Aku terpaku, lidahku kelu tidak mampu berkata-kata setelah Mawar mengatakan keinginannya. Benarkah dia seorang ibu? Di mana letak hati dan pikirannya hingga dengan mudah mengungkapkan itu? "Coba kamu ulang?" kataku ingin mendengarnya lagi. "Iya, kita tukeran anak. Shanum aku yang urus, Cahaya kamu yang bawa.""Gila, kamu!" semprotku mulai emosi. Namun, dia sepertinya tidak terbebani dengan reaksiku. Justru sangat santai seolah-olah itu hal biasa. Anak, dia anggap sebuah barang murah, tidak berharga yang bisa ditukar semuanya. Aku tidak habis pikir dengan wanita itu. Bisa-bisanya mengatakan hal yang merendahkan derajat dia sebagai seorang ibu. Inikah wanita pilihan suamiku yang sudah membuatnya berani mengkhianati pernikahan kami? Wanita yang tidak punya hati, tidak punya perasaan dan tidak punya otak. Wanita miskin kasih sayang. "Ya ... ini memang kedengaran sedikit gila, Ranum. Tapi jika aku perhatikan, kamu lebih cocok jadi ibunya Cahaya, dibandingkan jadi bundanya Shanum."
Cahaya menyimpan kertas itu di pangkuanku, lalu memelukku dengan sayang. "Tapi, pelukan Bunda, hangat. Seperti burung yang memeluk anaknya dengan kedua sayap mereka. Hangat, hangaaat sekali," tutur Cahaya semakin mengeratkan pelukan."Oh, Sayang ...." Aku membalas pelukan Cahaya, mencium ubun-ubunnya beberapa kali. Tidak terasa, air mataku berlinang dan jatuh di kepala anak tiriku ini. Ah, bukan. Dia bukan anak tiri. Dia anak dari surga yang Tuhan kirim untukku. Aku menoleh ke arah bangku yang tadi aku duduki bersama Mawar. Rupanya perempuan itu sudah pergi. Lihatlah, dia bahkan tidak ingin menyapa putrinya yang jelas-jelas ada di sekitar dia. Hatinya beku, perasaannya tertutup kabut kebencian yang tidak bisa menerima kenyataan. Sungguh disayangkan sikap wanita itu. Waktu kepulangan Shanum dari sekolah masih ada satu jam lagi. Aku memutuskan untuk pulang dulu ke rumah melihat Soni yang tidak memberikan kabar. Jangan-jangan dia tidur dan tidak menyelesaikan pekerjaannya? Awas s
Aku menutup wajahku dengan kedua tangan. Meredam sakit yang tidak tertahankan. "Mbak ....""Aku baik-baik saja, Son. Aku tidak apa-apa," ujarku dengan bibir bergetar dan akhirnya pertahananku runtuh seketika. Tangis yang kuredam, tak mampu kutahan. Seiring dengan air mata yang berlinang, suara isak pun keluar membuatku seperti anak kecil yang tersedu di depan makanan. Bagiamana aku bisa menahan gejolak di dalam hati, jika apa yang aku lihat sungguh menyakitkan. Ini lebih sakit dari saat melihat mereka tidur bersama. Foto itu menunjukkan dua sejoli yang sedang melangsungkan pernikahan. Suamiku menikah dengan mantan istrinya, dan aku tidak tahu. Aku dibodohi, aku dibohongi sejauh ini. Ya Tuhan ... di mana aku saat mereka menikah? Ke mana saja aku hingga tak menyadari perubahan sikap Mas Sandi? Allah ... sakit sekali luka ini. "Kapan itu, Son?" tanyaku mencoba tegar dengan melihat pada adik iparku. "Maaf, Mbak. Jika aku tahu akan seperti ini, tidak akan aku memberitahumu tentan
Setelah memberikan jawaban yang memuaskan Shanum, aku menyuruhnya masuk ke dalam mobil. Saat dia meminta untuk berganti pakaian, aku tidak mengijinkannya. Pasalnya tidak ada baju dia yang aku tinggalkan di dalam rumah. Dan pasti Shanum akan mempertanyakan kenapa lemarinya kosong, jika aku biarkan dia masuk ke kamarnya.Biarlah, nanti akan aku jelaskan perlahan di rumah ibu dan bapak. Sekarang aku tidak bisa berpikir panjang. Hanya ingin segera pulang ke rumah orang tuaku untuk menenangkan hati dan pikiran. "Mbak, kamu yakin bisa bawa mobil sendiri?" Soni kembali bertanya. "Bisa lah, kamu tenang saja. Aku tidak mungkin menabrakkan mobilku pada tiang listrik. Aku masih waras, kok. Nanti saat sampai rumah ibu, kamu bawa pulang Cahaya, ya? Langsung bawa ke rumah Mama, jangan ke sini. Takutnya Mas Sandi tidak bisa menjaga dia," ujarku panjang lebar. Soni mengerti. Aku pun masuk ke dalam mobil, mulai melajukan kendaraan roda empatku keluar dari pekarangan rumah yang sudah memberikan bany
"Eh ... ada cucuku, rupanya. Kenapa tidak bilang dulu kalau mau datang, Num? Sudah lama di sini?" ujar ibu langsung menghampiri kami yang duduk lesehan di teras rumah. Setelah kepergian Cahaya, aku menelepon ibu karena tidak bisa masuk ke dalam rumah yang terkunci. Tidak berapa lama, ibu dan bapak pun pulang dengan wajah semringah. Bahagia karena dikunjungi cucu yang sudah lama tak datang. "Ranum tidak mau merepotkan ibu, makanya tidak bilang dulu. Baru beberapa menit saja, kok Bu," ujarku mengikuti langkah kaki ibu yang masuk terlebih dahulu. Sedangkan Shanum, dia langsung meminta bapak mengambil joran pancing untuk bisa mendapatkan ikan dari kolam. Dan bapakku tidak bisa menolak keinginan cucunya itu. Di sini, Shanum seperti putri raja yang akan mendapatkan apa pun sesuai permintaannya. "Hanya berdua, Num? Suamimu dan Cahaya tak ikut?" tanya ibu lagi seraya menyimpan gelas berisikan air di depanku. "Tidak, Bu. Mas Sandi kerja, dan Cahaya ... sebenarnya tadi dia ikut, tapi pula
Pukul empat sore hujan masih membasahi bumi. Shanum yang kedinginan serta kelelahan setelah bermain tadi, kini sudah terlelap meringkuk di kamarku semasa gadis. Di sampingnya, aku tengah fokus pada layar ponsel yang menampilkan isi rumah Mas Sandi. Masih sepi. Pemilik rumah masih belum pulang dari tempat kerjanya. Namun, saat aku hendak mematikan layar tersebut, pergerakan mulai terlihat. Seorang pria masuk ke dalam kamar dengan langkah tergesa. "Sepertinya dia sangat kelelahan," ujarku seraya masih melihat layar ponsel. Mas Sandi berjalan ke arah lemari pakaian. Dia membukanya, lalu menutup pintu lemari dengan kasar. Mas Sandi berkacak pinggang seraya memindai seluruh ruangan kamar yang sudah tidak seperti biasanya. Aku, menurunkan seluruh foto kebersamaan kami yang ada di sana, lalu menyimpannya di pojok ruangan. Masih di ruangan yang sama, pria beralis tebal itu merogoh kantong celananya, mengeluarkan ponsel dan ... gawai di sampingku bergetar dengan nama Mas Sandi sebagai or
"Nda ...!" Aku diam di tempat saat Cahaya lari menubruk tubuhku dan memeluknya dengan erat. Sungguh aku tidak menduga jika Soni akan datang ke sini dengan membawa keponakannya itu. Tidak hanya Soni, Cahaya rupanya datang dengan ibu mertuaku. Mama, wanita itu menatapku yang berdiri kaku di ambang pintu. Aku bingung dengan keadaan ini. Apa maksud Mama membawa Cahaya ke sini? Sengajakah dia agar aku tidak bercerai dengan putranya? "Nda .... Aya, mau di sini, sama Bunda, ya?" ucap Cahaya mendongak melihat wajahku. Aku masih bergeming. Hanya tangan ini yang bergerak membelai lembut rambut anak tiriku itu. "Silahkan masuk, Bu Tami, Soni." Bapak mempersilahkan besannya yang masih berada di teras rumah.Ibu dan anak itu masuk, kemudian duduk di sofa ruang tamu. Aku mengusap punggung Cahaya, membawa gadis itu untuk duduk di sampingku. Hening. Suasana menjadi canggung. Aku memperhatikan raut wajah ibu yang terlihat tidak suka melihat keluarga suamiku datang. Dia bahkan tidak tersenyum
Langit pagi ini begitu sangat cerah. Aku sudah siap untuk pergi ke rumah Mas Sandi dengan membawa Cahaya. Drama terjadi pagi ini saat sedang membujuk Cahaya. Dia tidak mau aku bawa dan ingin ikut dengan ibu yang hendak pergi ke pasar bersama Shanum. "Fir, bisa kita bertemu sekarang? Aku butuh bantuanmu, nih," ujarku menghubungi temanku. "Bisa, Num. Mau ketemu di mana? Kebetulan pagi ini aku sedang joging di taman kota. Kalau aku tunggu kamu di sini, gimana?" "Emmh ... oke, deh. Tunggu, ya? Aku mungkin akan sedikit terlambat, tapi tidak akan terlalu lama, kok.""Siap, aku tungguin." Aku mematikan ponsel, menyimpannya ke dalam tas dan siap untuk menjalankan kendaraan roda empat yang sudah aku panaskan. Di sampingku, Cahaya duduk seraya melipat kedua tangan di perut. Ceritanya dia sedang ngambek karena aku tidak memperbolehkannya ikut dengan Shanum. "Kakak, Kakak marah sama Bunda?" tanyaku yang langsung disambut tidak baik olehnya.Cahaya memalingkan wajah melihat pada kaca pintu