Darwin.“Papa kemana aja? Kapan ajak Jessy ke taman hiburan? Papa kan udah janji.” Jessy menyambutku dan segera menghambur ke dalam dekapanku saat aku tiba di rumah.“Maaf ya, Nak. Papa lagi sibuk banget. Kita nunggu Mama aja ya biar ke taman hiburannya bertiga,” ucapku sambil mencium kening putriku.Sejujurnya aku sangat merasa bersalah pada Jessy, aku justru lebih banyak meninggalkannya bersama baby sitter-nya di rumah. Waktuku benar-benar terbagi antara pekerjaan kantor, Alana dan Jessy.“Pa, Mama video call tuh,” seru Jessy ketika melihat ponselku berdering di atas meja.“Yuk angkat!” ajakku kemudian memangku Jessy dan menjawab panggilan video dari Inge.“Hai, Jessy .... Hai, Mas.” Terlihat wajah pucat Inge di layar ponselku.“Hai, Ma. Perut Mama udah diobatin? Kapan Mama pulang?” Hatiku terenyuh mendengar obrolan Jessy dan Mamanya. Kasihan sekali putriku ini, ia begitu dekat dengan ibunya, namun sesekali harus terpisah ketika Inge sedang menjalani pengobatannya.Aku meminta izin
Sesampainya di salon yang ada di dalam area mall, Nafisa justru meninggalkanku sendirian. Handi tiba-tiba saja menelponnya karena ada selisih tagihan dari pihak kontraktor yang merenovasi Kafe Jingga. Aku dan Nafisa memang memutuskan untuk merenovasi Kafe Jingga. Lebih memperluasnya dan menambah beberapa spot photo di sana.“Ntar kalau udah selesai aku jemput ya, Al. Aku harus menyelesaikan masalah dengan kontaktor. Mereka nagih hampir dua kali lipatnya, padahal aku punya bukti semua pembayaran kita.”“Iya, nggak apa-apa, Naf.”Aku pun memilih perawatan khusus untuk ibu hamil. Massage khusus ibu hamil membuat tubuhku benar-benar merasa rileks dan nyaman. Tak ada rasa mual sedikit pun selama aku berada di salon ini. Padahal, aku sudah membawa penangkalnya. Ya, aku membawa jaket Darwin ke mana-mana, jaket yang terakhir kali diambilkannya dari mobilnya saat jas nya yang selama ini ada padaku dibawa ke laundry oleh Teh Niar. Aku sendiri sudah tak menyukai jas itu, aromanya berubah setelah
Inge.Hal yang tak pernah kusangka bisa bertemu dengan wanita yang bernama Alana di salah satu Mall yang berada dalam satu lokasi dengan hotel yang kusewa selama di Jakarta. Aku memang baru datang dari Surabaya tadi pagi dan memilih untuk mencari makan siang dulu sambil menunggu Mas Darwin mengantar Jessy ke hotel. Aku sendiri menolak untuk dijemput ke rumah Mas Darwin dan lebih memilih Mas Darwin yang mengantarkan Jessy ke hotel tempatku menginap. Bukan karena tak ingin, tapi rumah itu selalu saja membangkitkan kenanganku selama hidup dengan Mas Darwin di sana. Sedangkan aku ingin meninggalkan semua kenangan itu di belakangku.“Mbak kenal saya?” tanya Alana saat aku menanyakan apakah ia sedang hamil. Entah mengapa sejak wanita cantik di hadapanku ini menyebut namanya, aku yakin bahwa ia adalah Alana-nya Mas Darwin.“Saya Inge, Ibunya Jessy, mantan istrinya Darwin.” Aku kembali menegaskan jawabanku pada Alana. wanita itu terkejut menatapku. Aku harus memanfaatkan waktu ini untuk menje
Hari ini orang suruhan Mas Sofyan datang untuk menjemput Teh Niar, 2 hari lagi ada kegiatan wisuda di sekolah Kevin yang membuat Teh Niar harus segera pulang ke Bandung. Meskipun Teh Niar mengatakan masih berat untuk meninggalkanku, namun aku berusaha meyakinkannya bahwa aku akan baik-baik saja. Belakangan ini rasa mual yang kurasakan memang sudah mulai berkurang.Baru saja satu jam yang lalu Teh Niar berangkat, ketika bell apartemenku berbunyi. Aku mengeryitkan kening melihat seorang wanita berusia sekitar 40 tahunan di depan pintu.“Benar ini rumah Bu Alana?”“Iya, saya Alana.”“Apa kabar Bu Alana? Perkenalkan nama saya Rita, saya ditugaskan Pak Darwin Rahardian untuk menjadi ART Bu Alana,” ucap wanita itu dengan bahasa sopan. “Ini surat-surat resmi saya dari yayasan yang menaungi,” lanjutnya sambil memperlihatkan beberapa lembar kertas padaku.Aku menyuruhnya masuk kemudian mencari ponselku untuk menelpon Darwin untuk mengkonfirmasi tentang wanita itu.[Iya, Al. Aku yang mengirimn
Alana.Hari-hariku berlalu dengan cepat, sesekali aku mengunjungi Kafe Jingga untuk mengecek beberapa laporan atau pun menu baru kami. Kafe yang kudirikan bersama Nafisa itu semakin maju, kami pun sudah menambah beberapa karyawan untuk membantu operasional kafe. Kehadiran Rita di apartemenku pun sangat membantuku, meski pun tak begitu banyak pekerjaan rumah yang kubebankan padanya, namun keberadaannya membuatku tak merasa kesepian kala sendiri.Makanan pun masih rutin dikirimkan Darwin setiap hari padaku, kali ini kirimannya setiap hari hanya khusus menu makanan sehat ibu hamil dan tak lupa sebuket bunga. Itu membuat ruang apartemenku sudah seperti toko bunga, ada bunga di mana-mana. Sedangkan Rita sendiri kubiarkan untuk memasak menu apa yang diinginkannya.Ketika aku melayangkan protes pada Darwin tentang buket-buket bunga yang memenuhi apartemenku, esok harinya paket makanan buatku hanya disertai dengan setangkai bunga. Tetap ada bunganya! Aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku. A
Malam ini kami sekeluarga sedang berkumpul di ruang VVIP di mana ibu dirawat. Aku sendiri tak pernah beranjak dari samping ranjang ibu sejak tiba tadi. Di tubuh ibu masih terpasang selang infus dan beberapa alat medis lainnya. Namun ibuku tetap tersenyum terutama ketika aku dan Darwin tiba tadi. Dengan suara lirihnya ibu menanyakan kabarku dan juga kandunganku, kemudian menanyakan kabar Darwin.Darwin sendiri masih berada di sini, ikut bergabung bersama keluargaku. Sebenarnya aku ingin menanyakan padanya kenapa ia tak pulang setelah mengantarkanku, namun kulihat Teh Niar terus saja mengobrol dengannya sepanjang hari ini.“Perutmu sudah mulai membesar ya, Nak. Kamu cantik sekali dengan kehamilanmu ini, Nak,” ucap Ibu saat kami semua tengah duduk di karpet yang digelar di dalam ruang rawat ibu.“Iya, benar kata Ibu. Auramu kelihatan terpancar sekali dengan kehamilanmu ini. Beda sekali dengan kondisimu yang pucat pasi waktu Teteh nemanin kamu di Jakarta. Udah nggak mual muntah lagi?” Kal
Darwin.Tak pernah ku sangka kedatanganku di Bandung dalam rangka mengantar Alana kali ini akhirnya berbuah manis. Sebenarnya aku sudah merencanakan untuk kembali meminang Alana setelah masa iddahnya berakhir, namun aku tak menyangka jika Allah membuka lebar-lebar jalan untukku. Kumanfaatkan info dari Teh Niar tentang Alana yang tiba-tiba harus pulang ke Bandung karena sang ibu sedang sakit.Maka, dengan menguatkan hatiku, aku kembali meminang Alana di hadapan kedua orangtuanya, istimewanya lagi, hal itu kulakukan di ruangan rawat inap ibu Alana, meskipun aku harus menerima tatapan tajam dari Mas Sofyan. Entah apa yang membuat pria itu masih enggan menerimaku, padahal menurut Teh Niar, ia sudah mejelaskan pada suaminya itu tentang status pernikahanku dengan Inge yang dulu pernah dipertanyakannya.Tak lupa kukabarkan rencana pernikahan mendadakku besok pagi pada kedua orangtuaku yang tinggal di Medan. Meskipun bapak dan ibuku sangat terkejut karena aku mengabarinya mendadak bahkan tak
Darwin meraih tanganku kemudian menggandengku ke arah mobilnya. Risih? Iya! Awalnya aku merasa risih, aku belum terbiasa dengan status kami saat ini. Terlebih Darwin juga langsung kembali ke Jakarta setelah kami menikah 2 minggu lalu. Karena sepertinya pekerjaannya juga sedang padat-padatnya. Sisanya, ia hanya menelponku setiap saat disela-sela pekerjaannya, menanyakan kabarku dan bayiku. Juga mengirim pesan dengan emoticon love di ujung kalimatnya. Hanya seperti itu hubungan kami setelah menikah. Maka, saat tangan kekarnya menggenggam tanganku, aku justru merasa risih, namun tak kupungkiri kehangatan telapak tangannya yang lebar dan hangat memberi rasa nyaman mengalir di seluruh pembuluh darahku. Aku menengadah memandang wajahnya tepat setelah ia membukakan pintu mobilnya untukku. Darwin pun menatapku sambil tersenyum kemudian satu kedipan mata darinya membuatku segera memalingkan wajah dan buru-buru masuk ke dalam mobil. Ada getaran yang asing dalam hatiku.***Bukan tanpa alasan