Share

2

Perasaan Anita sedikit lega, perut kenyang dan dia akan tidur dengan nyenyak. Untungnya, besok adalah hari Sabtu, walaupun terlambat bangun, dia bisa agak santai sedikit dibanding hari kerja.

Jam dua belas malam, bukankah ini terlalu larut malam? Anita tak peduli, sebagai wanita yang berumur lebih dari tiga puluh tahun yang kemana-mana biasa sendiri, dia tak pernah dikekang oleh orangtuanya. Kecuali perkara calon suami.

Entah kenapa, ingatan Anita melayang pada pemuda manis itu.

"Gila," gerutunya pada diri sendiri. Dia menyalakan mobilnya. Sesekali Anita mengeluarkan sendawa.

Anita tiba-tiba menepikan mobilnya. Pemuda tadi, si pengamen tengah berjalan kaki sendiri sambil menghitung uang yang berada di dalam plastik bekas makanan yang dilihatnya beberapa saat yang lalu. Wajahnya terlihat kecewa.

Tin! Tin! Suara klakson Anita menghentikan langkah itu, seiring dengan turunnya kaca mobil miliknya.

"Tinggal di mana?"

"Mbak seratus ribu?"

Anita mendengus, julukan apa itu? Sangat tak enak didengar.

"Maaf, maksud saya, Mbak yang tadi ngasih seratus ribu, kan?"

Anita mengangguk. "Masuk, aku antar!"

"Beneran Mbak?" Wajahnya berbinar senang. Tak ada transportasi umum tengah malam begini. Anita membuka pintu mobilnya, pria itu masuk dengan semangat sambil memeluk gitarnya. Sekilas Anita mencium bau parfum murahan dari pria itu.

"Saya di jalan Abadi."

"Oh, searah," sahut Anita mengemudikan mobilnya kembali.

"Baik banget, Mbak. Nggak takut sama orang asing?"

Anita melirik sekilas.

"Kamu terlihat tak berbahaya."

"Wah, Mbak hebat menebak, ya."

"Siapa nama kamu?"

"Edo."

"Udah lama ngamen?"

"Dari kecil, tapi di sini baru dua bulan, saya baru merantau ke sini. Katanya di Bandung lebih enak kalau ngamen."

"Oh gitu."

"Tapi ternyata enggak juga, malam ini cuma dapat dua puluh lima ribu."

Anita mengangguk. Matanya fokus ke jalan di depannya, anak-anak motor mulai berkeliaran di jalan.

"Nggak minat kerja yang lain?"

"Kerja apa? Saya nggak punya ijazah."

"Tinggal sama siapa?"

"Sama adik saya."

"Oh, jadi keluarganya di kampung ya?" tebak Anita.

"Ayah ibu udah nggak ada, ayah meninggal saat adik saya dilahirkan, dan ibu meninggal dua tahun yang lalu." Wajah Edo berubah sendu.

"Stop, Mbak. Di sini saja. Terimakasih tumpangannya." Edo turun lalu melambaikan tangan pada Anita. Untuk pertama kalinya Anita prihatin dengan hidup orang lain.

Tiba-tiba saja ide konyol melintas begitu saja.

"Hei, tunggu!" seru Anita yang sukses menghentikan langkah Edo.

***

Mata bulat Anita mematut laki-laki muda di depannya. Mereka tengah duduk di cafe yang khusus menyajikan minuman hangat. Segelas coklat hangat mengeluarkan aroma manis menggoda.

Saat ini suasana hati Anita cukup baik, setelah ide konyol tapi menjanjikan itu muncul begitu saja.

Dia menilai pria itu bagaikan seorang pembeli yang akan membeli sebuah barang, memastikan barang tak memiliki cacat dan cela agar dia puas mendapatkannya. Sama halnya seperti pembeli, dia tentu harus memastikan barang itu mulus tanpa cacat.

Edo lumayan ganteng, mungkin juga manis, kulitnya cerah dengan otot tak berlebihan, tubuhnya tinggi, sekitar 170 cm, walaupun berpakaian lusuh, dia cukup rapi dan bersih, kukunya pun terpotong pendek.

Mata Edo yang terlihat polos itu memandang Anita dengan risih. Dia dibawa begitu saja ke kafe ini, setelah mereka duduk berhadap-hadapan di meja yang berada persis di dekat jendela, tak satu pun kalimat penjelasan keluar dari mulut wanita di depannya. Wanita itu malah memandangnya tanpa berniat mengalihkan tatapan, sesekali memicingkan matanya.

"Maaf? Mbak, sebenarnya ada apa?" Edo menggaruk lehernya gugup. Baginya, wanita di depannya ini terlalu aneh.

"Boleh aku tau lebih banyak tentang kamu?"

"Maaf, sekali lagi, kenapa Mbak ingin berkenalan dengan saya? Kenapa Mbak memandang saya begitu? Ah, saya jadi gugup."

"Sebelum aku jawab, aku mau tau tentang kamu dulu, umur?"

"Saya dua puluh tujuh."

"Terlalu muda," sahut Anita. "Tapi tak apa, zaman sekarang umur tak masalah, setidaknya jika dipermak sedikit akan kelihatan lebih dewasa. Pendidikan?"

"Saya nggak tamat SMA." Edo menjawab saja, walaupun hatinya diliputi keheranan. Seperti wawancara kerja.

"Status?"

"Status?" Kening Edo semakin berkerut.

"Iya status, sudah punya pacar, atau sudah menikah, atau malah duda?"

Edo tertawa getir. Wanita di depannya ini memang aneh.

"Saya lajang, belum punya pacar, belum menikah, apalagi duda."

"Oke."

"Sebenarnya ada apa, Mbak?" Wajah Edo mulai khawatir.

"Selain ngamen kerja apa?"

"Tukang angkut di pasar."

"Dapat gaji berapa?"

"Maksudnya, perhari?"

"Terserah, perbulan atau perhari, dapat berapa?"

"Nggak nentu. Kadang sehari dapat lima puluh, kalau mujur bisa seratus, kalau apes bahkan cuma dua puluh ribu."

"Mau aku tawari pekerjaan?"

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Aman sihabb
baru ketemu nih author favorit kuh...salam kenal
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status