"Jujur lebih baik, Mas. Mungkin aku akan mempertimbangkan jika kamu berani untuk berkata jujur."
Aku melirik dia yang kini wajahnya terlihat semakin memucat. Mas Sandi tidak lagi mendekatiku. Dia berjalan menuju tempat tidur, lalu duduk di ujungnya.
Seperti dia, aku pun duduk di sofa yang ada di bawah jendela kaca. Tangan kulipat di perut dengan pandangan masih pada pria yang ada beberapa meter di depanku.
"Aku sudah jujur, Num."
"Tidak. Kamu sedang tidak jujur, Mas. Enam tahun, mampu membuatku mengenali sifat dan sikapmu, Mas. Dan sekarang, kamu sedang berbohong. Menyembunyikan kenyataan dengan alibi yang tidak masuk akal."
Mas Sandi mengembuskan napas kasar. Dia mengusap wajah, lalu menjambak rambut lebatnya dengan sedikit menariknya ke atas.
Dia masih membisu. Matanya melihatku dengan raut wajah sendu. Netra itu memerah seiring dengan kening yang mengkerut menyimpan pemikiran yang mungkin tidak selaras dengan hatinya.
"Mau jujur atau aku mundur?" kataku memancingnya lagi.
"Apa maksudmu, Num? Apa kamu akan benar-benar pergi dari sini? Meninggalkan aku dan Cahaya?" Akhirnya dia berbicara.
"Jujur, Mas. Aku butuh kejujuranmu. Sejak kapan kalian berhubungan di belakangku?" tanyaku menahan gejolak di dada.
Mulut Mas Sandi tertutup rapat. Hanya matanya yang memandang, tapi isi pikirannya melayang entah ke mana.
"Satu minggu, satu bulan, atau ... satu tahun?"
"Hanya tadi saja, Num."
Lagi, aku tersenyum miring.
"Jika hanya tadi, hanya satu kali, tidak mungkin kamu membela dia sampai menghadiahkan tamparan di sini." Aku menunjuk pipi sebelah kiri.
Jika harus jujur, hatiku seperti disayat saat mengatakan ini. Sebenarnya aku tidak sanggup mendengar jika nanti dia menjawab sudah lama bermain api di belakangku.
Namun, aku tahan. Lukaku, sakitku aku buang sejenak untuk mendapatkan sebuah jawaban pasti tentang lama dia berkhianat dariku.
"Aku minta maaf, aku memang salah. Aku mengakui kesalahanku, Num. Tolong maafkan aku," ucap Mas Sandi kemudian.
"Sejak kapan, Mas?" Pertanyaanku masih sama.
"Num."
"Sejak kapan?"
"Aku akan lebih melukai hatimu jika mengatakannya, Num. Sudahlah, aku sudah mengakui kesalahanku, aku sudah minta maaf padamu. Tolong jangan dibahas lagi, kita sudahi semuanya, kita mulai lagi dari awal. Tolong maafkan aku."
Aku memberikan kode untuk dia berhenti berucap. Aku juga menggelengkan kepala saat Mas Sandi hendak berdiri untuk menghampiriku.
"Sejak kapan, kalian berkhianat dariku? Jika ingin semuanya selesai, jawab pertanyaanku yang itu."
Mas Sandi kembali mengusap wajahnya dengan gusar. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan.
"Sa–satu tahun yang lalu."
Aku memejamkan mata menikmati tikaman belati yang menancap sangat dalam ke ulu hati. Rasanya duniaku menggelap, bumi yang kupijak seakan tidak lagi bergerak.
Sakitnya luar biasa. Satu tahun. Satu tahun lamanya dia berkhianat dariku?
Oh, bagus sekali. Pintar sekali mereka bersandiwara selama itu di depanku.
"Maaf." Lagi-lagi kata itu yang keluar dari bibir laki-laki yang selalu kuagungkan.
Aku melengos. Pergi ke luar dari kamar dengan tanpa mengatakan sepatah kata pun. Panggilan Mas Sandi tidak aku indahkan. Memilih pergi untuk bisa melampiaskan rasa sakit yang teramat pedih ini.
Air mata menggenang menutupi pandangan. Segera aku menghapusnya sebelum kaki ini sampai ke tempat tujuan.
"Num."
Aku tidak menjawab panggilan Mama yang sedang bersama Shanum dan Cahaya. Entah apa yang mereka kerjakan, aku tidak ingin tahu. Namun, tak kulihat Mawar bersama mereka.
Pulangkah dia? Aku tidak peduli.
Sampai di kamar paling ujung di lantai satu, aku masuk dan menguncinya dari dalam. Tubuhku merosot seiring dengan air mata yang luruh tak terkendali. Aku memukul, mencengkram baju bagian dada yang teramat sangat sesak ini.
Satu tahun bukan waktu yang sebentar. Satu tahun aku dibohongi oleh orang yang paling aku percaya. Di mana letak kurangku sebagai seorang istri dan ibu, hingga dia tega melakukan ini padaku?
"Apa salahku hingga mereka melakukan ini padaku?" ujarku di sela tangis.
Aku memutar ingatan pada momen-momen satu tahun ke belakang. Tidak ada yang mencurigakan. Mereka begitu pandai merangkai kata mengukir canda di depanku, hingga aku tidak sama sekali mencurigai hubungan mereka.
Bodoh. Mungkin itu kata yang tepat untukku yang menganggap semuanya baik-baik saja. Aku pun selalu membuka pintu lebar-lebar jika Mawar datang ke rumah ini.
Cahaya. Anak itu selalu jadi alasan dan aku justru merasa senang dengan kehadiran wanita itu. Pikirku, Mawar sudah mulai bisa berdamai dengan kenyataan bahwa putrinya istimewa. Harapanku juga besar. Menginginkan Mawar dekat dengan Cahaya, agar aku bisa berbagi tugas dengannya.
Sayangnya, harapanku terlalu tinggi. Kenyataan menyadarkan aku jika kedatangan dia bukan hanya untuk putrinya. Melainkan pada ayahnya yang masih saling memiliki rasa pada diri masing-masing.
"Sakit ...." Aku memeluk lutut menelungkupkan wajah di sana.
Tangis yang kuredam, nyatanya tak mampu kutahan. Aku tersedu, mengeluarkan sakit yang teramat pedih di dalam dada.
"Ranum, ini Mama, Nak. Bisa buka pintunya?"
Aku menggelengkan kepala tanpa bicara. Hanya air mata yang keluar tanpa ingin membuka pintu untuk mertuaku itu.
Mungkin suara tangisku sudah terdengar ke luar hingga membuat Mama mendatangiku ke mari.
"Ranum, buka dulu. Mama mau bicara."
Lagi, Mama mengetuk pintu seraya memintaku mengijinkan dia masuk.
Aku masih pada pendirianku. Ingin sendiri, menikmati kesakitan ini.
"Maafkan Sandi, Num. Sebagai seorang ibu dan wanita, Mama pun kecewa pada dia. Buka pintunya, Sayang. Ijinkan Mama masuk untuk memelukmu."
Lirih, suara Mama terdengar bergetar dari balik pintu. Apakah dia merasakan apa yang aku rasakan? Atau hanya ingin sekedar menenangkanku saja?
Aku tidak sanggup untuk memperlihatkan keadaan ini pada orang lain. Biarlah, biarkan aku sendiri hingga sesak ini mereda.
Tubuhku semakin lemah, kini aku meringkuk masih di bawah pintu yang di luar sana ada wanita tengah menungguku memberikan ijin untuk masuk.
Tangisku semakin pelan, air mataku sudah mulai menghilang. Namun, sakit itu masih tertanam dan mungkin tidak akan pernah hilang.
"Ranum, bangkit, Num." Aku bergumam pada diri sendiri.
"Kamu hanya punya dua pilihan. Memaafkan, atau meninggalkan," kataku lagi masih dengan luka yang sama.
"Di mana akal sehatmu, Sandi? Di mana kewarasanmu saat memutuskan untuk berselingkuh dengan mantan istrimu?"Niat hati ingin masuk ke dalam kamar untuk mengemasi pakaian dan pergi dari rumah ini, harus aku hentikan. Suara Mama yang tengah memarahi Mas Sandi adalah penyebabnya. Aku diam di ambang pintu, mendengarkan alasan apa yang akan diberikan Mas Sandi atas perbuatan busuknya itu. Setelah berpikir berulang kali, menocoba berdamai dengan rasa sakit ini, tapi nyatanya aku tidak bisa. Keluar dari sini adalah pilihanku. Kewarasanku dipertaruhkan jika terus berada dalam satu atap dengan pengkhianat yang pandai bersandiwara."Ranum, sudah melakukan semua yang tidak dilakukan Mawar untukmu. Dia mengurus putrimu dengan sangat baik.""Itulah alasannya, Mah. Ranum terlalu sibuk dengan anak-anak, sehingga dia tidak punya waktu untukku. Yang butuh perhatian bukan hanya Cahaya dan Shanum, tapi aku juga. Aku ingin bermanja dengan istriku, bercerita banyak hal membahas masa depan, bersenda gura
"Aku, akan pulang ke rumah orang tuaku, Mas."Hening. Tidak ada yang berani berkata setelah aku mengatakan keinginanku. Mas Sandi mengembuskan napas kasar, begitu pun denganku yang merasa lega setelah berkata jujur. Aku tidak bisa di sini dengan perasaan seperti ini. Sakitku, kecewaku, akan aku bawa pergi dan menyembuhkannya di tempat lain. Sedalam apa pun rasa cintaku, sebesar apa pun baktiku, tapi jika sudah dikhianati sepertinya perasaan ini tidak akan lagi sama seperti dulu. Pergi, adalah jalanku. "Num, apa tidak ada kesempatan kedua untukku?" tanya Mas Sandi. Saat ini, aku dan Mas Sandi tengah duduk berdua membahas pernikahanku dengannya. Seperti janjiku, anak-anak aku biarkan bermain di kolam plastik di halaman samping rumah. "Kesempatan kedua, itu artinya aku harus siap terluka untuk kedua kalinya. Aku tidak sanggup, Mas. Sakit ini pun belum tahu akan sembuh atau tidak.""Aku janji, Num. Aku tidak akan mengulanginya lagi. Percayalah, aku akan memutuskan hubunganku dengan
Suara gemercik air terdengar saat aku masuk ke kamar utama. Kuhirup udara dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Tujuan utamaku ke sini bukan untuk menanyakan sarapan apa yang diinginkan suamiku, atau minuman apa yang harus aku hidangkan sebagai penghangat perutnya. Melainkan untuk membereskan pakaianku yang akan aku bawa ke rumah Ibu. Aku mengambil koper, membuka lemari, lalu mengambil beberapa pakaian dari dalam sana. Seraya duduk di pinggir ranjang, aku melipat baju yang hendak aku bawa. Sejenak tanganku berhenti bergerak, melihat pada ranjang yang menjadi saksi indahnya malam-malamku bersama pria yang kusebut suami.Namun, kini tempat itu sudah tak indah lagi. Yang ada, hanya bayangan manusia-manusia bej-ad yang masih terekam dalam memori. "Kamu tetap pergi?" Aku mengangkat kepala melihat pada pria yang baru saja keluar dari kamar mandi. Wangi shampo menguar menusuk indera penciumanku. Dia berjalan mendekat, lalu berdiri tepat di depanku. "Dengan cara apa lagi aku membu
"Aku menyukaimu sejak lama, Mbak. Kamu pun tahu itu."Aku mengembuskan napas kasar. Lagi-lagi Soni membahas perasaan dia yang tak terbalaskan. Ini yang membuatku tidak nyaman selalu berhubungan dengan adik iparku itu. Dia menyukaiku, bahkan sejak sebelum aku menikah dengan kakaknya. Bukan maksudku untuk mempermainkan perasaan dia dengan menikahi kakaknya. Namun, ada beberapa hal yang membuatku akhirnya menjatuhkan pilihan pada Mas Sandi kala itu. "Jangan mengada-ada, Soni. Hargai aku sebagai kakak iparmu." "Kurangku di mana, Mbak? Hingga kamu sama sekali tidak percaya dengan perasaan ini. Bahkan sampai sejauh ini, selama pernikahanmu dengan Mas Sandi, tidak pernah sedikit pun rasa cinta ini berkurang dariku." "Hentikan omong kosongmu, Son. Sebaiknya lakukan apa yang semalam aku bahas. Waktumu sampai Shanum pulang dari sekolah. Hanya dua jam dari sekarang," ujarku hendak berdiri untuk menyuruh Shanum bersiap. "Aku sudah memiliki bukti lain tentang perselingkuhan Mas Sandi dan Mb
"Tadi, Kakak disebut gila sama teman-teman, Bunda," adu Shanum sambil menangis. Aku mengambil alih Shanum dari Safira, lalu menenangkan anak itu. Aku memberikan pengertian pada dia untuk tidak mendengarkan apa yang dikatakan teman-temannya. Sebagai guru Shanum, Safira pun ikut membujuk putriku itu agar mau kembali masuk ke dalam kelas karena pelajaran akan segera dimulai. "Yuk, masuk bersama Ibu? Nanti, Ibu akan hukum anak-anak nakal yang sudah membuat Shanum sedih," ujar Safira membujuk. Awalnya Shanum menolak, dia sakit hati dengan olok-olokan teman sekelasnya pada Cahaya. Putriku malah meminta pulang dan tidak mau melanjutkan sekolah. Sebagai ibu, tentu saja aku sedih dengan ungkapan dan tanggapan mereka pada anak istimewa seperti Cahaya. Tidak hanya kali ini saja aku harus mengurut dada menahan rasa nelangsa mendengar kata-kata yang tidak enak tentang anak sambungku itu. Jika anak-anak yang bicara, aku masih maklum. Namun, jika orang dewasa atau orang tua yang bicara, aku ti
Aku terpaku, lidahku kelu tidak mampu berkata-kata setelah Mawar mengatakan keinginannya. Benarkah dia seorang ibu? Di mana letak hati dan pikirannya hingga dengan mudah mengungkapkan itu? "Coba kamu ulang?" kataku ingin mendengarnya lagi. "Iya, kita tukeran anak. Shanum aku yang urus, Cahaya kamu yang bawa.""Gila, kamu!" semprotku mulai emosi. Namun, dia sepertinya tidak terbebani dengan reaksiku. Justru sangat santai seolah-olah itu hal biasa. Anak, dia anggap sebuah barang murah, tidak berharga yang bisa ditukar semuanya. Aku tidak habis pikir dengan wanita itu. Bisa-bisanya mengatakan hal yang merendahkan derajat dia sebagai seorang ibu. Inikah wanita pilihan suamiku yang sudah membuatnya berani mengkhianati pernikahan kami? Wanita yang tidak punya hati, tidak punya perasaan dan tidak punya otak. Wanita miskin kasih sayang. "Ya ... ini memang kedengaran sedikit gila, Ranum. Tapi jika aku perhatikan, kamu lebih cocok jadi ibunya Cahaya, dibandingkan jadi bundanya Shanum."
Cahaya menyimpan kertas itu di pangkuanku, lalu memelukku dengan sayang. "Tapi, pelukan Bunda, hangat. Seperti burung yang memeluk anaknya dengan kedua sayap mereka. Hangat, hangaaat sekali," tutur Cahaya semakin mengeratkan pelukan."Oh, Sayang ...." Aku membalas pelukan Cahaya, mencium ubun-ubunnya beberapa kali. Tidak terasa, air mataku berlinang dan jatuh di kepala anak tiriku ini. Ah, bukan. Dia bukan anak tiri. Dia anak dari surga yang Tuhan kirim untukku. Aku menoleh ke arah bangku yang tadi aku duduki bersama Mawar. Rupanya perempuan itu sudah pergi. Lihatlah, dia bahkan tidak ingin menyapa putrinya yang jelas-jelas ada di sekitar dia. Hatinya beku, perasaannya tertutup kabut kebencian yang tidak bisa menerima kenyataan. Sungguh disayangkan sikap wanita itu. Waktu kepulangan Shanum dari sekolah masih ada satu jam lagi. Aku memutuskan untuk pulang dulu ke rumah melihat Soni yang tidak memberikan kabar. Jangan-jangan dia tidur dan tidak menyelesaikan pekerjaannya? Awas s
Aku menutup wajahku dengan kedua tangan. Meredam sakit yang tidak tertahankan. "Mbak ....""Aku baik-baik saja, Son. Aku tidak apa-apa," ujarku dengan bibir bergetar dan akhirnya pertahananku runtuh seketika. Tangis yang kuredam, tak mampu kutahan. Seiring dengan air mata yang berlinang, suara isak pun keluar membuatku seperti anak kecil yang tersedu di depan makanan. Bagiamana aku bisa menahan gejolak di dalam hati, jika apa yang aku lihat sungguh menyakitkan. Ini lebih sakit dari saat melihat mereka tidur bersama. Foto itu menunjukkan dua sejoli yang sedang melangsungkan pernikahan. Suamiku menikah dengan mantan istrinya, dan aku tidak tahu. Aku dibodohi, aku dibohongi sejauh ini. Ya Tuhan ... di mana aku saat mereka menikah? Ke mana saja aku hingga tak menyadari perubahan sikap Mas Sandi? Allah ... sakit sekali luka ini. "Kapan itu, Son?" tanyaku mencoba tegar dengan melihat pada adik iparku. "Maaf, Mbak. Jika aku tahu akan seperti ini, tidak akan aku memberitahumu tentan