Share

Bab 4

"Jujur lebih baik, Mas. Mungkin aku akan mempertimbangkan jika kamu berani untuk berkata jujur." 

Aku melirik dia yang kini wajahnya terlihat semakin memucat. Mas Sandi tidak lagi mendekatiku. Dia berjalan menuju tempat tidur, lalu duduk di ujungnya. 

Seperti dia, aku pun duduk di sofa yang ada di bawah jendela kaca. Tangan kulipat di perut dengan pandangan masih pada pria yang ada beberapa meter di depanku. 

"Aku sudah jujur, Num."

"Tidak. Kamu sedang tidak jujur, Mas. Enam tahun, mampu membuatku mengenali sifat dan sikapmu, Mas. Dan sekarang, kamu sedang berbohong. Menyembunyikan kenyataan dengan alibi yang tidak masuk akal."

Mas Sandi mengembuskan napas kasar. Dia mengusap wajah, lalu menjambak rambut lebatnya dengan sedikit menariknya ke atas. 

Dia masih membisu. Matanya melihatku dengan raut wajah sendu. Netra itu memerah seiring dengan kening yang mengkerut menyimpan pemikiran yang mungkin tidak selaras dengan hatinya. 

"Mau jujur atau aku mundur?" kataku memancingnya lagi. 

"Apa maksudmu, Num? Apa kamu akan benar-benar pergi dari sini? Meninggalkan aku dan Cahaya?" Akhirnya dia berbicara. 

"Jujur, Mas. Aku butuh kejujuranmu. Sejak kapan kalian berhubungan di belakangku?" tanyaku menahan gejolak di dada.

Mulut Mas Sandi tertutup rapat. Hanya matanya yang memandang, tapi isi pikirannya melayang entah ke mana. 

"Satu minggu, satu bulan, atau ... satu tahun?" 

"Hanya tadi saja, Num."

Lagi, aku tersenyum miring. 

"Jika hanya tadi, hanya satu kali, tidak mungkin kamu membela dia sampai menghadiahkan tamparan di sini." Aku menunjuk pipi sebelah kiri. 

Jika harus jujur, hatiku seperti disayat saat mengatakan ini. Sebenarnya aku tidak sanggup mendengar jika nanti dia menjawab sudah lama bermain api di belakangku. 

Namun, aku tahan. Lukaku, sakitku aku buang sejenak untuk mendapatkan sebuah jawaban pasti tentang lama dia berkhianat dariku. 

"Aku minta maaf, aku memang salah. Aku mengakui kesalahanku, Num. Tolong maafkan aku," ucap Mas Sandi kemudian.

"Sejak kapan, Mas?" Pertanyaanku masih sama.

"Num."

"Sejak kapan?" 

"Aku akan lebih melukai hatimu jika mengatakannya, Num. Sudahlah, aku sudah mengakui kesalahanku, aku sudah minta maaf padamu. Tolong jangan dibahas lagi, kita sudahi semuanya, kita mulai lagi dari awal. Tolong maafkan aku." 

Aku memberikan kode untuk dia berhenti berucap. Aku juga menggelengkan kepala saat Mas Sandi hendak berdiri untuk menghampiriku. 

"Sejak kapan, kalian berkhianat dariku? Jika ingin semuanya selesai, jawab pertanyaanku yang itu."

Mas Sandi kembali mengusap wajahnya dengan gusar. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. 

"Sa–satu tahun yang lalu."

Aku memejamkan mata menikmati tikaman belati yang menancap sangat dalam ke ulu hati. Rasanya duniaku menggelap, bumi yang kupijak seakan tidak lagi bergerak. 

Sakitnya luar biasa. Satu tahun. Satu tahun lamanya dia berkhianat dariku? 

Oh, bagus sekali. Pintar sekali mereka bersandiwara selama itu di depanku. 

"Maaf." Lagi-lagi kata itu yang keluar dari bibir laki-laki yang selalu kuagungkan. 

Aku melengos. Pergi ke luar dari kamar dengan tanpa mengatakan sepatah kata pun. Panggilan Mas Sandi tidak aku indahkan. Memilih pergi untuk bisa melampiaskan rasa sakit yang teramat pedih ini. 

Air mata menggenang menutupi pandangan. Segera aku menghapusnya sebelum kaki ini sampai ke tempat tujuan. 

"Num."

Aku tidak menjawab panggilan Mama yang sedang bersama Shanum dan Cahaya. Entah apa yang mereka kerjakan, aku tidak ingin tahu. Namun, tak kulihat Mawar bersama mereka. 

Pulangkah dia? Aku tidak peduli. 

Sampai di kamar paling ujung di lantai satu, aku masuk dan menguncinya dari dalam. Tubuhku merosot seiring dengan air mata yang luruh tak terkendali. Aku memukul, mencengkram baju bagian dada yang teramat sangat sesak ini. 

Satu tahun bukan waktu yang sebentar. Satu tahun aku dibohongi oleh orang yang paling aku percaya. Di mana letak kurangku sebagai seorang istri dan ibu, hingga dia tega melakukan ini padaku?

"Apa salahku hingga mereka melakukan ini padaku?" ujarku di sela tangis. 

Aku memutar ingatan pada momen-momen satu tahun ke belakang. Tidak ada yang mencurigakan. Mereka begitu pandai merangkai kata mengukir canda di depanku, hingga aku tidak sama sekali mencurigai hubungan mereka. 

Bodoh. Mungkin itu kata yang tepat untukku yang menganggap semuanya baik-baik saja. Aku pun selalu membuka pintu lebar-lebar jika Mawar datang ke rumah ini. 

Cahaya. Anak itu selalu jadi alasan dan aku justru merasa senang dengan kehadiran wanita itu. Pikirku, Mawar sudah mulai bisa berdamai dengan kenyataan bahwa putrinya istimewa. Harapanku juga besar. Menginginkan Mawar dekat dengan Cahaya, agar aku bisa berbagi tugas dengannya. 

Sayangnya, harapanku terlalu tinggi. Kenyataan menyadarkan aku jika kedatangan dia bukan hanya untuk putrinya. Melainkan pada ayahnya yang masih saling memiliki rasa pada diri masing-masing. 

"Sakit ...." Aku memeluk lutut menelungkupkan wajah di sana. 

Tangis yang kuredam, nyatanya tak mampu kutahan. Aku tersedu, mengeluarkan sakit yang teramat pedih di dalam dada. 

"Ranum, ini Mama, Nak. Bisa buka pintunya?" 

Aku menggelengkan kepala tanpa bicara. Hanya air mata yang keluar tanpa ingin membuka pintu untuk mertuaku itu. 

Mungkin suara tangisku sudah terdengar ke luar hingga membuat Mama mendatangiku ke mari. 

"Ranum, buka dulu. Mama mau bicara." 

Lagi, Mama mengetuk pintu seraya memintaku mengijinkan dia masuk. 

Aku masih pada pendirianku. Ingin sendiri, menikmati kesakitan ini. 

"Maafkan Sandi, Num. Sebagai seorang ibu dan wanita, Mama pun kecewa pada dia. Buka pintunya, Sayang. Ijinkan Mama masuk untuk memelukmu."

Lirih, suara Mama terdengar bergetar dari balik pintu. Apakah dia merasakan apa yang aku rasakan? Atau hanya ingin sekedar menenangkanku saja? 

Aku tidak sanggup untuk memperlihatkan keadaan ini pada orang lain. Biarlah, biarkan aku sendiri hingga sesak ini mereda. 

Tubuhku semakin lemah, kini aku meringkuk masih di bawah pintu yang di luar sana ada wanita tengah menungguku memberikan ijin untuk masuk.

Tangisku semakin pelan, air mataku sudah mulai menghilang. Namun, sakit itu masih tertanam dan mungkin tidak akan pernah hilang. 

"Ranum, bangkit, Num." Aku bergumam pada diri sendiri. 

"Kamu hanya punya dua pilihan. Memaafkan, atau meninggalkan," kataku lagi masih dengan luka yang sama. 

Komen (9)
goodnovel comment avatar
D N
tinggalkan saja nun,bawa saja sanum bersama mu
goodnovel comment avatar
istriyangdisyng
suami brengsek. ngapain mau nerima lg mantan istri yg tdk menyanyai anaknya sendiri.
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
ranum terlalu fokus merawat cahaya yg berkebutuhan khusus dan shanum sampai lupa merawat diri sendiri.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status