"Aku menyukaimu sejak lama, Mbak. Kamu pun tahu itu."
Aku mengembuskan napas kasar. Lagi-lagi Soni membahas perasaan dia yang tak terbalaskan.
Ini yang membuatku tidak nyaman selalu berhubungan dengan adik iparku itu. Dia menyukaiku, bahkan sejak sebelum aku menikah dengan kakaknya.
Bukan maksudku untuk mempermainkan perasaan dia dengan menikahi kakaknya. Namun, ada beberapa hal yang membuatku akhirnya menjatuhkan pilihan pada Mas Sandi kala itu.
"Jangan mengada-ada, Soni. Hargai aku sebagai kakak iparmu."
"Kurangku di mana, Mbak? Hingga kamu sama sekali tidak percaya dengan perasaan ini. Bahkan sampai sejauh ini, selama pernikahanmu dengan Mas Sandi, tidak pernah sedikit pun rasa cinta ini berkurang dariku."
"Hentikan omong kosongmu, Son. Sebaiknya lakukan apa yang semalam aku bahas. Waktumu sampai Shanum pulang dari sekolah. Hanya dua jam dari sekarang," ujarku hendak berdiri untuk menyuruh Shanum bersiap.
"Aku sudah memiliki bukti lain tentang perselingkuhan Mas Sandi dan Mbak Mawar."
Tubuh yang sudah setengah berdiri, kini duduk kembali dengan tatapan lekat pada Soni. Pria itu mengangguk, lalu menepuk-nepuk tasnya.
"Bukti apa, Son?" tanyaku kemudian.
"Ada lah. Dan pastinya akan membuat Mbak kaget luar biasa. Tapi ... aku tidak akan memperlihatkan bukti ini sekarang, karena gak gratis."
"Aku harus bayar?" tanyaku.
"Yes ... bayar."
"Son ...."
"Hanya makan siang saja. Aku ingin Mbak, menemaniku makan, siang ini. Mbak akan mendapatkan apa yang ada di sini, siang ini." Soni mengusap-usap ransel yang berada dalam pangkuannya.
Ingin sekali aku merebut tas itu darinya, tapi tidak akan mudah. Kini, dia bahkan memeluk ransel berwarna hitam itu saat menyadari tatapanku tak lepas dari sana.
"Oke, makan siang," pungkasku akhirnya, lalu beranjak pergi.
Soni kesenangan. Dia sampai bersiul-siul seperti remaja yang tengah dimabuk cinta.
Aku memanggil Shanum, memandikan dia dan menyuruhnya berpakaian. Karena ada Soni, aku jadi tidak repot dengan Cahaya. Anak itu anteng memperlihatkan hasil lukisannya kepada Soni yang pandai membuat Cahaya tertawa.
Soni berekspresi seolah-olah dia kagum dengan gambar-gambar hasil karya Cahaya. Soni juga memotret semua lukisan dengan gaya yang membuat Cahaya tak hentinya tertawa bahagia.
Satu pertanyaan yang ada dalam benakku.
Kenapa, Mas Sandi tidak bisa seperti itu?
Ekspresinya datar ketika Cahaya dengan antusias memperlihatkan gambar yang dia buat. Bahkan bisa dibilang masa bodoh dengan keistimewaan yang anak pertamanya punya.
Di saat aku menginginkan Cahaya belajar di sekolah anak berkebutuhan khusus, Mas Sandi menolak.
"Lebih baik di rumah, tidak sekolah pun tidak apa-apa. Asal bisa mengurus dirinya sendiri, itu sudah cukup," ujarnya kala itu.
Aku bisa apa? Dia ayahnya, memaksa pun rasanya percuma. Dia yang punya kendali di rumah ini. Termasuk masalah keuangan. Aku yang tidak punya penghasilan, harus nurut pada dia yang memberikan nafkah.
"Dah, sekarang ambil tasnya, ya? Bunda mau panggil kakak buat ikut," ujarku pada Shanum setelah selesai menguncir rambutnya.
Gadis kecilku menurut. Aku pun keluar dari kamar Shanum, menghampiri Cahaya yang masih asik dengan gambar-gambarnya.
"Kakak, ikut Bunda antar adik, yuk!"
Cahaya mendongak. Dia melihatku lama tanpa bicara.
"Bunda, mau pergi ke sekolah adik. Kakak, ikut Bunda, ya? Kita jalan-jalan," ulangku lagi sampai akhirnya dia paham dan menganggukkan kepala.
Melihat Shanum keluar dari kamar, Cahaya langsung berdiri dan menghampiri adiknya. Dia tiba-tiba memeluk Shanum, lalu mengusap-usap pucuk kepalanya. Dia juga mengambil tas punggung adiknya, lalu menuntun anak itu ke arah pintu depan.
Sesayang itu Cahaya pada Shanum.
Aku pergi ke atas sebentar untuk mengambil tas dan kunci mobil. Setelahnya, aku segera kembali ke bawah dengan cepat karena takut Cahaya membawa Shanum berjalan ke luar dari pagar rumah.
Ternyata dugaanku salah. Cahaya justru sedang memakaikan sepatu pada adiknya di teras rumah. Sesekali tawa Shanum pecah saat Cahaya menggelitik telapak kakinya yang terbungkus kaus kaki.
"Diam," ujar Cahaya menepuk kaki adiknya.
Shanum menutup mulut, meredam tawa yang akhirnya kembali pecah saat menyadari jika sepatu yang dipakaikan Cahaya terbalik. Kanan ke kiri, dan yang kiri di kaki kanan.
"Kakak, salah ...!"
"Hah, salah?" ujar Cahaya bengong masih menatap pada kedua kaki adiknya.
"Ini di sini, dan yang ini ke sini, Kakak."
Cahaya menggaruk kepalanya seraya manggut-manggut.
Seandainya Mas Sandi tidak berkhianat, mungkin kebersamaan mereka masih akan terus terjadi hingga dewasa. Atau, bahkan sampai tua.
Sedih sekali jika membayangkan perpisahan dengan Cahaya. Waktuku hanya tinggal beberapa jam saja dengan dia. Setelah itu, mungkinkah aku masih bisa jadi ibunya, tapi tidak menjadi istri ayahnya?
Apa Mas Sandi dan Mawar akan mengijinkan jika aku mengadopsi Cahaya?
Ah, ego mereka mungkin tidak akan setuju. Tapi, akan aku coba untuk tetap bisa mendekatkan dua saudara itu.
"Kenapa diam di sini?"
Aku menoleh pada pria yang tiba-tiba muncul di sampingku.
"Tidak apa-apa. Oh, iya ini ponselku. Kamu sambungkan kamera CCTV yang sudah terpasang ke sini. Kamu tahu, kan bagaimana caranya menyembunyikan CCTV agar tidak terlihat?" kataku seraya memberikan benda pipih ke tangan Soni.
"Bisalah. Menyembunyikan luka saja bisa, apalagi menyembunyikan CCTV yang bentuknya lebih kecil dari perasaan."
Aku memutar bola mata malas, lalu meninggalkan Soni yang berdiri menyandarkan punggung pada tembok. Aku memanggil dua anak gadisku, menyuruh mereka segera masuk ke dalam mobil karena akan segera berangkat.
Sepanjang perjalanan, mereka selalu berceloteh dengan riangnya. Bernyanyi, mengobrol dan tertawa semau mereka.
Aku hanya menjadi pendengar yang sesekali ikut tersenyum menikmati keakraban keduanya.
"Hai, Cahaya. Ikut antar adik?" ujar Safira menghampiri kami setelah kami sampai.
"Salim dulu sama Ibu Guru Safira, Kak." Aku memberikan perintah.
Cahaya menurut. Dia mencium takzim tangan Safira, lalu masuk mengantarkan Shanum ke kelasnya.
Sedangkan aku, berdiri di depan gerbang bersama Safira.
"Fir, apa di sini butuh pengajar tambahan?"
Safira menatapku dengan mengerutkan kening. Pastilah dia heran kenapa aku sampai bertanya seperti ini.
Dulu, sebelum menikah dengan Mas Sandi, aku adalah salah satu pengajar di sini. Pertemuanku dan Soni berawal dari sini juga.
"Kamu mau kerja lagi?" Safira balik bertanya.
"Misalkan, ini baru rencana, sih. Seandainya nanti aku butuh pekerjaan, mungkin gak, ya sekolah ini akan menerima aku lagi?" ujarku dengan melipat kedua tangan di perut.
"Aku gak tahu, Num. Tapi ... sepertinya guru-guru pengajar di sini sudah komplit, deh. Emangnya kenapa kamu mau kerja lagi? Jangan bilang suamimu bangkrut, ya? Gak mungkin, deh."
Aku terkekeh, tertawa sumbang.
Belum saatnya aku menceritakan semua tentangku pada Safira. Akan ada masanya, tapi tidak sekarang.
Aku mengalihkan topik pembahasan agar Safira tidak terus bertanya tentang masalah pribadiku. Kami mengenang masa lalu di saat aku masih jadi bagian dari sekolah ini.
Mengingat akan kenangan itu, aku dan Safira tertawa saling melempar canda. Hingga akhirnya, tawaku menghilang ketika Shanum keluar dari kelasnya seraya menangis dengan menuntun Cahaya.
"Kenapa, Sayang?" Safira langsung menghampiri Shanum, dan aku memeluk Cahaya yang ekspresi wajahnya terlihat sendu.
"Tadi, Kakak disebut gila sama teman-teman, Bunda," adu Shanum sambil menangis. Aku mengambil alih Shanum dari Safira, lalu menenangkan anak itu. Aku memberikan pengertian pada dia untuk tidak mendengarkan apa yang dikatakan teman-temannya. Sebagai guru Shanum, Safira pun ikut membujuk putriku itu agar mau kembali masuk ke dalam kelas karena pelajaran akan segera dimulai. "Yuk, masuk bersama Ibu? Nanti, Ibu akan hukum anak-anak nakal yang sudah membuat Shanum sedih," ujar Safira membujuk. Awalnya Shanum menolak, dia sakit hati dengan olok-olokan teman sekelasnya pada Cahaya. Putriku malah meminta pulang dan tidak mau melanjutkan sekolah. Sebagai ibu, tentu saja aku sedih dengan ungkapan dan tanggapan mereka pada anak istimewa seperti Cahaya. Tidak hanya kali ini saja aku harus mengurut dada menahan rasa nelangsa mendengar kata-kata yang tidak enak tentang anak sambungku itu. Jika anak-anak yang bicara, aku masih maklum. Namun, jika orang dewasa atau orang tua yang bicara, aku ti
Aku terpaku, lidahku kelu tidak mampu berkata-kata setelah Mawar mengatakan keinginannya. Benarkah dia seorang ibu? Di mana letak hati dan pikirannya hingga dengan mudah mengungkapkan itu? "Coba kamu ulang?" kataku ingin mendengarnya lagi. "Iya, kita tukeran anak. Shanum aku yang urus, Cahaya kamu yang bawa.""Gila, kamu!" semprotku mulai emosi. Namun, dia sepertinya tidak terbebani dengan reaksiku. Justru sangat santai seolah-olah itu hal biasa. Anak, dia anggap sebuah barang murah, tidak berharga yang bisa ditukar semuanya. Aku tidak habis pikir dengan wanita itu. Bisa-bisanya mengatakan hal yang merendahkan derajat dia sebagai seorang ibu. Inikah wanita pilihan suamiku yang sudah membuatnya berani mengkhianati pernikahan kami? Wanita yang tidak punya hati, tidak punya perasaan dan tidak punya otak. Wanita miskin kasih sayang. "Ya ... ini memang kedengaran sedikit gila, Ranum. Tapi jika aku perhatikan, kamu lebih cocok jadi ibunya Cahaya, dibandingkan jadi bundanya Shanum."
Cahaya menyimpan kertas itu di pangkuanku, lalu memelukku dengan sayang. "Tapi, pelukan Bunda, hangat. Seperti burung yang memeluk anaknya dengan kedua sayap mereka. Hangat, hangaaat sekali," tutur Cahaya semakin mengeratkan pelukan."Oh, Sayang ...." Aku membalas pelukan Cahaya, mencium ubun-ubunnya beberapa kali. Tidak terasa, air mataku berlinang dan jatuh di kepala anak tiriku ini. Ah, bukan. Dia bukan anak tiri. Dia anak dari surga yang Tuhan kirim untukku. Aku menoleh ke arah bangku yang tadi aku duduki bersama Mawar. Rupanya perempuan itu sudah pergi. Lihatlah, dia bahkan tidak ingin menyapa putrinya yang jelas-jelas ada di sekitar dia. Hatinya beku, perasaannya tertutup kabut kebencian yang tidak bisa menerima kenyataan. Sungguh disayangkan sikap wanita itu. Waktu kepulangan Shanum dari sekolah masih ada satu jam lagi. Aku memutuskan untuk pulang dulu ke rumah melihat Soni yang tidak memberikan kabar. Jangan-jangan dia tidur dan tidak menyelesaikan pekerjaannya? Awas s
Aku menutup wajahku dengan kedua tangan. Meredam sakit yang tidak tertahankan. "Mbak ....""Aku baik-baik saja, Son. Aku tidak apa-apa," ujarku dengan bibir bergetar dan akhirnya pertahananku runtuh seketika. Tangis yang kuredam, tak mampu kutahan. Seiring dengan air mata yang berlinang, suara isak pun keluar membuatku seperti anak kecil yang tersedu di depan makanan. Bagiamana aku bisa menahan gejolak di dalam hati, jika apa yang aku lihat sungguh menyakitkan. Ini lebih sakit dari saat melihat mereka tidur bersama. Foto itu menunjukkan dua sejoli yang sedang melangsungkan pernikahan. Suamiku menikah dengan mantan istrinya, dan aku tidak tahu. Aku dibodohi, aku dibohongi sejauh ini. Ya Tuhan ... di mana aku saat mereka menikah? Ke mana saja aku hingga tak menyadari perubahan sikap Mas Sandi? Allah ... sakit sekali luka ini. "Kapan itu, Son?" tanyaku mencoba tegar dengan melihat pada adik iparku. "Maaf, Mbak. Jika aku tahu akan seperti ini, tidak akan aku memberitahumu tentan
Setelah memberikan jawaban yang memuaskan Shanum, aku menyuruhnya masuk ke dalam mobil. Saat dia meminta untuk berganti pakaian, aku tidak mengijinkannya. Pasalnya tidak ada baju dia yang aku tinggalkan di dalam rumah. Dan pasti Shanum akan mempertanyakan kenapa lemarinya kosong, jika aku biarkan dia masuk ke kamarnya.Biarlah, nanti akan aku jelaskan perlahan di rumah ibu dan bapak. Sekarang aku tidak bisa berpikir panjang. Hanya ingin segera pulang ke rumah orang tuaku untuk menenangkan hati dan pikiran. "Mbak, kamu yakin bisa bawa mobil sendiri?" Soni kembali bertanya. "Bisa lah, kamu tenang saja. Aku tidak mungkin menabrakkan mobilku pada tiang listrik. Aku masih waras, kok. Nanti saat sampai rumah ibu, kamu bawa pulang Cahaya, ya? Langsung bawa ke rumah Mama, jangan ke sini. Takutnya Mas Sandi tidak bisa menjaga dia," ujarku panjang lebar. Soni mengerti. Aku pun masuk ke dalam mobil, mulai melajukan kendaraan roda empatku keluar dari pekarangan rumah yang sudah memberikan bany
"Eh ... ada cucuku, rupanya. Kenapa tidak bilang dulu kalau mau datang, Num? Sudah lama di sini?" ujar ibu langsung menghampiri kami yang duduk lesehan di teras rumah. Setelah kepergian Cahaya, aku menelepon ibu karena tidak bisa masuk ke dalam rumah yang terkunci. Tidak berapa lama, ibu dan bapak pun pulang dengan wajah semringah. Bahagia karena dikunjungi cucu yang sudah lama tak datang. "Ranum tidak mau merepotkan ibu, makanya tidak bilang dulu. Baru beberapa menit saja, kok Bu," ujarku mengikuti langkah kaki ibu yang masuk terlebih dahulu. Sedangkan Shanum, dia langsung meminta bapak mengambil joran pancing untuk bisa mendapatkan ikan dari kolam. Dan bapakku tidak bisa menolak keinginan cucunya itu. Di sini, Shanum seperti putri raja yang akan mendapatkan apa pun sesuai permintaannya. "Hanya berdua, Num? Suamimu dan Cahaya tak ikut?" tanya ibu lagi seraya menyimpan gelas berisikan air di depanku. "Tidak, Bu. Mas Sandi kerja, dan Cahaya ... sebenarnya tadi dia ikut, tapi pula
Pukul empat sore hujan masih membasahi bumi. Shanum yang kedinginan serta kelelahan setelah bermain tadi, kini sudah terlelap meringkuk di kamarku semasa gadis. Di sampingnya, aku tengah fokus pada layar ponsel yang menampilkan isi rumah Mas Sandi. Masih sepi. Pemilik rumah masih belum pulang dari tempat kerjanya. Namun, saat aku hendak mematikan layar tersebut, pergerakan mulai terlihat. Seorang pria masuk ke dalam kamar dengan langkah tergesa. "Sepertinya dia sangat kelelahan," ujarku seraya masih melihat layar ponsel. Mas Sandi berjalan ke arah lemari pakaian. Dia membukanya, lalu menutup pintu lemari dengan kasar. Mas Sandi berkacak pinggang seraya memindai seluruh ruangan kamar yang sudah tidak seperti biasanya. Aku, menurunkan seluruh foto kebersamaan kami yang ada di sana, lalu menyimpannya di pojok ruangan. Masih di ruangan yang sama, pria beralis tebal itu merogoh kantong celananya, mengeluarkan ponsel dan ... gawai di sampingku bergetar dengan nama Mas Sandi sebagai or
"Nda ...!" Aku diam di tempat saat Cahaya lari menubruk tubuhku dan memeluknya dengan erat. Sungguh aku tidak menduga jika Soni akan datang ke sini dengan membawa keponakannya itu. Tidak hanya Soni, Cahaya rupanya datang dengan ibu mertuaku. Mama, wanita itu menatapku yang berdiri kaku di ambang pintu. Aku bingung dengan keadaan ini. Apa maksud Mama membawa Cahaya ke sini? Sengajakah dia agar aku tidak bercerai dengan putranya? "Nda .... Aya, mau di sini, sama Bunda, ya?" ucap Cahaya mendongak melihat wajahku. Aku masih bergeming. Hanya tangan ini yang bergerak membelai lembut rambut anak tiriku itu. "Silahkan masuk, Bu Tami, Soni." Bapak mempersilahkan besannya yang masih berada di teras rumah.Ibu dan anak itu masuk, kemudian duduk di sofa ruang tamu. Aku mengusap punggung Cahaya, membawa gadis itu untuk duduk di sampingku. Hening. Suasana menjadi canggung. Aku memperhatikan raut wajah ibu yang terlihat tidak suka melihat keluarga suamiku datang. Dia bahkan tidak tersenyum