Share

Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku
Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku
Penulis: Pena_yuni

Bab 1

"Nda ... jangan masuk. Stttt ...." 

Aku mengerutkan kening ke arah Cahaya yang mencegahku untuk masuk ke kamar. Gadis itu menggelengkan kepala dengan jari telunjuk di bibir menyuruhku tidak berisik. 

Tangan yang sudah menempel pada gagang pintu, terpaksa aku tarik dan berdiri tegak di depan gadis lima belas tahun itu. 

"Kenapa, Bunda tidak boleh masuk?" tanyaku kemudian.

"Ayah lagi bobok sama Mama, Nda."

Deg!

Aku tersentak kaget dengan jawaban dari bibir Cahaya. Jantungku berhenti berdetak untuk beberapa detik, hingga akhirnya aku menarik napas panjang seraya menatap daun pintu yang tertutup rapat. 

'Mas Sandi bersama Mawar di dalam kamar?' 

Pikiranku langsung buruk pada dua orang berlainan jenis kelamin yang berstatuskan mantan pasangan itu. 

"Nda, main sama Aya, yuuuuk. Aya, gak ada temannya," ujar Cahaya menarik tanganku dengan wajah imutnya.  

Aku membungkukkan badan, mengusap surai hitam milik gadis itu, lalu menyuruhnya masuk ke dalam kamar pribadinya. Aku meminta Cahaya menggambar sebuah kupu-kupu besar agar dia tidak melihat apa yang seharusnya tidak dia lihat. 

Setelah Cahaya masuk ke dalam kamarnya, aku menyiapkan hati jika nanti apa yang aku lihat memang melukai sanubari. Tidak akan ada penampakan indah, selain kenyataan yang menyakitkan jika aku membuka pintu kamar itu. 

Tidak mungkin, bukan, dua orang dewasa hanya tidur tanpa melakukan apa-apa di dalam sana? Hanya berdua, dan pernah menjadi pasangan suami istri. 

Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya kasar. Dengan satu entakkan tangan aku memutar dan membuka pintu hingga apa yang aku pikirkan akhirnya terjawab. 

"Astaghfirullah ...!" ujarku lantang. 

Dua sejoli yang tengah terlelap dalam satu selimut terlonjak kaget saat mataku menyoroti keduanya. 

Miris. Kedua tubuh itu hanya dibalut selimut, tanpa ada pakaian yang menempel sehelai pun. 

"Ra–ranum!" ucap Mas Sandi terbata. 

"Kurang ajar! Jadi ini yang kalian lakukan jika aku tidak ada di rumah? Ini yang kalian lakukan jika lengah dariku?!" 

Dengan emosi yang memuncak, aku menghampiri kedua manusia tak beradab itu dan menarik selimut yang menutupi tubuh polosnya. 

"Num, aku bisa menjelaskan semuanya. Tolong jangan salah paham!" ujar suamiku.

"Salah paham katamu? Apanya yang salah? Jelas-jelas aku melihat pemandangan yang menjijikkan di sini! Dasar tidak tahu malu, kalian binatang! Bisa-bisanya melakukan perbuatan ini di rumahku!!" Aku berteriak kencang dengan air mata yang bercucuran. 

Pagi tadi Mas Sandi bilang tidak enak badan hingga tidak bisa masuk kerja. Aku yang pagi ini harus rapat di sekolah putriku, terpaksa meninggalkan rumah untuk beberapa jam saja. 

Menyesakkan, saat aku pulang bukan disambut hangat oleh orang-orang di dalam rumah, melainkan disuguhkan kenyataan yang melukai perasaan. 

"Tenang dulu, Num. Tenang," ujar Mas Sandi lagi. 

Mas Sandi berusaha kuat menahan selimut agar tidak terlepas darinya. Aksi tarik menarik antara aku dan suamiku terjadi hingga akhirnya aku berhasil menguasai selimut itu lalu menjatuhkannya kasar ke lantai. 

Nampaklah kulit-kulit hina yang menjijikkan di atas tempat tidurku. Mawar, wanita yang tujuh tahun lalu diceraikan suamiku langsung memunguti pakaiannya. 

Aku tidak tinggal diam. Tanganku langsung menarik rambutnya, menjambaknya dengan sekuat tenaga. 

"Aw, sakit, Ranum! Lepaskan!" Mawar menjerit. 

Namun, aku menulikan telinga. Hatiku jauh lebih sakit dengan apa yang mereka suguhkan padaku. 

"Ranum, hentikan! Kamu menyakiti Mawar!" Mas Sandi yang baru memakai kolor, menghampiri kami berusaha memisahkan aku dari wanita selingkuhannya itu. 

Aku abai akan kata-kata pria yang menikahiku enam tahun yang lalu. Kini tanganku semakin membuat Mawar meringis kesakitan. Aku tidak hanya menarik rambut wanita itu, tapi juga mencakar dadanya yang belum tertutup kain. 

"Ranum berhenti!!"

Plak!

Aku terhuyung ke lantai dengan panas menjalar di pipi bagian kiri. Aku diam, memandang wajah Mas Sandi yang juga terlihat kaget karena berhasil menamparku. 

"Maaf, Sayang ...." Mas Sandi berjongkok hendak meraih tubuhku, tapi aku menepis tangan itu. 

Bukan hanya sakit di pipi, tapi juga di hati. Enam tahun bersama, ini adalah kali pertama Mas Sandi berbuat kasar padaku. Sebelumnya, jangankan menampar, berucap dengan nada tinggi pun tidak ia lakukan. Dan itu di depan wanita yang kini tersenyum miring ke arahku. 

Dadaku semakin bergemuruh, tapi aku tidak bisa melakukan apa-apa. Kekuatanku hilang setelah dengan sadar Mas Sandi menamparku demi untuk melindungi mantan istrinya itu. 

"Ranum, Mas minta maaf. Mas, tidak bermaksud untuk itu, Sayang. Mas, hanya ingin kamu mendengarkan penjelasan dari Mas, dulu." 

"Pergi. Bawa wanita itu pergi dari rumah ini," ucapku dingin seraya mengusap air mata yang meleleh di pipi. 

"Ranum."

"Pergi, kataku. Jangan jelaskan apa pun, jangan berucap apa pun lagi. Sekarang, suruh wanita itu pergi, beserta anaknya."

"Ranum!!" Mas Sandi kembali berteriak saat aku menyinggung tentang anak. 

Dengan sisa tenaga aku berdiri. Melihat wajah kedua manusia terkutuk itu bergantian. Raut kaget terlihat dari keduanya. Mungkin mereka tidak pernah menyangka jika aku akan mengatakan hal tersebut. 

Menyuruh mereka membawa Cahaya buah hati mereka yang tidak seperti anak gadis pada umumnya. Cahaya istimewa, dia anak dari surga yang ditolak ibunya sendiri. Mawar memberikan hak asuh anak pada Mas Sandi setelah tahu jika putrinya tidak bisa tumbuh seperti anak pada umumnya. 

Cahaya, mengidap down syndrome. Di usia yang sudah menginjak lima belas tahun, Cahaya masih berprilaku seperti Shanum adiknya, putriku yang berusia lima tahun. 

"Kamu menyuruh Cahaya pergi dari sini?" ujar Mas Sandi dengan wajah yang memerah. 

"Kurang ajar istrimu ini, Mas. Dia mengusir Aya? Hey, ini rumah Mas Sandi, dan Cahaya lebih berhak berada di sini dibandingkan dirimu dan anakmu. Jika ada yang harus keluar dari sini, itu kamu! Bukan Cahaya!" ujar Mawar bersungut-sungut. 

"Begitu? Baiklah, aku yang akan pergi dari sini. Silahkan rawat anakmu sendiri, tanpa aku." 

Aku langsung melangkah ke luar dari kamar, menyambar kunci mobil yang tadi aku simpan di atas meja ruang tengah. 

Kita lihat saja, siapa yang akan kuat di antara aku dan mereka dalam mengurus Cahaya. Jika sebagai ibu Mawar mampu, kenapa Cahaya harus dia berikan padaku dan ayahnya? 

"Ranum, tunggu! Kita bisa bicarakan ini baik-baik, Sayang. Tolong jangan pergi, Cahaya akan mencarimu!"

Aku tersenyum miring mendengar permintaan Mas Sandi yang berlari menghampiri mobil yang siap pergi. 

Haruskah aku mengabulkan keinginan mereka? 

Komen (8)
goodnovel comment avatar
Helmy Rafisqy Pambudi
mampir kk athor
goodnovel comment avatar
nurdianis
baru baca, lanjut deh
goodnovel comment avatar
Jen Jeje
seru sekali
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status