Share

Suamiku Berondong Seksi
Suamiku Berondong Seksi
Penulis: Gleoriud

1

Anita melempar tasnya asal. Sepatunya pun dibiarkan tergeletak dan berceceran di pintu kamar. Satu tujuannya, dia butuh tidur.

Tak mudah memang, memimpin perusahaan keluarga yang telah diwariskan turun temurun. Mau tak mau dia harus mengemban amanah karena dia adalah anak satu-satunya keluarga besar Sultan Yusuf.

Hari ini, dia menjalani rapat tanpa henti. Para pemegang saham harus berfikir keras bagaimana perusahaan tidak gulung tikar di masa krisis begini.

Anita mulai memejamkan mata saat ketukan kecil menganggunya.

"Boleh ibu masuk?"

Pertanyaan ibunya sebenarnya tak berguna, tanpa dijawab pun, wanita yang rambutnya mulai ditaburi uban itu telah berjalan mendekat ke ranjangnya.

Anita memaksa tubuhnya yang lelah untuk bangun, matanya dipaksa untuk terbuka.

"Kamu pasti belum mandi," tebak ibunya, dan Anita tau, itu hanya sekedar basa-basi. Pasti ada hal mendesak sampai-sampai ibunya menemuinya ke kamar di jam sebelas malam.

"Iya, Bu. Belum."

"Ibu mau ngomong, boleh?"

Anita sudah menduga, basa-basi tadi berganti dengan percakapan serius.

"Ada apa, Bu?"

"Tadi, ayahmu ...." Ibunya terlihat ragu, ibunya tau betul, dia dan ayahnya tak pernah akur, mereka sama-sama keras, tapi tak bisa berpisah lama. "Menanyakan apa kamu sudah bisa membawa calon yang kamu janjikan itu ke rumah?"

Anita tersadar, matanya yang berat sukses terbuka lebar. Baru dia ingat, dia berjanji akan membawa calon sendiri karena tak mau dijodohkan.

"An?"

"Eh? Oh, ya, besok. Kami belum sempat bertemu hari ini."

Ibunya menatapnya tenang, seolah tak yakin dengan apa yang baru saja dikatakannya.

"An, berdamailah, ibu tau betul kamu tak memiliki kekasih, karena siang malam menghabiskan waktumu untuk bekerja, jika ...,"

"Anita punya pacar, kok. Besok akan Anita bawa ke rumah menghadap ayah."

"Baiklah," sahut ibunya. "Mandilah dulu sebelum tidur." Sentuhan lembut mendarat di pipi Anita. Ibunya begitu lembut dan perhatian.

Sepeninggal ibunya, Anita mengusap kasar wajahnya. Calon suami? Dari mana? Dari langit? Dia tak punya teman laki-laki, apalagi kekasih.

"Oh, God. Gila, aku menjanjikan besok, mati, mati, aku pasti mati." Anita terlonjak dari tidurnya. Rasa kantuk hilang sudah.

"Oh otak, berpikirlah!"

***

Anita mengetuk-ngetuk meja restoran dengan perasaan campur aduk, bahkan setelah ibunya masuk ke kamarnya beberapa saat yang lalu, Anita tidak lagi melanjutkan tidurnya. Dia harus memaksimalkan waktu yang tersisa, calon suami? Mau didapat di mana? Anita butuh makanan pedas malam ini. Karena makanan pedas bisa membuat otaknya cepat berpikir.

Bukan restoran mewah, tapi sebuah restoran kaki lima yang berdiri di atas trotoar jalan. Langganan Anita sejak SMP, restoran kaki lima itu hanya buka di malam hari, di atas jam sembilan malam.

Anita merapatkan jaketnya, jangan tanya dinginnya udara. Anita bahkan menggosokkan tangannya sendiri agar lebih hangat.

"Permisi, Om dan Tante."

Anita menoleh ke sumber suara, seorang pemuda dengan wajahnya yang penuh senyum. Dia memakai kemeja kotak-kotak yang warnanya telah pudar, celana jins robek di lutut dan sepatu sport yang lusuh. Rambutnya yang bewarna hitam, dipotong ala bintang drama korea , gitar yang berada di tangannya dipetik beberapa kali.

Dia lebih cocok dikatakan manis dari pada ganteng. Atau, bahkan cantik? Oh, sejak kapan Anita peduli pada orang asing?

Anita mengalihkan pandangan pada mie pedas level sepuluh kesukaannya. Matanya berbinar, makanan favorit yang sering membuat sakit perut itu, adalah teman sejatinya. Walaupun di pagi hari, dia harus berurusan dengan kamar mandi berulangkali.

"Permisi, Mbak!"

Anita mengangkat wajahnya sambil meletakkan sumpit. Sebuah plastik bekas makanan yang berisi uang receh disodorkan pemuda itu padanya.

Anita merogoh tasnya. Tak ada uang kecil. Hanya ada pecahan seratus ribu.

Anita mengakui, suara pemuda itu cukup merdu, tapi dia tak pernah mendengarkan lagu itu sebelumnya, apakah dia menciptakannya sendiri? Anita tak begitu ingin tau.

"Maaf, Mbak. Saya nggak punya kembalian," jawabnya, dia menyodorkan uang itu kembali.

"Ambil saja!"

"Tidak usah, Mbak. Terimakasih." Pria itu berlalu ke meja di sebelah Anita.

Mata Anita mengikuti punggung itu, bagaimana dia membungkuk setiap kali orang-orang memberinya uang receh. Bahkan sampai pria itu keluar dari area restoran kaki lima, mata Anita masih mengikutinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status