Share

Bab 3

"Ya Allah ...!" Aku berseru saat melihat keadaan rumah yang berantakan. 

Sofa berada bukan pada posisinya. Mainan dan perabotan rumah sudah berserakan di atas lantai. Itu baru di ruang tamu. Semakin aku masuk ke dalam, semakin kacau keadaan rumahku itu. 

"Ranum, kamu pulang?" ujar Mas Sandi menyadari keberadaanku yang memindai seluruh penjuru rumah. 

Ternyata suamiku tidak sendirian. Ada Mama, ibu mertuaku yang duduk bersamanya di sofa ruang tamu yang tidak tentu arah. 

Wanita itu melihat ke arahku, lalu dia berdiri dan mengahmpiri. Aku menyuruh Shanum untuk masuk ke dalam kamarnya sebelum Mama mulai bicara. 

"Mah." Aku mengambil tangan wanita itu, lalu menciumnya. 

"Ada apa dengan kamu, Num?" 

Aku tidak langsung menjawab pertanyaan Mama. Menoleh sebentar pada Mas Sandi yang duduk seraya mengurut kening. 

"Aku ...."

"Hanya gara-gara melihat Sandi tidur berdampingan dengan Mawar, kamu marah hingga enggan pulang?" ujar Mama membuatku tersentak. 

Hanya. Dia bilang hanya? 

Oh, apa mungkin para tersangka itu mengatakan yang tidak-tidak pada ibu mertuaku? 

Kutatap lekat Mas Sandi yang juga tengah menatapku. Dia menunduk, mungkin malu dilihat dengan tajam olehku. 

"Mama, bicara sama kamu, Ranum. Lihat Mama, dan jawab pertanyaan Mama dengan jujur. Benar, kamu tidak mau lagi mengurus Cahaya?" 

"Apa yang Mama dengar dari Mas Sandi, bukanlah cerita yang sebenarnya, Mah. Sebagai seorang wanita, apa Mama akan diam saja, dan mengatakan 'hanya', jika melihat suaminya tidur dengan wanita lain tanpa busana?" 

Mama tersentak kaget. Matanya hampir loncat dengan langsung menoleh pada putranya yang masih menunduk. 

Aku tidak lagi berucap, berjalan melewati Mama saat suara teriakan terdengar dari dalam kamar mandi yang berada dekat dapur. 

Apa mereka mengurung Cahaya? 

"Sandi, benarkah yang dikatakan Ranum?" 

Tidak aku pedulikan Mama yang mungkin mengintrogasi Mas Sandi. Aku lebih mencemaskan Cahaya dibandingkan masalah rumah tanggaku sendiri. 

Setengah berlari aku menghampiri kamar mandi, lalu membukanya. 

"Apa yang kamu lakukan?" ujarku geram ketika melihat Mawar mengguyur kepala Cahaya. 

"Nda ...!" Cahaya merentangkan tangan ke arahku seraya berjalan menggunakan lutut. 

Sedangkan ibu yang melahirkan anak itu, dia berkacak pinggang, kemudian melempar gayung ke bak mandi hingga airnya menciprat ke sembarang arah.

"Aku memandikan dia!"

"Dengan cara seperti itu?" kataku. 

"Lalu harus dengan cara apa? Memohon, bermanis-manis agar dia menurut? Lama! Bukannya nurut, dia malah ngelunjak. Ini akibat kamu memanjakan dia, makanya jadi keras kepala seperti itu! Segede gitu tidak bisa mandi sendiri." Mawar menggerutu seraya menunjuk-nunjuk Cahaya yang kini sudah berada dalam pelukanku. 

Bajuku jadi basah karena gadis itu menempel seperti anak kecil yang ketakutan. Suara tangisnya masih terdengar meskipun tidak sekeras tadi. 

"Apa menurutmu dengan cara memaksa seperti ini bisa membuat dia luluh dan bertekuk lutut padamu? Tidak, Mawar! Kamu menakutinya, kamu menyakiti dia!" 

"Itu karena kamu selalu mengatakan keburukan aku pada dia. Cahaya jadi takut denganku, karena kamu mencuci otaknya!"

Aku menggelengkan kepala menolak tuduhan dia. Justru dengan caranya memperlakukan Cahaya, membuat anak itu semakin enggan diurus oleh ibunya sendiri. 

Mawar keluar dari kamar mandi seraya terus mengomel menyalahkan aku dan Cahaya. Dia tidak sadar diri kenapa putrinya lebih dekat denganku dibandingkan dirinya. 

Seperginya Mawar, aku membujuk Cahaya untuk mandi seorang diri. Dia tidak seperti yang dikatakan Mawar. Cahaya paham, dia tahu bagaimana caranya mandi mengurus tubuhnya. Tapi, harus dengan bahasa halus kita menyuruhnya. Bukan dengan paksaan. 

"Nda ... jangan pergi lagi. Aya jangan ditinggalin," ujar Cahaya saat aku hendak keluar dari kamar mandi. 

"Aya, tadi Bunda jemput adik, Nak. Kalau tidak dijemput, kasihan adik tidak bisa pulang. Sekarang, Kakak Aya mandi dulu, ya? Nanti main lagi sama adik." 

Cahaya mengangguk. Dia mulai melucuti pakaiannya, dan menaruhnya ke ember. Aku pun keluar hendak mengganti pakaian yang sudah basah di bagian depannya. 

Saat hendak ke kamar, aku melihat Mama tengah berbicara pada dua sejoli yang tadi kepergok melakukan dosa olehku. Mereka tidak ada yang berani menjawab. Keduanya menunduk, tidak bersungut-sungut seperti saat bicara denganku tadi. 

Niat hati ingin pulang untuk mengambil pakaian, tapi keadaannya sekarang malah semakin tidak memungkinkan untukku pergi lagi. Mama. Ada Mama yang pastinya akan menentang keputusanku itu. 

"Num, sini." Mama melambaikan tangan saat melihatku hanya berdiri. 

"Ranum, ganti baju dulu, Mah. Basah," kataku langsung menaiki anak tangga. 

"Cahaya mana?!"

Aku membalikkan badan melihat pada wanita mantan istri suamiku yang baru saja bertanya. 

"Mandi. Kenapa, baru tahu jika Cahaya bisa mandi sendiri? Katanya ibunya, kok masalah kecil gitu aja tidak tahu," ucapku seraya berlalu. 

Bisa kulihat dari ujung mata, wajah itu memerah tidak suka. Lalu, salahku di mana? Memang benar begitu, 'kan?

Setelah berganti pakaian, aku duduk merenung di pinggir ranjang. Kupejamkan mata, mengusir bayangan menyakitkan antara suamiku dengan mantan istrinya. Namun, semakin aku menepis bayangan itu, semakin nyata pula menari dalam angan. 

Dadaku sakit, air mataku keluar tanpa aba-aba. Kugenggam erat seprai yang aku duduki, lalu berdiri dan menariknya dengan sekuat tenaga. 

Selimut, seprai, hingga sarung bantal aku lepaskan dari tempatnya. Aku menggulung kain-kain yang menjadi saksi pelepasan dua makhluk tidak beradab itu, lalu melemparnya ke sudut ruangan. 

"Ranum ...."

"Jangan jelaskan apa pun. Aku tidak ingin mendengar apa pun darimu, Mas."

Mas Sandi menutup pintu lalu menguncinya dari dalam. Dia berjalan pelan menghampiri aku yang bersandar pada tembok dekat jendela kaca. 

"Maaf, telah membuatmu kecewa. Tapi, percayalah aku tidak pernah membagi hati dengan dia." 

Aku tersenyum miring mendengar perkataan ngaco pria itu. Tidak mungkin tidak membagi hati, kalau penampakannya pun seperti itu. 

"Tadi, kepalaku teramat sakit dan pusing, aku kira yang datang ke kamar membelai rambutku, itu kamu, Num. Aku tidak tahu itu Mawar, dan—"

"Dan semuanya omong kosong. Tidak mungkin tidak sadar, tidak mungkin tidak melihat sepanjang permainan itu, Mas!"

"Sumpah demi Tuhan, Ranum. Aku tidak tahu sampai akhirnya kamu masuk dan melihat semuanya," ujar Mas Sandi mencoba mendekatiku. 

Aku menghindar. Tidak sudi disentuh oleh pria itu. 

"Percayalah, Num. Aku dijebak, dijebak oleh Mawar."

"Dijebak atau tidak sadar?" tanyaku menatapnya tajam. 

"Tidak sadar dijebak, Num."

"Kamu sadar, Mawar masuk ke kamar ini?" 

"Sadar, Num. Eh, tidak bukan sadar. Maksudku tidak sadar, Ranum."

Aku menyunggingkan senyum mengejek ke arahnya. Perkataan yang keluar dari bibir Mas Sandi tidak seperti yang ada dalam hatinya. Jawabannya tidak konsisten. 

Komen (7)
goodnovel comment avatar
Mary Angel
ishishish... kok bego ya Num... disekolahin emak tu biar pinter... biar ngotak... biar otaknya ga jd barang mahal kalo dijual... soalbya gress ga pernah dipakai.........
goodnovel comment avatar
Mael Julius
kok abis dhina,ditampar malah ngobrol.. goblok2
goodnovel comment avatar
Difa Farhanah
hrsnya hanum lapor polisi tuh bukti tamparan suaminya difisum biar ga gmpg mgeles
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status