Share

4

"Aku butuh pacar," kata Anita santai.

"Eh?" Edo melongo.

"Bukan, bukan pacar sebenarnya, tapi pacar pura-pura. Kamu hanya perlu melakukan apa yang aku katakan, tidak berat, bukan?"

"Sampai sejauh ini, saya belum faham akan alasan Mbak Anita. Dengan semua yang Mbak miliki, tentu sangat mudah bagi Mbak memiliki pacar."

Anita tersenyum, dia menggulung rambutnya, jika dinilai secara sekilas, dia wanita yang tak mau ribet, salah satunya, bertelanjang kaki dan tak menggunakan sepatunya. Cukup unik.

"Aku adalah wanita 30 tahun, cukup tua, jadi aku tak perlu pacar. Aku butuh pacar pura-pura untuk menghentikan ayahku yang terus menjodohkan dengan anak koleganya."

"Maaf, di usia 30, saya rasa yang dibutuhkan adalah suami, bukan pacar."

"Suami pura-pura?" Anita terkekeh geli. "Aku tak berencana untuk menikah."

Edo heran dengan wanita yang satu ini, dengan kekayaan dan kecantikannya, dia malah tak berniat untuk menikah. Ado rasa, wanita seperti Anita tak sama dengan wanita pada umumnya.

"Jadi, kedatanganmu ke sini, kuanggap setuju."

"Apa yang harus saya lakukan?"

"Sore nanti, kita jumpai ayahku. Dan ... Ini, kartu kredit, pergilah belanja baju yang bagus, aku akan rekomendasikan toko temanku, dia akan membantu mengarahkanmu di sana. Jangan lupa, rambutmu dibentuk agar kau tak terlihat seperti adikku. Oh, ya. Ini uang cash, sepuluh juta, sesuai dengan kesepakatan kita."

Edo hanya terdiam, tak bisa mencerna situasi, wanita di depannya bahkan tak meminta KTP atau perjanjian, dia percaya begitu saja.

"Aku tak mau lagi melihat kalung itu, gelang karet dan cincin besi itu berada di tanganmu. Bisa?"

Kalung dan gelang karet, mungkin tak masalah jika dibuka, tapi cincin titanium ini, sangat berarti baginya. Kenang-kenangan dari pacar pertamanya yang telah meninggal dunia.

"Maaf, kalung dan gelang, saya setuju untuk melepaskannya. Tapi, cincin ini terlalu berharga," jawab Edo, dia memutar cincin yang hanya bernilai belasan ribu itu, tapi memiliki makna yang sangat dalam. Makna yang mengajarkan dirinya bagaimana mencintai tanpa pamrih.

Anita tampak tak puas. Setelah berpikir sesaat, dia berujar," bisa pindahkan ke jari yang lain? Ayahku bisa saja bertanya tentang cincin yang melekat di jari manismu, dan itu tak bagus untuk sandiwara kita."

Edo tau, uang sepuluh juta, kartu kredit, tak mungkin didapatkan tanpa syarat.

***

Edo hanya menurut saat wanita yang memperkenalkan dirinya bernama Jenny itu memilihkan beberapa pakaian untuknya. Toko besar yang ditunjuk Anita, yang ia akui sebagai toko milik kawannya itu.

Edo tak mengerti masalah gaya atau fashion, dia menyerahkan sepenuhnya pada wanita yang bernama Jenny itu.

"Ah, sungguh tak adil, wajah rupawan begini dibiarkan tak terawat." Ini entah ocehan keberapa yang diucapkan Jenny. Tangannya sibuk menata rambut Edo. Selain menjual pakaian pria beserta asesorisnya, Jenny juga memiliki salon yang tepat berada berdampingan dengan tokonya sendiri.

"Oh ya, siapa namamu? Aku lupa."

"Edo."

"Edo sajakah?"

"Sebenarnya bukan Edo, Ridho Fernando. Tapi dipanggil Edo."

"Oh, Edo. Ayo, angkat kepalamu sedikit," ucap wanita itu, Edo tak punya pilihan selain menurut.

Satu jam kemudian, sebuah mobil sedan datang, Anita keluar dari sana dengan masih memakai baju kerjanya. Dia masuk dengan anggun, seiringan dengan karyawan Jenny yang mengangguk hormat.

"Ah, kau datang tepat waktu, padahal aku berharap kau terlambat." Jenny memeluk Anita sekilas.

"Tak ada kasus terlambat dalam hidupku," sahut Anita membuka kacamatanya.

"Kecuali terlambat menikah." Jenny tertawa.

"Apa bedanya denganmu?"

"Ah, sesama terlambat menikah tak boleh saling ejek."

"Kau duluan, mana anak itu?" Mata Anita menyisir semua penjuru toko Jenny.

"Bukan kejutan namanya kalau dia langsung muncul di depanmu. Ayo berbalik!" Jenny memutar paksa tubuh Anita. Wanita cantik itu cuma mendengus.

"Taraaa," seru Jenny. Anita berbalik, dia memandang Edo dengan penuh penilaian, tatapan puas, sementara Edo terlihat kikuk.

"Tampan, bukan? Dia terlihat lebih dewasa."

Anita mengangguk, dia meletakkan telunjuknya di dagu. Memicingkan mata, seakan mencari cela dari penampilan Edo, tapi dia tak menemukannya.

"Hei, jangan menunduk begitu, kamu tau tidak? Anita tipe orang yang takkan memuji, jika kau menunduk, hasil kerjaku takkan terlihat." Jenny berbicara pada Edo.

"Tunggu, aku ingin dia memakai dasi, seperti pria kantoran."

Jenny tau, Anita takkan pernah berkata sempurna.

"Sebenarnya ada apa? Mau kau bawa ke mana anak ini?" tanya Jenny penasaran.

"Ke hadapan ayahku."

"Apa?" Mata Jenny melotot. "Kau tidak demam, kan?"

"Kapan-kapan aku ceritakan, yang jelas, ini hanya strategi."

"Ah, jangan bilang kau suka padanya."

Anita tertawa remeh.

"Anak ini? Oh ayolah! Dia bukan tipeku."

Edo hanya diam mendengar interaksi dua wanita kaya itu. Ternyata, orang kaya sama saja. Menganggapnya tak punya hati, seolah dia bukan makhluk hidup yang pantas dihargai.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status