Darwin.Tak kupedulikan ucapan sarkas Alana mengusirku. Aku justru makin mendekat ke arah ranjang rumah sakit tempatnya berbaring. Kutawari ia makanan yang baru saja diantar oleh petugas rumah sakit. Alana menggeleng.“Kalau gitu minum susu ini, ya.” Aku meraih segelas susu yang juga diantar petugas tadi. Alana masih menggeleng dan terus saja menutupi hidungnya dengan jas hitam milikku.“Paling tidak kamu harus makan atau minum sesuatu, Al. Kasian bayi kamu kalo kamu nggak mau makan dan minum gini.”“Sudah kubilang jangan pedulikan aku!”“Tapi aku harus peduli, Lana. Aku harus peduli pada bayiku, maka aku juga harus peduli pada ibunya.” Kuletakkan kembali makanan dan minuman di meja kecil yang ada di samping ranjang pasien.“Aku mau minum teh manis hangat,” lirih Alana saat aku baru saja berbalik hendak melangkah. Aku tersenyum penuh kemenangan.“Tunggu sebentar ya, Al. Aku akan memesankannya di kantin. Selain teh hangat kamu mau makan apa?”“Roti tawar tanpa selai apapun,” ucapnya da
“Naf, aku mau pulang aja boleh nggak? Nggak enak banget tau nggak sih di sini. Nggak bisa ngapa-ngapain, cuma bisa tiduran. Belum lagi aroma obat-obatan ini menyengat sekali bikin perutku mual.”“Terus kamu mau sendirian lagi di apartemenmu? Kalau ada apa-apa lagi kayak kemarin gimana, Al? Kecuali kalau kamu sementara waktu balik ke Bandung dulu sampai morning sick mu sedikit mereda.”“Nggak, Naf. Aku belum berani pulang ke Bandung. Aku bingung harus bilang apa pada ayah dan ibu. Aku takut mereka marah padaku. Aku juga tak mau mempermalukan mereka.”“Itu karena kamu belum mencobanya, Al. Sampai kapan kamu akan menyembunyikan keadaanmu dari mereka. Justru makin lama kamu menyembunyikannya, akan semakin sulit bagimu untuk berterus terang pada mereka. Meskipun sulit untuk diterima, kurasa tak mungkin ayah dan ibumu sampai memarahimu, apalagi kamu sedang dalam kondisi lemah seperti ini. Tak ada tempat terbaik untuk pulang selain keluarga, Al.”Aku terisak lirih, wajah penuh cinta kedua or
Alana.Hari ini aku sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Aku menolak untuk pulang ke Bandung, selain karena merasa tubuhku masih lemah untuk melakukan perjalanan selama berjam-jam, aku juga tak mau para tetangga di Bandung mengetahui keadaanku saat ini.Tubuhku mulai terasa sedikit segar, mungkin benar apa yang dikatakan Nafisa kemarin bahwa salah satu penyebab aku semakin drop adalah karena pikiranku. Saat ini pikiranku sudah mulai agak tenang sejak Ibu dan Teh Niar datang. Diam-diam aku bersyukur bahwa Darwin memberanikan diri datang ke Bandung dan mengabari kedua orangtuaku dengan caranya sendiri.Sedangkan Darwin, lebam-lebam bekas pukulan Mas Sofyan masih terlihat membekas di wajahnya. Terkadang saat ia ketiduran di sofa ketika menungguiku di rumah sakit aku menatapnya iba. Ia seolah membiarkan orang lain menyalahkannya atas kejadian ini, padahal sebenarnya aku sendirilah yang paling bersalah. Beberapa hari ini kulihat wajahnya begitu kelelahan, kantung hitam dibawah mat
Alana.Hari ini aku sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Aku menolak untuk pulang ke Bandung, selain karena merasa tubuhku masih lemah untuk melakukan perjalanan selama berjam-jam, aku juga tak mau para tetangga di Bandung mengetahui keadaanku saat ini.Tubuhku mulai terasa sedikit segar, mungkin benar apa yang dikatakan Nafisa kemarin bahwa salah satu penyebab aku semakin drop adalah karena pikiranku. Saat ini pikiranku sudah mulai agak tenang sejak Ibu dan Teh Niar datang. Diam-diam aku bersyukur bahwa Darwin memberanikan diri datang ke Bandung dan mengabari kedua orangtuaku dengan caranya sendiri.Sedangkan Darwin, lebam-lebam bekas pukulan Mas Sofyan masih terlihat membekas di wajahnya. Terkadang saat ia ketiduran di sofa ketika menungguiku di rumah sakit aku menatapnya iba. Ia seolah membiarkan orang lain menyalahkannya atas kejadian ini, padahal sebenarnya aku sendirilah yang paling bersalah. Beberapa hari ini kulihat wajahnya begitu kelelahan, kantung hitam dibawah mat
Alana.Entah kenapa hari ini aku tiba-tiba merasa mual lagi, padahal sudah beberapa hari ini mualnya sudah lumayan berkurang.“Waduh ini gimana dong, Al. Jas yang sering kamu pakai buat nahan mual baru aja Teteh titipin di laundry tadi. Eh, kamu malah mual muntah lagi,” ucap Teh Niar sambil memijit-mijit tengkukku.“Maksudnya apa, Ma?” Mas Sofyan yang ikut berdiri di sebelah istrinya bertanya.“Itu loh, Mas. Alana kalau lagi kumat mualnya biasanya suka nutupin hidungnya pakai jasnya Darwin. Katanya itu bisa ngurangin rasa mualnya. Nah, tadi jas itu aku bawa ke laundry, soalnya beberapa hari ini Al udah lumayan nggak mual lagi.”“Hah? Jas Darwin? Al, itu palingan cuma sugesti aja, Dek. Harus dilawan! Nggak mungkin lah rasa mual bisa hilang karena nyiumin jas orang. Kalaupun iya ntar mending Mas pinjamin jas Mas aja.”“Ihh, kamu ini ya, Mas. Laki-laki mana tau urusan ginian. Mas kira Al ngarang? Jangan sepelekan morning sick, Mas. Lagian, mau dipinjemin jas punya Mas? Nggak akan ngaruh
“Tante Al??” Kevin tiba-tiba saja mengagetkanku.“Ssstttt,” lirihku sambil meletakkan telunjuk di bibirku menyuruhnya diam.Kevin pun kembali ke sofa di depan tv, tak mempedulikan percakapan orang tua yang sedang berlangsung di ruang tamu. Aku sedikit kesal ketika suara tv yang dinyalakan Kevin barusan justru membuat pendengaranku terganggu. Aku ingin keluar dan menyuruh Kevin mengurangi volume tv, namun itu akan membuat semua yang ada di ruang tamu pasti menyadari keberadaanku.Akupun kembali ke tempat tidurku karena tak bisa mendengar lagi apa yang mereka bicarakan selanjutnya. Namun, kalimat terakhir Mas Sofyan tadi mengganggu pikiranku. Benarkah Darwin masih berstatus suami? Bukankah kata Nafisa Darwin sudah lama bercerai dari istrinya? Aku memang belum pernah terlibat pembicaraan serius dengan Darwin. Interaksi di antara kami hanya sebatas dia menanyakan kabarku ataupun memastikan aku sudah makan apa belum. Satu-satunya kedekatan kami mungkin hanyalah saat insiden di hotel waktu
Darwin.“Papa kemana aja? Kapan ajak Jessy ke taman hiburan? Papa kan udah janji.” Jessy menyambutku dan segera menghambur ke dalam dekapanku saat aku tiba di rumah.“Maaf ya, Nak. Papa lagi sibuk banget. Kita nunggu Mama aja ya biar ke taman hiburannya bertiga,” ucapku sambil mencium kening putriku.Sejujurnya aku sangat merasa bersalah pada Jessy, aku justru lebih banyak meninggalkannya bersama baby sitter-nya di rumah. Waktuku benar-benar terbagi antara pekerjaan kantor, Alana dan Jessy.“Pa, Mama video call tuh,” seru Jessy ketika melihat ponselku berdering di atas meja.“Yuk angkat!” ajakku kemudian memangku Jessy dan menjawab panggilan video dari Inge.“Hai, Jessy .... Hai, Mas.” Terlihat wajah pucat Inge di layar ponselku.“Hai, Ma. Perut Mama udah diobatin? Kapan Mama pulang?” Hatiku terenyuh mendengar obrolan Jessy dan Mamanya. Kasihan sekali putriku ini, ia begitu dekat dengan ibunya, namun sesekali harus terpisah ketika Inge sedang menjalani pengobatannya.Aku meminta izin
Sesampainya di salon yang ada di dalam area mall, Nafisa justru meninggalkanku sendirian. Handi tiba-tiba saja menelponnya karena ada selisih tagihan dari pihak kontraktor yang merenovasi Kafe Jingga. Aku dan Nafisa memang memutuskan untuk merenovasi Kafe Jingga. Lebih memperluasnya dan menambah beberapa spot photo di sana.“Ntar kalau udah selesai aku jemput ya, Al. Aku harus menyelesaikan masalah dengan kontaktor. Mereka nagih hampir dua kali lipatnya, padahal aku punya bukti semua pembayaran kita.”“Iya, nggak apa-apa, Naf.”Aku pun memilih perawatan khusus untuk ibu hamil. Massage khusus ibu hamil membuat tubuhku benar-benar merasa rileks dan nyaman. Tak ada rasa mual sedikit pun selama aku berada di salon ini. Padahal, aku sudah membawa penangkalnya. Ya, aku membawa jaket Darwin ke mana-mana, jaket yang terakhir kali diambilkannya dari mobilnya saat jas nya yang selama ini ada padaku dibawa ke laundry oleh Teh Niar. Aku sendiri sudah tak menyukai jas itu, aromanya berubah setelah