Share

Bab 5

"Di mana akal sehatmu, Sandi? Di mana kewarasanmu saat memutuskan untuk berselingkuh dengan mantan istrimu?"

Niat hati ingin masuk ke dalam kamar untuk mengemasi pakaian dan pergi dari rumah ini, harus aku hentikan. Suara Mama yang tengah memarahi Mas Sandi adalah penyebabnya. 

Aku diam di ambang pintu, mendengarkan alasan apa yang akan diberikan Mas Sandi atas perbuatan busuknya itu. 

Setelah berpikir berulang kali, menocoba berdamai dengan rasa sakit ini, tapi nyatanya aku tidak bisa. Keluar dari sini adalah pilihanku. Kewarasanku dipertaruhkan jika terus berada dalam satu atap dengan pengkhianat yang pandai bersandiwara.

"Ranum, sudah melakukan semua yang tidak dilakukan Mawar untukmu. Dia mengurus putrimu dengan sangat baik."

"Itulah alasannya, Mah. Ranum terlalu sibuk dengan anak-anak, sehingga dia tidak punya waktu untukku. Yang butuh perhatian bukan hanya Cahaya dan Shanum, tapi aku juga. Aku ingin bermanja dengan istriku, bercerita banyak hal membahas masa depan, bersenda gurau, bermesraan, dan—"

Plak!!

Aku menutup mulut ketika mendengar suara tamparan dari dalam sana. 

Mama memukul putranya? 

"Buka matamu lebar-lebar, Sandi! Kamu ingin diperhatikan, tapi di mana letak perhatianmu pada Ranum? Pernahkah kamu membantu dia dalam mengurus putrimu? Satu, saja. Cahaya. Pernah, kamu membantu menenangkan anak itu ketika sedang tantrum? Pernah, kamu bisa mengendalikan emosi dia ketika suasana hatinya tidak baik? Pernah, kamu membujuk dia makan saat bosan dengan makanannya? Pernah tidak, kamu menunda makanmu, demi untuk membersihkan kotoran dia yang berceceran?!" 

Air mataku luruh ketika Mama menyebutkan semua yang menjadi pekerjaanku di sini. Sedangkan pria yang berada di sana, hanya diam menunduk tak berani menatap lawan bicaranya. 

"Dengan mata kepala Mama sendiri, Mama menyaksikan semua itu ketika Cahaya belum bisa melakukan semuanya sendiri seperti sekarang. Hal yang tidak pernah dilakukan ibu kandungnya!" ujar Mama lagi menekankan kata terakhirnya. 

Mas Sandi masih sama. Dia diam seribu bahasa dengan tidak berani menatap wajah wanita yang telah melahirkannya itu. 

Aku tersenyum kecil mengingat kata-kata Mas Sandi yang menjadi alasan melakukan perselingkuhan dengan Mawar. Demi untuk mendapatkan kehangatan dan kemesraan, dia mengorbankan pernikahannya sendiri. 

Aku bukan tidak punya waktu, hanya saja tidak seleluasa istri yang lainnya. Aku melakukan semua pekerjaan sendiri, dari rumah hingga isi perut semua orang di sini. Aku juga jadi guru bagi Cahaya, setelah guru lesnya berhenti dengan alasan yang tidak jelas. 

"Aku khilaf, Mah." Akhirnya Mas Sandi berucap. 

"Khilaf? Khilaf sampai satu tahun? Astaga Sandi ... apa yang harus Mama katakan pada orang tua Ranum, jika sampai mereka tahu? Malu, Mama, San. Malu dengan kebaikan mereka, dengan keikhlasan mereka yang mengijinkan putri semata wayangnya kamu pinang, sekaligus jadi ibu dari anak yang berkebutuhan khusus. Di luar sana belum tentu ada wanita lajang yang bersedia dinikahi duda dengan anak istimewa seperti Cahaya," ujar Mama terlihat frustrasi. 

Wanita yang usianya sekitar lima puluh tahunan itu mengurut kening dengan sebelah tangan di pinggang. 

Buru-buru aku pergi dari sana setelah kulihat Mama hendak berbalik badan ke arah pintu. Aku turun dari lantai dua, kemudian menghampiri dua anak yang sedang asik dengan dunianya masing-masing. 

Mereka beda ibu, tapi seperti saudara satu kandungan. Teramat dekat, layaknya adik kakak normal pada umumnya. 

"Nda ...." 

Aku mengerjapkan mata saat si sulung memanggil. 

"Kenapa, Kak?" tanyaku menghampiri keduanya yang ternyata sedang mewarnai gambar yang mereka buat masing-masing. 

"Bunda kenapa? Dari tadi di kamar itu terus?" Kini Shanum yang bertanya. 

"Bunda, tidak apa-apa, Sayang. Bunda hanya sedikit kurang anak badan," kataku dengan mengukir senyum. 

Cahaya bangkit dari duduknya, lalu dia menghampiriku dan memelukku dengan erat. Tidak sampai di situ, dia juga menciumi kedua pipiku dengan bergantian. 

"Dik, sini." Cahaya memanggil Shanum, menyuruh adiknya itu melakukan apa yang dia lakukan padaku. 

Bibirku memaksakan tersenyum meskipun hatiku menjerit merasakan sakit. 

Akankah selamanya seperti ini? Ataukah ini yang terakhir? 

"Nda ... laper."

"Oh, ya ampun, kalian belum makan?" kataku memindai dua wajah itu. 

Shanum menggelengkan kepala, sedangkan Cahaya merengut seraya mengusap-usap perutnya. Aku langsung berdiri mengajak kedua putriku untuk pergi ke meja makan. 

Ibu macam apa aku ini yang melupakan jam makan siang mereka? Terlalu sibuk dengan perasaan sendiri sehingga membuatku melupakan tanggung jawab yang sesungguhnya. 

"Num, Mama mau bicara," ujar Mama yang baru saja turun dari lantai dua. Di belakangnya, Mas Sandi mengekor dengan wajah merah akibat tamparan dari Mama. 

"Jangan sekarang, Mah. Aku ingin memberi makan anak-anak dulu." 

Mama mengangguk. Ia pun ikut serta bersama kami ke meja makan. Tak terkecuali dia yang kehadirannya sama sekali tidak aku inginkan. 

Aku menyuruh kedua putriku duduk di tempatnya masing-masing. Memberikan satu piring nasi beserta lauknya. 

Kami makan dalam diam. Ah, tepatnya hanya anak-anak yang makan seraya saling melempar pandang, lalu tersenyum bersamamaan. 

'Apa kamu tidak memikirkan mereka saat memutuskan untuk berselingkuh, Mas?' ujarku bicara dalam hati.

Demi Tuhan, hatiku sakit melihat keakraban mereka. Tidak tega rasanya jika harus memisahkan keduanya jika nanti aku benar-benar mundur dari pernikahan ini. 

Air mata yang hendak keluar, aku tahan. Sebisa mungkin aku tidak boleh menangis di depan mereka. Apalagi di depan Mas Sandi. Aku ingin dia melihatku tanpa air mata meskipun lara sedang melanda. 

"Bunda, nangis? Matanya merah," celetuk Shanum menatapku. 

"Tidak, Sayang. Sambalnya kepedesan, makanya mata Bunda berair." Aku berdusta. 

Tanpa kata, Cahaya berdiri dari duduknya. Dia melewati Shanum yang duduk di sampingku, lalu mencomot sambal yang ada di atas piring makanku. Dia menyimpannya di piring kosong, lalu kembali ke kursinya dan melanjutkan makan. 

Allahu Robbi ... meskipun tanpa berucap, tapi aku tahu maksud anak itu. Dia menyingkirkan sesuatu yang menjadi alasanku tidak nyaman. 

Tidak sampai di situ, Cahaya juga mengambil daging di piring Shanum, lalu memisahkan daging dari tulangnya saat dia melihat adiknya kesulitan. Keduanya lalu tertawa cekikikan setelah Shanum mengucapkan terima kasih memperlihatkan giginya yang ompong di bagian depannya. 

'Tuhan ... jahatkah aku jika memisahkan mereka?' 

Komen (8)
goodnovel comment avatar
Turangga Bunga
Gak . Kamu gak jahat Num Sandi tuh yg jahat
goodnovel comment avatar
Varakh
demi kewarasan sendiri, cere aja
goodnovel comment avatar
Sri Hartati
untuk membuat bahagia orang lain, terkadang kita harus berdarah-darah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status