Share

Bab 8

"Aku menyukaimu sejak lama, Mbak. Kamu pun tahu itu."

Aku mengembuskan napas kasar. Lagi-lagi Soni membahas perasaan dia yang tak terbalaskan. 

Ini yang membuatku tidak nyaman selalu berhubungan dengan adik iparku itu. Dia menyukaiku, bahkan sejak sebelum aku menikah dengan kakaknya. 

Bukan maksudku untuk mempermainkan perasaan dia dengan menikahi kakaknya. Namun, ada beberapa hal yang membuatku akhirnya menjatuhkan pilihan pada Mas Sandi kala itu. 

"Jangan mengada-ada, Soni. Hargai aku sebagai kakak iparmu." 

"Kurangku di mana, Mbak? Hingga kamu sama sekali tidak percaya dengan perasaan ini. Bahkan sampai sejauh ini, selama pernikahanmu dengan Mas Sandi, tidak pernah sedikit pun rasa cinta ini berkurang dariku." 

"Hentikan omong kosongmu, Son. Sebaiknya lakukan apa yang semalam aku bahas. Waktumu sampai Shanum pulang dari sekolah. Hanya dua jam dari sekarang," ujarku hendak berdiri untuk menyuruh Shanum bersiap. 

 "Aku sudah memiliki bukti lain tentang perselingkuhan Mas Sandi dan Mbak Mawar."

Tubuh yang sudah setengah berdiri, kini duduk kembali dengan tatapan lekat pada Soni. Pria itu mengangguk, lalu menepuk-nepuk tasnya. 

"Bukti apa, Son?" tanyaku kemudian. 

"Ada lah. Dan pastinya akan membuat Mbak kaget luar biasa. Tapi ... aku tidak akan memperlihatkan bukti ini sekarang, karena gak gratis."

"Aku harus bayar?" tanyaku. 

"Yes ... bayar."

"Son ...."

"Hanya makan siang saja. Aku ingin Mbak, menemaniku makan, siang ini. Mbak akan mendapatkan apa yang ada di sini, siang ini." Soni mengusap-usap ransel yang berada dalam pangkuannya. 

Ingin sekali aku merebut tas itu darinya, tapi tidak akan mudah. Kini, dia bahkan memeluk ransel berwarna hitam itu saat menyadari tatapanku tak lepas dari sana.

"Oke, makan siang," pungkasku akhirnya, lalu beranjak pergi. 

Soni kesenangan. Dia sampai bersiul-siul seperti remaja yang tengah dimabuk cinta. 

Aku memanggil Shanum, memandikan dia dan menyuruhnya berpakaian. Karena ada Soni, aku jadi tidak repot dengan Cahaya. Anak itu anteng memperlihatkan hasil lukisannya kepada Soni yang pandai membuat Cahaya tertawa. 

Soni berekspresi seolah-olah dia kagum dengan gambar-gambar hasil karya Cahaya. Soni juga memotret semua lukisan dengan gaya yang membuat Cahaya tak hentinya tertawa bahagia. 

Satu pertanyaan yang ada dalam benakku. 

Kenapa, Mas Sandi tidak bisa seperti itu? 

Ekspresinya datar ketika Cahaya dengan antusias memperlihatkan gambar yang dia buat. Bahkan bisa dibilang masa bodoh dengan keistimewaan yang anak pertamanya punya. 

Di saat aku menginginkan Cahaya belajar di sekolah anak berkebutuhan khusus, Mas Sandi menolak. 

"Lebih baik di rumah, tidak sekolah pun tidak apa-apa. Asal bisa mengurus dirinya sendiri, itu sudah cukup," ujarnya kala itu. 

Aku bisa apa? Dia ayahnya, memaksa pun rasanya percuma. Dia yang punya kendali di rumah ini. Termasuk masalah keuangan. Aku yang tidak punya penghasilan, harus nurut pada dia yang memberikan nafkah. 

"Dah, sekarang ambil tasnya, ya? Bunda mau panggil kakak buat ikut," ujarku pada Shanum setelah selesai menguncir rambutnya. 

Gadis kecilku menurut. Aku pun keluar dari kamar Shanum, menghampiri Cahaya yang masih asik dengan gambar-gambarnya. 

"Kakak, ikut Bunda antar adik, yuk!" 

Cahaya mendongak. Dia melihatku lama tanpa bicara. 

"Bunda, mau pergi ke sekolah adik. Kakak, ikut Bunda, ya? Kita jalan-jalan," ulangku lagi sampai akhirnya dia paham dan menganggukkan kepala. 

Melihat Shanum keluar dari kamar, Cahaya langsung berdiri dan menghampiri adiknya. Dia tiba-tiba memeluk Shanum, lalu mengusap-usap pucuk kepalanya. Dia juga mengambil tas punggung adiknya, lalu menuntun anak itu ke arah pintu depan. 

Sesayang itu Cahaya pada Shanum. 

Aku pergi ke atas sebentar untuk mengambil tas dan kunci mobil. Setelahnya, aku segera kembali ke bawah dengan cepat karena takut Cahaya membawa Shanum berjalan ke luar dari pagar rumah. 

Ternyata dugaanku salah. Cahaya justru sedang memakaikan sepatu pada adiknya di teras rumah. Sesekali tawa Shanum pecah saat Cahaya menggelitik telapak kakinya yang terbungkus kaus kaki.

"Diam," ujar Cahaya menepuk kaki adiknya. 

Shanum menutup mulut, meredam tawa yang akhirnya kembali pecah saat menyadari jika sepatu yang dipakaikan Cahaya terbalik. Kanan ke kiri, dan yang kiri di kaki kanan. 

"Kakak, salah ...!" 

"Hah, salah?" ujar Cahaya bengong masih menatap pada kedua kaki adiknya. 

"Ini di sini, dan yang ini ke sini, Kakak."

Cahaya menggaruk kepalanya seraya manggut-manggut. 

Seandainya Mas Sandi tidak berkhianat, mungkin kebersamaan mereka masih akan terus terjadi hingga dewasa. Atau, bahkan sampai tua. 

Sedih sekali jika membayangkan perpisahan dengan Cahaya. Waktuku hanya tinggal beberapa jam saja dengan dia. Setelah itu, mungkinkah aku masih bisa jadi ibunya, tapi tidak menjadi istri ayahnya? 

Apa Mas Sandi dan Mawar akan mengijinkan jika aku mengadopsi Cahaya? 

Ah, ego mereka mungkin tidak akan setuju. Tapi, akan aku coba untuk tetap bisa mendekatkan dua saudara itu. 

"Kenapa diam di sini?" 

Aku menoleh pada pria yang tiba-tiba muncul di sampingku.

"Tidak apa-apa. Oh, iya ini ponselku. Kamu sambungkan kamera CCTV yang sudah terpasang ke sini. Kamu tahu, kan bagaimana caranya menyembunyikan CCTV agar tidak terlihat?" kataku seraya memberikan benda pipih ke tangan Soni. 

"Bisalah. Menyembunyikan luka saja bisa, apalagi menyembunyikan CCTV yang bentuknya lebih kecil dari perasaan." 

Aku memutar bola mata malas, lalu meninggalkan Soni yang berdiri menyandarkan punggung pada tembok. Aku memanggil dua anak gadisku, menyuruh mereka segera masuk ke dalam mobil karena akan segera berangkat. 

Sepanjang perjalanan, mereka selalu berceloteh dengan riangnya. Bernyanyi, mengobrol dan tertawa semau mereka.

Aku hanya menjadi pendengar yang sesekali ikut tersenyum menikmati keakraban keduanya.

"Hai, Cahaya. Ikut antar adik?" ujar Safira menghampiri kami setelah kami sampai.

"Salim dulu sama Ibu Guru Safira, Kak." Aku memberikan perintah. 

Cahaya menurut. Dia mencium takzim tangan Safira, lalu masuk mengantarkan Shanum ke kelasnya.

Sedangkan aku, berdiri di depan gerbang bersama Safira. 

"Fir, apa di sini butuh pengajar tambahan?" 

Safira menatapku dengan mengerutkan kening. Pastilah dia heran kenapa aku sampai bertanya seperti ini. 

Dulu, sebelum menikah dengan Mas Sandi, aku adalah salah satu pengajar di sini. Pertemuanku dan Soni berawal dari sini juga. 

"Kamu mau kerja lagi?" Safira balik bertanya. 

"Misalkan, ini baru rencana, sih. Seandainya nanti aku butuh pekerjaan, mungkin gak, ya sekolah ini akan menerima aku lagi?" ujarku dengan melipat kedua tangan di perut. 

"Aku gak tahu, Num. Tapi ... sepertinya guru-guru pengajar di sini sudah komplit, deh. Emangnya kenapa kamu mau kerja lagi? Jangan bilang suamimu bangkrut, ya? Gak mungkin, deh."

Aku terkekeh, tertawa sumbang. 

Belum saatnya aku menceritakan semua tentangku pada Safira. Akan ada masanya, tapi tidak sekarang. 

Aku mengalihkan topik pembahasan agar Safira tidak terus bertanya tentang masalah pribadiku. Kami mengenang masa lalu di saat aku masih jadi bagian dari sekolah ini. 

Mengingat akan kenangan itu, aku dan Safira tertawa saling melempar canda. Hingga akhirnya, tawaku menghilang ketika Shanum keluar dari kelasnya seraya menangis dengan menuntun Cahaya. 

"Kenapa, Sayang?" Safira langsung menghampiri Shanum, dan aku memeluk Cahaya yang ekspresi wajahnya terlihat sendu. 

Komen (7)
goodnovel comment avatar
Rita Pardede
bagus ceritanya, tapi mahal betul bacanya
goodnovel comment avatar
Emi Wa Ode
keren ceritanya
goodnovel comment avatar
Lilik Syafriani
cerita nya menarik
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status