Share

Bab 6

"Aku, akan pulang ke rumah orang tuaku, Mas."

Hening. Tidak ada yang berani berkata setelah aku mengatakan keinginanku. Mas Sandi mengembuskan napas kasar, begitu pun denganku yang merasa lega setelah berkata jujur. Aku tidak bisa di sini dengan perasaan seperti ini. 

Sakitku, kecewaku, akan aku bawa pergi dan menyembuhkannya di tempat lain. Sedalam apa pun rasa cintaku, sebesar apa pun baktiku, tapi jika sudah dikhianati sepertinya perasaan ini tidak akan lagi sama seperti dulu. 

Pergi, adalah jalanku. 

"Num, apa tidak ada kesempatan kedua untukku?" tanya Mas Sandi. 

Saat ini, aku dan Mas Sandi tengah duduk berdua membahas pernikahanku dengannya. 

Seperti janjiku, anak-anak aku biarkan bermain di kolam plastik di halaman samping rumah. 

"Kesempatan kedua, itu artinya aku harus siap terluka untuk kedua kalinya. Aku tidak sanggup, Mas. Sakit ini pun belum tahu akan sembuh atau tidak."

"Aku janji, Num. Aku tidak akan mengulanginya lagi. Percayalah, aku akan memutuskan hubunganku dengan Mawar, untuk memperbaiki pernikahan kita. Aku tidak ingin pisah darimu, Num. Aku sangat mencintaimu."

"Jika masih ada cinta darimu untukku, tidak akan mungkin kamu bisa membohongiku selama satu tahun lamanya. Tiga ratus enam puluh lima hari kamu mampu menyembunyikannya. Bersikap biasa saja, seolah-olah tidak ada apa-apa dalam pernikahan kita. Sakit, Mas. Sakit sekali di sini." 

Aku menunjuk dada dengan pandangan lurus ke depan. Ke arah dua anak yang bermain saling mencipratkan air dengan tawa lepasnya. 

"Aku minta maaf."

"Akan aku maafkan, tapi tidak sekarang. Butuh waktu untuk mengubur luka ini."

Hening kembali. 

Kali ini tawa kedua anak di sana tidak mampu menjadi pelipur laraku. Justru semakin menambah luka karena berat sekali harus memisahkan keduanya. 

"Aku tidak ingin berpisah, Num."

"Aku akan pergi besok setelah Shanum pulang sekolah," kataku tidak merespon ucapan dia sebelumnya. 

"Cahaya? Tidak mungkin aku akan membawanya ke kantor."

"Kamu bisa menyuruh ibunya datang untuk menjemput, atau tinggal di sini pun sepertinya tidak masalah, bukan? Justru bagus, karena aku tidak akan mengganggu kalian."

"Ranum!" 

"Tidak usah berteriak, Mas. Kita jadi pusat perhatian mereka," kataku dingin seraya melambaikan tangan dengan senyum kepalsuan pada Cahaya dan Shanum yang menoleh setelah Mas Sandi berteriak. 

Pria di sampingku mengusap wajahnya dengan kasar. Dia bangkit dari duduknya seraya berkacak pinggang.

"Aku tidak akan menceraikanmu, Ranum. Sampai kapan pun, kamu akan tetap menjadi istriku," ujarnya lagi. 

"Kita akan bertemu di pengadilan, Mas."

"Heh ...." Mas Sandi melihatku dengan senyum mengejek. "Kamu pikir, pengadilan akan mengabulkan permintaanmu tanpa ada bukti?"

Aku diam menyadari sesuatu. 

Iya, aku tidak punya bukti. Bodohnya aku tidak merekam atau mengambil gambar saat Mas Sandi masih berada dalam tempat tidur bersama Mawar. 

Emosi yang tiba-tiba meledak membuat otakku tidak bisa berpikir sampai sejauh itu. Aku hanya melampiaskan kekesalan dengan menyerang dan memaki mereka, tanpa menyimpan bukti untuk menggugat Mas Sandi ke pengadilan. 

Menyadari kebisuanku, Mas Sandi yang sudah siap pergi pun tak kunjung melangkahkan kaki. Dia membungkukkan badan, berbisik di telingaku dari arah belakang.

"Tetaplah menjadi istri penurut, Ranum. Aku tahu, saat ini kamu sedang dalam keadaan marah. Tenangkan hatimu, dan yakinlah kita akan baik-baik saja."

Dadaku berdebar kencang. Ingin aku menampar wajahnya seperti dia menamparku. Namun, aku tahan. Aku harus tetap bersikap tenang untuk bisa keluar dari masalah ini. 

Bukti. Aku harus bisa menemukan bukti perselingkuhan mereka. Tapi, dari mana? 

'Berpikir, Ranum, ayo berpikir bagaimana untuk mendapatkan bukti tanpa diketahui mereka.' 

Otakku terus bekerja hingga akhirnya aku tahu bagaimana mendapatkan apa yang aku inginkan. Aku akan tetap pergi, namun setelah melakukan sesuatu di rumah ini. 

Siang berganti malam. Shanum sudah tidur di kamarnya. Dan aku, tengah berada bersama Cahaya yang masih terjaga meskipun malam sudah semakin larut. 

"Kak, besok Bunda sama adik mau pergi dulu, Kakak di sini sama nenek dan ayah dulu, ya?" ucapku sangat hati-hati. 

Cahaya yang tengah menyusun fuzzle, langsung melihat ke arahku tanpa bicara. Lama dia menatap hingga membuatku khawatir suasana hatinya akan menjadi buruk. 

"Nenek yang di sana sedang sakit, Kak. Bunda dan adik, harus menengoknya dulu. Jadi, gak apa-apa, ya Bunda tinggal sebentar?" ujarku lagi menjelaskan. 

"Ikut."

Aku berhenti bernapas beberapa detik seraya mencari jawaban yang pas untuk menolak keinginan Cahaya. 

"Besok, Kakak di rumah saja. Ada Om Soni, lho .... Katanya, dia mau ajak Kakak jalan-jalan ke taman, buat lihat kupu-kupu. Kakak mau?" 

"Mauuuu ...!" Cahaya langsung berseru senang dengan senyum yang mengembang. 

"Kalau gitu, ayo sekarang bobok. Kalau tidak bobok, nanti Kakak kesiangan, dan kupu-kupunya pergi karena kepanasan. Sudah dulu, ya gambarnya?" 

Gadis itu mengangguk, lalu membereskan alat lukisnya. Dia naik ke tempat tidur, mengambil penutup mata dan memakainya. 

"Selamat tidur, Kakak," ucapku mengecup keningnya. 

Setelah memastikan dia benar-benar tidur, aku keluar dari kamar Cahaya seraya mematikan lampu. 

Sekarang aku punya pekerjaan baru. Menghubungi Soni, adik iparku untuk datang ke sini esok hari. 

Ah, mudah-mudahan anak petakilan itu mau membantuku kali ini. Setidaknya, sampai aku benar-benar keluar dari rumah ini. 

"Jangan hubungi aku jika bukan aku yang menghubungimu. Aku tidak mau Ranum semakin marah padaku."

Aku yang ingin mengambil air minum, harus terpaksa diam di tempat saat mengetahui ada Mas Sandi di dapur. Sepertinya dia tengah berbincang lewat sambungan telepon dengan seseorang. 

Siapa? Mawar kah? 

Aku mengeluarkan ponsel, berniat untuk merekam percakapan mereka. Meskipun ucapan dari sebrang sana tidak akan terdengar, setidaknya kata-kata Mas Sandi bisa aku jadikan bukti jika benar mereka sedang saling bertukar kabar. 

"Bukan bagitu, aku hanya tidak mau Ranum pergi dari sini. Ini bukan masalah cinta atau tidak, tapi ini masalah pengasuhan Cahaya. Tidak ada yang mampu mengendalikan anak itu selain dia." 

Dadaku bergemuruh saat Mas Sandi membahas Cahaya. Apa di mata dia aku hanyalah pengasuh anaknya itu? 

Benar-benar keterlaluan Mas Sandi. Dia memperalat diriku demi untuk keuntungannya saja. 

"Pokoknya diam dulu sampai nanti Ranum bisa percaya lagi sama aku. Bersabar sedikit, 'kan bisa? Ini masalah waktu. Sudah, ya aku harus kembali ke kamar. Takutnya Ranum akan mencurigaiku," ujar Mas Sandi, lalu tidak aku dengar lagi dia berucap. 

Aku mengurungkan niat untuk pergi ke dapur, lalu memilih kembali ke kamar Cahaya. Malam ini, aku akan tidur di sini bersama anak orang lain yang kuasuh dengan sepenuh hati. 

Sebelum memejamkan mata, tidak lupa aku mengirimkan pesan pada seseorang yang bisa membantuku esok hari. 

[Soni, Mbak butuh bantuanmu besok. Jika tidak sibuk dengan kuliahmu, tolong datang ke rumah.]

[Aku sudah mendengar cerita Mbak dari Mama. Oke, aku datang, tapi tidak ingin pulang dengan tangan kosong.]

Aku berdecak kesal membaca pesan dari anak itu. Selalu seperti itu. Pasti permintaan dia yang bukan-bukan. Dasar labil. 

[Datang saja dulu, tapi tolong rahasiakan kerja sama kita dari Mama dan Mas Sandi. Pliiiiisss ....] Kembali aku mengirimkan pesan dengan emoticon menangkupkan kedua tangan. 

[Siap! Tunggu besok.] 

Aku tersenyum kecil, lalu menyimpan ponsel setelah menghapus semua isi chat-ku dengan adik ipar. Bagaimanapun caranya, aku harus bisa mendapatkan bukti secepatnya. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sri Mulyaningsih
pengen baca terus tp SDH gk ada baca gratis, bonus dikit
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status