Share

Bab 7

Suara gemercik air terdengar saat aku masuk ke kamar utama. Kuhirup udara dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. 

Tujuan utamaku ke sini bukan untuk menanyakan sarapan apa yang diinginkan suamiku, atau minuman apa yang harus aku hidangkan sebagai penghangat perutnya. Melainkan untuk membereskan pakaianku yang akan aku bawa ke rumah Ibu. 

Aku mengambil koper, membuka lemari, lalu mengambil beberapa pakaian dari dalam sana. Seraya duduk di pinggir ranjang, aku melipat baju yang hendak aku bawa. 

Sejenak tanganku berhenti bergerak, melihat pada ranjang yang menjadi saksi indahnya malam-malamku bersama pria yang kusebut suami.

Namun, kini tempat itu sudah tak indah lagi. Yang ada, hanya bayangan manusia-manusia bej-ad yang masih terekam dalam memori. 

"Kamu tetap pergi?" 

Aku mengangkat kepala melihat pada pria yang baru saja keluar dari kamar mandi. Wangi shampo menguar menusuk indera penciumanku. Dia berjalan mendekat, lalu berdiri tepat di depanku. 

"Dengan cara apa lagi aku membujukmu untuk tidak pergi, Num? Sudah tidak adakah rasa cinta di hatimu untukku, hingga yang kamu lihat hanya kesalahanku, saja?"

Aku tidak menjawab. Tanganku meremas kain yang ada dalam genggaman. 

"Lihat aku, Ranum." Mas Sandi mengangkat daguku dengan jari tangannya. 

Kini mataku bersitatap dengan netra hitam miliknya. Aku ingin berpaling, tapi ditahannya hingga sulit bagiku untuk mengakhiri kontak mata ini. 

"Jawab aku, Num. Kamu tidak mencintaiku lagi?" tanyanya kemudian. 

"Tidak. Cintaku hilang dalam satu malam tadi."

"Bohong," sanggah Mas Sandi. "Tidak mungkin secepat itu kamu merubah rasa cinta menjadi benci. Kamu sedang marah, Num. Kamu sedang emosi. Ayolah, jangan kekanak-kanakkan menyikapi masalah ini. Cobalah dewasa dengan bicara saling terbuka."

"Apalagi yang harus dibuka, Mas?!" Aku menyingkirkan tangan Mas Sandi, lalu berdiri menatapnya tajam. Dadaku naik turun menahan gejolak dalam dada yang kian membara. 

"Semuanya sudah terbuka. Kebusukanmu, kecuranganmu, semuanya sudah Allah perlihatkan padaku. Jika kamu mengambil keputusan untuk berkhianat, kenapa aku tidak boleh mengambil keputusan untuk mengakhiri semuanya? Aku sakit, Mas, aku sakit!" ujarku berteriak di depan wajah suamiku. 

Mas Sandi bergeming. Wajah putihnya terlihat memerah dan ditekuk. Dia mencoba mendekatiku, namun aku langsung memberikan isyarat untuk dia tidak melangkahkan kaki ke arahku. 

Aku mengangkat tangan, lalu menggelengkan kepala agar dia tahu aku tidak ingin disentuhnya. 

Lama kami saling diam hingga akhirnya aku keluar terlebih dahulu saat suara Shanum terdengar memanggil. 

"Kenapa, Sha?" tanyaku berjalan cepat menuruni anak tangga. 

"Ada Om Soni di luar, Bunda."

Soni? Sepagi ini dia datang? 

Dasar bocah. 

Aku pun berjalan ke depan untuk membukakan pintu. Ternyata di sana sudah ada Cahaya yang tengah mengintip dari kaca. 

"Ada siapa, Kak?" tanyaku yang langsung disambut senyum lebar oleh Cahaya. 

"Om Oni, Nda," ujarnya menunjuk ke luar. 

Segera aku membuka pintu, dan nampaklah seorang pria dengan tas ransel di punggungnya. Dia tersenyum menyapa kedua putriku satu persatu. 

"Ini terlalu pagi, Son," kataku saat pria itu sudah masuk ke rumah. 

"Sengaja, biar bisa lama di sini."

Aku memalingkan wajah ketika dengan sengaja adik Mas Sandi itu melihatku seraya menaik turunkan alis. 

Sejak aku menikah dengan Mas Sandi, aku dan Soni tidak terlalu akrab. Dia yang petakilan dan semaunya sendiri, membuatku tidak respect sama sekali. 

Dia juga tidak punya malu. Tidak bisa menghormati aku sebagai kakak iparnya, bicara sesuka hati, bahkan pernah menggodaku dengan kata-kata gombalan khas anak jaman sekarang. 

"Son, tumben datang?" Mas Sandi turun dari lantai dua, lalu menghampiri kami yang masih ada di ruang tamu. 

Suamiku itu sudah siap dengan setelan kerjanya. Di tangannya pun sudah ada tas yang menandakan dia memang sudah siap berangkat ke kantor.

Aku tersenyum miring melihat dia yang menurutku terlalu pagi untuk berangkat ke tempat kerja. Namun, aku tidak mau ambil pusing dengan menanyakan langsung pada pria itu. 

Masa bo-doh. Aku tidak ingin mendengar alasan apa pun yang mungkin akan semakin menyakiti diri ini. 

"Aku mau lihat keponakanku, sekaligus liburan," ujar Soni dengan tanpa beban. 

"Liburan gimana, maksudmu?" 

"Ya, liburan, Mas. Gak masuk kelas. Bosen, ketemu dosen mulu. Mendingan ketemu bidadari di sini. Iya, kan ... Cahaya Matahari yang menyilaukan hati," ujar Soni seraya mengusap-usap kepala Cahaya hingga anak itu nyengir ke arah omnya. 

"Jangan bolos terus lah, Son. Mau sampai kapan kamu kuliah? Umur dua lima, sekolah kok, gak kelar-kelar. Gak malu, sama anak-anak seumuranmu yang sudah lulus S2, bahkan mereka sudah memiliki kehidupan yang levelnya lebih tinggi? Menikah, contohnya."

"Aaah ... aku masih mau seperti ini, Mas. Masih mau jadi beban keluarga."

Aku menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah laku Soni yang semakin tidak punya masa depan. 

Beberapa saat mengobrol dengan Soni, Mas Sandi pamit untuk pergi ke kantor. Dia memanfaatkan keberadaan adiknya itu untuk melakukan apa yang biasa aku lakukan saat dia akan pergi bekerja. 

Mencium tangannya meskipun dengan hati yang terpaksa. 

"Pikirkan lagi untuk pergi, Ranum. Jika kamu kekeh minta pisah dariku, aku pastikan hak asuh Shanum akan jatuh ke tanganku."

Tubuhku menegang saat Mas Sandi membisikkan kata-kata di telingaku. 

Itu yang aku takutkan. Berpisah dari Shanum adalah bencana bagiku. Maka dari itu, aku menyuruh Soni datang ke sini dan bekerja untukku.

Aku ingin mendapatkan bukti sebanyak-banyaknya agar bisa melawan Mas Sandi di pengadilan. Bukan mengenai perceraian, tapi mengenai hak asuh anak yang tidak akan aku biarkan jatuh ke tangan Mas Sandi. 

Mengurus Cahaya saja dia tidak bisa, apalagi harus ditambah Shanum. Pasti akan ada yang jadi korban salah satu dari mereka. Akan ada anak yang terabaikan. 

"Mbak."

"Mbak Ranum Khairunnisa!" 

"Berisiklah, teriak-teriak di rumah orang," kataku menyingkirkan wajah Soni yang teramat dekat di telingaku. 

"Mobil Mas Sandi sudah jauh, Mbak masih aja bengong di ambang pintu. Kelihatan banget kecintaannya."

Aku berdecak kesal, lalu duduk di sofa. 

Aku membujuk Cahaya dan Shanum main di ruang tengah, karena aku yang akan bicara penting dengan Soni. 

"Kamu bawa apa yang aku mau, kan?" tanyaku setelah kedua putriku pergi. 

"Ada, dong. Ini." Soni membuka ranselnya, lalu memperlihatkan CCTV mini yang aku mau. 

Iya, sebelum pergi aku akan memasang CCTV di rumah ini. Memantau keadaan rumah dari kejauhan. 

"Bagus. Nanti saat aku mengantar Shanum sekolah, kamu lakukan tugasmu dengan baik. Tenang saja, aku akan membawa Cahaya bersama denganku."

"Tenang, Mbak. Semuanya pasti beres. Lagian ribet amat, Mbak mau cerai, kok pakai beginian. Pisah mah pisah aja, ngapain harus ada bukti perselingkuhan."

Aku menatap tajam pria yang ada di depanku itu. Tapi, sayangnya dia terlalu masa bodoh dengan malah menaik turunkan alis seraya tersenyum menyebalkan. 

"Ini untuk antisipasi. Son, apa kamu benar-benar bisa diandalkan?" tanyaku sedikit ragu. 

Dia adik dari suamiku. Bukan tidak mungkin jika dia berada di pihak kakaknya. 

"Aku memang adiknya Mas Sandi, tapi aku tidak membenarkan perbuatannya. Bukankah aku diuntungkan jika kalian bercerai?"

"Maksudmu?" tanyaku tidak mengerti. 

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Sanur Nur
ini kenapa y komentarnya selalu bgitu
goodnovel comment avatar
Donita Moon
perempuan sapah kayak dia mana ngerti bahasa kamu tu son
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status