. Bagaimana luka operasinya? Masih sering nyeri?” tanyaku.

“Sesekali masih teras nyeri, Bu. Ya sudah, Lilis dan Bagas masuk ke kamar dulu ya, Bu.”

Aku hanya mengangguk lalu meraih ponsel dan berusaha menghubungi Alana namun nomornya tidak aktif. Apakah Alana sudah mengetahui tentang Lilis? Apakah Alana sudah mengetahui bahwa bayi Lilis adalah anak kandung dari suaminya? Semoga saja Alana belum mengetahuinya, Wildan masih mencari cara yang halus untuk jujur pada Alana tentang Lilis. Aku merasa sangat bersalah, bagaimanapun akulah yang paling bertanggung jawab atas kondisi rumah tangga Wildan putraku.

Ingatanku kembali melayang pada saat kami kehilangan Fadli. Hampir sebulan lebih aku terpuruk dalam kesedihan karena kepergian putra bungsuku itu. Wildan dan Alana hanya menemaniku selama seminggu setelah pemakaman Fadli, karena Wildan tak bisa lama-lama meninggalkan pekerjaannya. Sedangkan Lilis masih terbaring di rumah sakit, gadis itu terlihat makin terpuruk saat mengetahui jika Fadli, kekasihnya, meninggal dalam kecelakaan motor yang menimpa mereka. 

Yang makin membuatku merasa iba, beberapa hari setelah Lilis keluar dari rumah sakit, ibunya meninggal dunia. Sehingga gadis itu menjadi yatim piatu karena ayahnya sudah meninggal sejak Lilis masih kecil. Karena kasihan dan merasa senasib ditinggal oleh orang-orang tersayang, aku pun menyuruh Lilis tinggal di rumah bersamaku. Lilis juga tak menolak, karena gadis malang itu pun merasa kesepian setelah Fadli kemudian ibunya meninggalkannya.

Drrrttt .... Drrrtttt .... Aku buru-buru menjawab ponselku yang berdering. Wildan menelpon.

"Nak, Alana ada hubungin kamu nggak?" tanyaku tanpa basa-basi.

"Justru Wildan mau nanya Alana ada di rumah nggak, Bu? Nomornya nggak aktif nih."

"Alana belum pulang, Nak. Coba kamu hubungi teman-temannya. Ibu khawatir. Sungguh Ibu merasa takut, sepertinya Alana sudah mengetahui tentang Lilis dan bayinya. Kamu hubungi teman-temannya ya, Nak."

"Iya ... iya, nanti Wildan hubungi teman Alana, Bu. Ibu nggak usah khawatir, Alana itu wanita cerdas, Bu. Dia nggak mungkin melakukan hal-hal yang merugikan dirinya."

"Tetap saja Ibu merasa sangat bersalah pada istrimu itu, Nak. Kalau saja waktu itu Ibu tak memaksamu menikahi Lilis."

"Sudahlah, Bu. Jangan dibahas. Wildan sudah punya rencana ke depannya untuk hidup Wildan dan Alana, Bu. Biar Wildan konsentrasi pada kerjaan Wildan dulu. Setelah itu Wildan akan mengajak Alana untuk bicara. Ya sudah, Bu. Wildan nelpon teman-teman dekat Al dulu."

"Iya, Nak!"

Aku menyeka air mataku setelah Wildan mengakhiri panggilannya. Seandainya saja waktu itu aku tak menyuruhnya menikahi Lilis, sesalku. Sebulan setelah kepergian Fadli, Wildan selalu menyempatkan datang sesekali untuk menengokku. Tapi Wildan tak pernah mengajak Alana, karena katanya dia hanya mencuri-curi waktu di sela-sela padatnya pekerjaannya untuk mengunjungiku. Wildan pun beralasan tak ingin membuat istrinya kecapean karena harus bolak-balik. 

Wildan memang kelihatan sangat mencintai Alana, istrinya. Akupun sangat menyayangi Alana karena kulihat besarnya rasa cinta putraku pada wanita terpelajar itu. Rumah tangga mereka kelihatan sangat bahagia dan harmonis, meskipun Wildan sering sekali meninggalkan Alana sendirian di rumah mereka karena sering ke luar kota maupun saat sedang lembur di kantornya. Hanya satu kekurangan dari rumah tangga mereka, yaitu belum adanya anak yang hadir meramaikan rumah besar mereka. Padahal mereka sudah 4 tahun menikah pada saat itu.

“Alana dan aku nggak ada masalah, Bu. Kami berdua sehat dan subur. Hanya saja Wildan memang belum menginginkan Alana hamil, meskipun Alana sebenarnya sudah sangat menginginkannya.” Begitu jawaban dari Wildan saat aku menanyakan anak padanya.

Aku mengeryitkan keningku. “Belum menginginkannya? Jadi Alana KB?” tanyaku.

“Nggak lah, Bu. Alana malah rutin minum obat penyubur dari dokter. Tapi Wildan yang sengaja menghindar.”

“Astaghfirullah! Apa maksud kamu, Nak?”

“Ah, sudahlah, Bu. Pokoknya Wildan belum rela melihat tubuh Al berubah karena hamil.”

Aku terkejut dan heran mendengar pengakuan Wildan, namun aku akhirnya diam dan tak membahasnya lagi karena kulihat dia kecapean.

💫Bersambung💫

 

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Ma E
Wildan egois banget
goodnovel comment avatar
Remika Sirait
cerita yg bagus saya suka
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status