Share

Bab 2

"Ranum!"

Aku tidak mengindahkan teriakan Mas Sandi. Hatiku terlalu perih untuk mengabulkan permintaan dia. 

Dengan cepat, kulajukan mobil keluar dari pekarangan rumah. Niatku sudah bulat untuk pergi dari rumah Mas Sandi. 

Tidak ada yang harus aku pertahankan di sini. Suami yang aku banggakan, aku rajakan, nyatanya tidak sebaik dalam angan. Dengan tidak memikirkan perasaanku dia tidur dengan mantan istrinya. Bahkan dia sudah berani main tangan melukai fisikku. 

"Allahu Robbi ...," lirihku seraya mengusap pipi yang tadi ditampar Mas Sandi. 

Perpisahan Mas Sandi dan Mawar terjadi saat usia Cahaya masih kecil. Alasan yang aku tahu, Mawar enggan mengurus Cahaya dengan alasan keadaan anak itu tidak seperti anak yang lain. 

Malu, jijik, juga repot dengan sikap dan tingkah laku Cahaya yang kadang selalu menguji kesabaran. 

Saat usia Cahaya sembilan tahun, aku dan Mas Sandi menikah setelah saling mengenal satu tahun lamanya. Aku tidak mempermasalahkan kondisi putrinya, aku bisa menjadi teman Cahaya yang memang membutuhkan kasih sayang seorang ibu pada waktu itu. 

"Tega sekali kamu, Mas." Aku berbicara sendiri seraya mengusap pipi yang basah oleh air mata. 

Dalam pikirku, tidak mungkin Mas Sandi akan berselingkuh. Apalagi dia memiliki putri yang sangat istimewa. Pastilah pikirannya dewasa dan akan selalu meratukan aku yang bisa menerima dia dengan seorang anak down syndrome. 

Namun, aku salah besar. Dia bahkan tidur dengan ibu dari putrinya yang dengan sangat jelas menolak kehadiran Cahaya. 

Miris. Pengorbananku mengurus, menyayangi, bahkan mengajarkan cara bagaimana mengurus diri pada anak yang berkebutuhan khusus, harus dibayar oleh pengkhianatan. 

Aku benar-benar merasa tidak dihargai. 

"Halo," kataku setelah sejak lama ponsel berdering. 

Terpaksa aku harus menghentikan mobil untuk mengangkat panggilan. 

"Bunda ..., kenapa tidak jemput Adek?"

Aku diam beberapa saat, lalu mengusap wajah dengan sangat kasar saat menyadari sesuatu. 

Kualihkan pandangan ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan. Sudah waktunya Shanum pulang sekolah, dan aku melupakan itu. 

"Bunda ...."

"Iya, Sayang. Bunda sedang di jalan, kok. Tunggu, ya Anak Cantik. Em ...." Aku melihat layar ponsel, lalu menempelkannya lagi ke telinga. "Minta ditemani Ibu Guru Safira, sampai Bunda datang, ya?" lanjutku setelah tahu guru siapa yang menelepon. 

Shanum mengiyakan, dan panggilan berkahir. Aku kembali melajukan mobil, memutar arah untuk bisa sampai ke sekolah Taman Kanak-kanak di mana Shanum belajar. 

Tadinya, aku ingin pergi ke rumah orang tuaku. Menyadari ada gadis kecil yang harus aku jemput, mau tidak mau harus putar arah. 

Sesampainya di depan sekolah Shanum, aku disambut wajah cemberut putriku yang duduk bersama Safira, guru sekaligus temanku sendiri.

"Aya, tantrum?" tebak Safira saat aku ikut duduk bersama mereka. 

Aku menggelengkan kepala. 

"Terus?" 

"Aku lupa, tadi sedang ada sedikit—"

"Kenapa pipimu merah? Apa yang terjadi, Ranum?" 

Aku memegang pipi yang tadi ditampar Mas Sandi. Aku tidak menyangka jika tamparan dari pria itu akan berbekas. Bukan pada wajahku, tapi pada hatiku juga. 

Sakit dan perih kini kurasakan kembali. Kejadian di rumah tadi mengingatkan aku akan pengkhianatan mereka. 

Masih terekam jelas bagaimana Mas Sandi murka saat aku melukai mantan istrinya itu. 

"Num ...."

"Ah, ini ... biasalah. Aku seorang ibu dari anak yang luar biasa, bukan? Jadi ... hal seperti ini memang kerap terjadi. Tenang saja, aku sudah bisa memakluminya."

Safira manggut-manggut. 

Sebagai seorang guru yang kesehariannya bersama anak kecil, Safira tahu pasti bagaimana repotnya aku jika Cahaya sedang tantrum. Dia pun selalu menjadi motivator yang memberikan masukan bagaimana aku harus bisa menenangkan Cahaya, tanpa menakuti dan menyakiti. 

"Ya, semangat Ibu Hebat! Kamu memang luar biasa. Anak orang, lho itu."

"Anak aku lah, kan aku yang urus."

Kami tertawa dan bercengkrama beberapa saat menceritakan Shanum yang semakin hari semakin pintar. 

Setiap anak memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Begitu pun dengan Cahaya dan Shanum. 

Meskipun tidak seperti anak-anak yang lain, Cahaya sulit dalam berinteraksi bahkan belajar akademik, tapi tangannya ajaib. Dia pandai menggambar, menuangkan isi pikirannya ke dalam sebuah lukisan. 

Shanum putriku, dia memang anak manis yang cerdas. Dia pun bisa diandalkan jika aku menyuruhnya menemani Cahaya. Dia adik, tapi perannya bisa menjadi kakak yang baik. 

"Bunda, hapenya bunyi, tuh." 

Aku melirik ponsel yang tergeletak di atas dashboard mobil. Dari layarnya, terlihat jika si penelepon adalah Mas Sandi. 

"Biarkan saja, Nak. Mungkin ayah menyuruh kita pulang cepat."

"Tapi, berisik, Bunda. Biar Adek yang angkat."

"Ja—" 

Ucapanku terputus saat Shanum sudah berhasil mengangkat panggilan. 

"Ada, Ayah. Sebentar." Shanum melihat ke arahku, lalu memberikan ponsel untuk aku ambil. 

"Bunda sedang nyetir, Sayang."

"Kata Ayah, kakak nangis nyariin Bunda," ucap anakku polos. 

Aku mengembuskan napas kasar. Sudah aku duga ini akan terjadi. Tapi ... bukankah di rumah ada ibunya? 

Aku mengambil ponsel dari tangan Shanum, lalu mematikan sambungan telepon. Kita lihat, sampai berapa jam dia bisa menenangkan putrinya sendiri.

Beberapa saat perjalanan, aku sudah sampai di depan rumah yang asri dengan tanaman hias di sekelilingnya. Shanum yang menyadari jika kita tidak pulang ke rumah kami, langsung melihatku dengan tatapan bingung. 

"Kok, kita ke sini, Bunda?" 

"Nenek sakit, Sha. Kita jenguk nenek dulu, ya?" ujarku berbohong. 

"Tapi kata Ayah, tadi kakak nangis, Bunda. Kalau kita gak langsung pulang, nanti dia pecahin barang-barang, terus tangannya berdarah. Kakak juga bakalan gigitin jari-jarinya, Bunda. Pulang dulu, nanti ke sini lagi kalau kakak sudah tenang."

Seperti orang linglung, aku hanya diam tanpa melakukan apa-apa. Bingung. Antara harus pulang atau tetap di sini. 

Apa yang dikatakan Shanum memang benar adanya. Tapi, hatiku masih sakit. Teramat sakit untuk memaafkan mereka sekarang. 

Bayangan tubuh mereka yang tanpa busana masih begitu lekat dalam ingatan. Pergulatan panas Mas Sandi dan Mawar menari indah membuatku hilang arah. 

"Bunda ...." Shanum menggoyangkan lenganku. Sementara aku menelungkupkan wajah pada setir mobil. 

Bimbang, aku benar-benar bingung. 

Ponselku kembali berdering. Dan nama Mas Sandi yang ada pada layar ponsel. 

"Ranum, tolong pulang, Sayang. Kali ini saja, kamu dengarkan aku. Cahaya ngamuk, dia mencarimu, Num. Tolong, pulanglah sebentar. Setelah itu, terserah kamu mau ke mana pun. Aku terima keputusan kamu, Num. Tapi, tolong pulang dan tenangkan Cahaya dulu. Aku tidak bisa bicara dengan keadaan dia yang seperti orang kesetanan."

"Kesetanan katamu? Kamu yang kesetanan, Mas. Bukan Cahaya! Kamu setannya!" ujarku geram dengan memukul setir.

Komen (6)
goodnovel comment avatar
Helmy Rafisqy Pambudi
duh kn ada ibunya SM bpknya ya kok malah ranum yg di suruh nenangin anaknya..duh num cuma di jadikan pengasuh cahaya apa ya
goodnovel comment avatar
Cinta Nurohman
jangan mau ransum hajar suami seperti itu
goodnovel comment avatar
Sri Hartati
hajar suami yg begitu.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status