Share

7

Dia masih Taksa yang sama, wajah rupawan yang murah senyum. Tak ada yang berubah bahkan setelah sepuluh tahun tak bertemu. Taksa bahkan tak memperlihatkan kerutan di wajahnya, di usia yang hampir menuju akhir tiga puluh.

Sementara, wanita yang berstatus sebagai istri pria itu, telah berubah banyak, tubuh langsingnya telah berubah gendut, walau pun mereka belum juga dikaruniai seorang anak. Anita heran, bagaimana seorang Taksa bisa jatuh cinta pada Irma, yang bahkan menurut Anita hanya wanita kampung biasa yang tak pandai berdandan. Wanita itu tengah sibuk dengan tepung dan bahan-bahan kue lainnya, Irma dan ibu Anita begitu cocok. Sedangkan Anita tengah duduk di ruang tamu dengan Taksa, dan ayahnya.

"Apakah tak ada laki-laki yang mengalahkan gantengnya Mas di kota ini? Sampai saat ini kau belum juga menikah."

Guyonan yang bagi Anita begitu memuakkan. Dia masih Taksa yang sama, menjengkelkan, dan juga ... Taksa yang masih menghadirkan debaran di hatinya.

"Anita wanita yang terlalu pemilih, padahal tak ada lagi yang kurang darinya," sahut ayahnya, pria tua itu begitu gembira dengan kedatangan Taksa.

Taksa menatap lekat Anita yang dari tadi menghindari tatapannya.

"Dia masih Anita yang dulu," sahut Taksa. Anita tak merespon ucapan pria itu, dia bangkit dari duduknya, dia merasa pembicaraan Taksa akan semakin memojokkannya.

Anita memilih untuk naik ke lantai atas, kamarnya, dia lebih baik mengurung diri dari pada berbasa basi dengan pria itu. Sedangkan tadi, dia hanya menghormati perintah ayahnya saja.

Baru saja Anita memejamkan matanya, pintu kamar terbuka. Pria itu, kenapa masih lancang masuk ke dalam kamarnya.

"Seharusnya minta izin dulu sebelum masuk." Anita berkata ketus.

"Ini kamar adikku, apa salahnya?" sahutnya santai, bahkan tak malu meletakkan pantatnya di pinggir ranjang Anita. Anita tak nyaman.

"Mas tau sendiri, kita tak punya pertalian darah."

Taksa tersenyum lebar.

"Apakah memiliki adik itu harus memiliki pertalian darah terlebih dahulu?"

"Mas," ucap Anita menatap Taksa lelah. "Keluarlah! Jangan menimbulkan kesalah pahaman, saat ini, bukan lagi situasi sepuluh tahun yang lalu."

"Jika bukan lagi situasi sepuluh tahun yang lalu, kenapa kau belum juga menikah, An? Seharusnya kau sudah punya anak, aku tak ingin rasa bersalah terus bercokol di hatiku padamu."

Anita berusaha menenangkan jantungnya yang mulai berdetak tak karuan karena emosi.

"Berhenti mencampuri urusanku, bisa?"

***

"Wah, ini enak," puji Ayah Anita. Saat ini, mereka tengah menikmati hasil keterampilan memasak Irma, istri Taksa. Wanita itu betah seharian di dapur, membuat aneka masakan dan cemilan, bahkan untuk makan malam.

Semua orang makan dengan lahap, bahkan ayahnya mengusap keringat di dahinya karena sangat menikmati kepiting saus pedas yang tersaji cantik di meja makan.

Anita belum menyuapkan nasi ke mulutnya, hanya dia satu-satunya orang yang seperti patah selera.

Irma, lihatlah dia, dia telaten melayani Taksa, mulai dari mengambilkan nasi, memasukkan lauk, dan mengambilkan segelas air, apa Irma mencoba untuk memanas-manasinya? Tapi yang Anita tau, wanita itu tidak sejahat itu. Dia terlalu sederhana, tak suka mencampuri urusan orang lain dan bersikap apa adanya.

Anita kembali berpikir, kenapa Taksa bisa jatuh cinta pada Irma, wanita itu bahkan tak memoleskan lipstik ke bibirnya, dia memakai daster rumahan yang Anita tau, harganya sangat murah.

"Nggak makan, An?" sapa ibunya, menyentak lamunan Anita. Sejujurnya, ras lapar sudah surut.

"Ya," sahut Anita mencicit, suaranya memancing perhatian Taksa, pria itu melempar senyum tipis.

Sementara di sudut kota, seorang pria muda duduk di halte sambil memeluk tasnya, di sampingnya duduk seorang gadis kecil berambut panjang memakai jaket biru tua dan rok selutut bewarna hitam. Mereka memutuskan berhenti, setelah mengamen ke berbagai tempat, karena hujan, mereka hanya mendapatkan uang sepuluh ribu, hanya bisa untuk mengganjal perut saat makan malam.

"Bang, setelah ini kita akan pulang ke mana?" tanya gadis kecil itu.

Pria yang tak lain adalah Edo itu mengusap rambut adiknya. Siang tadi, mereka baru saja diusir dari kontrakan kumuh, apa lagi alasannya kalau bukan karena tak mampu membayar sewa.

"Sabar ya, Rin. Kita pikirkan dulu solusinya."

"Sampai kapan kita akan kaya gini, Bang?" Rini melipat kakinya, dia memeluk lututnya kerena kedinginan.

Edo menatapnya terenyuh, dia mungkin bisa bertahan dengan hidup menjadi gelandangan, tapi Rini? Bahkan dia juga putus sekolah, seharusnya dia sudah duduk di kelas enam SD. Sebentar lagi adiknya itu akan menjelma menjadi remaja, kehidupan sebagai pengamen tak baik baginya.

Andai saja, orang tua mereka masih ada, andai saja, mereka punya sanak saudara yang memiliki sifat belas kasih, Edo hanya berandai-andai, dia menengadahkan wajahnya ke atas langit. Memejamkan matanya sejenak, dia ... Rindu ibunya.

"Bu ...." Suara Edo parau, jika menangis, siapa yang akan menenangkannya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Dwi Risyanthi
mn next thor
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status