Darwin.[Buruan ke sini! Sekarang juga!]Aku masih berada di ruang kerjaku ketika ponselku berdering menandakan ada pesan masuk. Aku mengeryitkan keningku membaca chat Nafisa di ponselku. Nafisa mengirim lokasi google map padaku. Rumah sakit? Ada apa Nafisa menyuruhku ke sana? Untuk menjawab rasa penasaranku segera kuhubungi nomor Nafisa.“Eh, nih orang disuruh buruan malah nelpon.” Nafisa langsung mengomeliku saat mengangkat telpon.“Tapi ngapain nyuruh aku ke rumah sakit, Naf? Siapa yang sakit?”“Nggak usah banyak tanya, aku juga bingung jelasinnya tau nggak! Makanya buruan kemari atau kamu akan menyesal!”Klik! Nafisa menutup telpon secara sepihak. Huhhh! Ada apa sih anak itu tiba-tiba nyuruh ke rumah sakit? Pake acara ngancam segala lagi! Aku mendumel dalam hati namun akhirnya meraih kunci mobilku dan segera menuju parkiran kantor.“Langsung ke taman belakang rumah sakit, ikutin aja petunjuk arah ruang jenazah. Nanti ada taman sebelum ruang jenazah. Aku nunggu di kursi taman,” uca
Kutatap wajah polos Alana yang tengah tertidur lelap. Wajahnya kelihatan sangat pucat dan tubuhnya terlihat lebih kurus dibanding terakhir kali aku melihatnya di kamar hotel. Aku tersenyum melihatnya tertidur sambil memeluk jas yang dulu kupinjamkan padanya di acara reuni SMU. Aku sudah pernah melihat Alana diam-diam menghirup aroma jas itu sesaat sebelum ia ingin mengembalikannya padaku. Itulah sebabnya aku menolaknya saat Alana hendak mengembalikannya. Aku tak menyangka jika jas itu bisa sangat berguna sekarang.Pandanganku terpaku pada perut rata Alana yang bergerak naik turun mengikuti irama nafasnya. Di sana, di dalam rahim Alana tengah bersemayam benihku. Ah, ingin sekali rasanya aku memeluk wanita yang tengah tertidur itu untuk mengungkapkan betapa bahagianya aku saat ini. Namun akhirnya aku memilih duduk di sudut ruangan sambil terus memandangi wajah pucat Alana yang terlihat sangat cantik.Tak lama kemudian Alana menggeliat, kulihat ia meraih jas yang tadi dipeluknya kemudian
Darwin.Tak kupedulikan ucapan sarkas Alana mengusirku. Aku justru makin mendekat ke arah ranjang rumah sakit tempatnya berbaring. Kutawari ia makanan yang baru saja diantar oleh petugas rumah sakit. Alana menggeleng.“Kalau gitu minum susu ini, ya.” Aku meraih segelas susu yang juga diantar petugas tadi. Alana masih menggeleng dan terus saja menutupi hidungnya dengan jas hitam milikku.“Paling tidak kamu harus makan atau minum sesuatu, Al. Kasian bayi kamu kalo kamu nggak mau makan dan minum gini.”“Sudah kubilang jangan pedulikan aku!”“Tapi aku harus peduli, Lana. Aku harus peduli pada bayiku, maka aku juga harus peduli pada ibunya.” Kuletakkan kembali makanan dan minuman di meja kecil yang ada di samping ranjang pasien.“Aku mau minum teh manis hangat,” lirih Alana saat aku baru saja berbalik hendak melangkah. Aku tersenyum penuh kemenangan.“Tunggu sebentar ya, Al. Aku akan memesankannya di kantin. Selain teh hangat kamu mau makan apa?”“Roti tawar tanpa selai apapun,” ucapnya da
“Naf, aku mau pulang aja boleh nggak? Nggak enak banget tau nggak sih di sini. Nggak bisa ngapa-ngapain, cuma bisa tiduran. Belum lagi aroma obat-obatan ini menyengat sekali bikin perutku mual.”“Terus kamu mau sendirian lagi di apartemenmu? Kalau ada apa-apa lagi kayak kemarin gimana, Al? Kecuali kalau kamu sementara waktu balik ke Bandung dulu sampai morning sick mu sedikit mereda.”“Nggak, Naf. Aku belum berani pulang ke Bandung. Aku bingung harus bilang apa pada ayah dan ibu. Aku takut mereka marah padaku. Aku juga tak mau mempermalukan mereka.”“Itu karena kamu belum mencobanya, Al. Sampai kapan kamu akan menyembunyikan keadaanmu dari mereka. Justru makin lama kamu menyembunyikannya, akan semakin sulit bagimu untuk berterus terang pada mereka. Meskipun sulit untuk diterima, kurasa tak mungkin ayah dan ibumu sampai memarahimu, apalagi kamu sedang dalam kondisi lemah seperti ini. Tak ada tempat terbaik untuk pulang selain keluarga, Al.”Aku terisak lirih, wajah penuh cinta kedua or
Alana.Hari ini aku sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Aku menolak untuk pulang ke Bandung, selain karena merasa tubuhku masih lemah untuk melakukan perjalanan selama berjam-jam, aku juga tak mau para tetangga di Bandung mengetahui keadaanku saat ini.Tubuhku mulai terasa sedikit segar, mungkin benar apa yang dikatakan Nafisa kemarin bahwa salah satu penyebab aku semakin drop adalah karena pikiranku. Saat ini pikiranku sudah mulai agak tenang sejak Ibu dan Teh Niar datang. Diam-diam aku bersyukur bahwa Darwin memberanikan diri datang ke Bandung dan mengabari kedua orangtuaku dengan caranya sendiri.Sedangkan Darwin, lebam-lebam bekas pukulan Mas Sofyan masih terlihat membekas di wajahnya. Terkadang saat ia ketiduran di sofa ketika menungguiku di rumah sakit aku menatapnya iba. Ia seolah membiarkan orang lain menyalahkannya atas kejadian ini, padahal sebenarnya aku sendirilah yang paling bersalah. Beberapa hari ini kulihat wajahnya begitu kelelahan, kantung hitam dibawah mat
Alana.Hari ini aku sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Aku menolak untuk pulang ke Bandung, selain karena merasa tubuhku masih lemah untuk melakukan perjalanan selama berjam-jam, aku juga tak mau para tetangga di Bandung mengetahui keadaanku saat ini.Tubuhku mulai terasa sedikit segar, mungkin benar apa yang dikatakan Nafisa kemarin bahwa salah satu penyebab aku semakin drop adalah karena pikiranku. Saat ini pikiranku sudah mulai agak tenang sejak Ibu dan Teh Niar datang. Diam-diam aku bersyukur bahwa Darwin memberanikan diri datang ke Bandung dan mengabari kedua orangtuaku dengan caranya sendiri.Sedangkan Darwin, lebam-lebam bekas pukulan Mas Sofyan masih terlihat membekas di wajahnya. Terkadang saat ia ketiduran di sofa ketika menungguiku di rumah sakit aku menatapnya iba. Ia seolah membiarkan orang lain menyalahkannya atas kejadian ini, padahal sebenarnya aku sendirilah yang paling bersalah. Beberapa hari ini kulihat wajahnya begitu kelelahan, kantung hitam dibawah mat
Alana.Entah kenapa hari ini aku tiba-tiba merasa mual lagi, padahal sudah beberapa hari ini mualnya sudah lumayan berkurang.“Waduh ini gimana dong, Al. Jas yang sering kamu pakai buat nahan mual baru aja Teteh titipin di laundry tadi. Eh, kamu malah mual muntah lagi,” ucap Teh Niar sambil memijit-mijit tengkukku.“Maksudnya apa, Ma?” Mas Sofyan yang ikut berdiri di sebelah istrinya bertanya.“Itu loh, Mas. Alana kalau lagi kumat mualnya biasanya suka nutupin hidungnya pakai jasnya Darwin. Katanya itu bisa ngurangin rasa mualnya. Nah, tadi jas itu aku bawa ke laundry, soalnya beberapa hari ini Al udah lumayan nggak mual lagi.”“Hah? Jas Darwin? Al, itu palingan cuma sugesti aja, Dek. Harus dilawan! Nggak mungkin lah rasa mual bisa hilang karena nyiumin jas orang. Kalaupun iya ntar mending Mas pinjamin jas Mas aja.”“Ihh, kamu ini ya, Mas. Laki-laki mana tau urusan ginian. Mas kira Al ngarang? Jangan sepelekan morning sick, Mas. Lagian, mau dipinjemin jas punya Mas? Nggak akan ngaruh
“Tante Al??” Kevin tiba-tiba saja mengagetkanku.“Ssstttt,” lirihku sambil meletakkan telunjuk di bibirku menyuruhnya diam.Kevin pun kembali ke sofa di depan tv, tak mempedulikan percakapan orang tua yang sedang berlangsung di ruang tamu. Aku sedikit kesal ketika suara tv yang dinyalakan Kevin barusan justru membuat pendengaranku terganggu. Aku ingin keluar dan menyuruh Kevin mengurangi volume tv, namun itu akan membuat semua yang ada di ruang tamu pasti menyadari keberadaanku.Akupun kembali ke tempat tidurku karena tak bisa mendengar lagi apa yang mereka bicarakan selanjutnya. Namun, kalimat terakhir Mas Sofyan tadi mengganggu pikiranku. Benarkah Darwin masih berstatus suami? Bukankah kata Nafisa Darwin sudah lama bercerai dari istrinya? Aku memang belum pernah terlibat pembicaraan serius dengan Darwin. Interaksi di antara kami hanya sebatas dia menanyakan kabarku ataupun memastikan aku sudah makan apa belum. Satu-satunya kedekatan kami mungkin hanyalah saat insiden di hotel waktu