"Cahaya! Kenapa secepat ini kamu pergi, Nak?" "Bangun, Sayang. Ini Nenek datang untukmu, huhuhu ...!"Aku tersenyum masam melihat aktris-aktris yang tengah beradu akting di sana. Pantas saja Mawar pandai sekali bersandiwara, karena ibunya pun sama. Di depan semua orang yang datang memberikan ucapan belasungkawa, mereka menangis seolah-olah merasa sangat kehilangan. Di sini, aku hanya jadi penonton mereka seraya duduk bersandar pada tembok. Air mataku sudah hilang. Kering dan tak lagi turun seperti di rumah sakit tadi. Bukan karena aku sudah tidak sedih, tapi diri ini sedang berdamai dengan takdir. Belajar merelakan meskipun teramat berat. "Bunda ...."Aku menoleh ke samping di mana Shanum duduk di pangkuan ayahnya. Sejak datang bersama Ibu dan Bapak, anak itu tak mau jauh dari Mas Sandi. Sesekali dia mengusap kepala kakaknya yang tertutup kain kafan. "Apa, Nak?" tanyaku. "Kakak, kok tidak bangun-bangun, ya Bunda ...." Aku memaksakan tersenyum, tapi enggan untuk menjawab. Tub
Aku bangun dari dudukku, menghampiri dia dan langsung menghadiahkan tamparan di pipi kanannya. Mama tersentak kaget dengan apa yang aku lakukan ini. Begitu pun dengan Mawar. Dia langsung berteriak memanggil suaminya seraya memegangi pipinya yang sudah memerah. "Ranum, apa-apaan kamu? Kenapa menampar Mawar?" tanya Mas Sandi tidak terima. "Ajarkan istrimu untuk lebih sopan lagi. Kalau perlu, bawa ke pesantren untuk belajar adab dan tatakrama. Menurutmu, apa pantas masuk tanpa ketuk pintu, sedangkan di dalam sini ada orang tua yang tengah bicara serius dengan anaknya? Silahkan kamu tampar aku jika ucapanku salah. Silahkan, Mas." Aku menepuk pipi sebelah kiriku. Dan Mas Sandi hanya bergeming tidak melakukan apa-apa. "Mas, tampar, dong. Dia sudah nampar aku, tadi. Masa, kamu diam saja istrinya ditampar?" ujar Mawar menggoyangkan lengan suaminya. Namun, pria itu hanya diam saja, lalu menarik tangan Mawar keluar dari kamar di mana ada Mama yang masih menanti sebuah penjelasan. Aku me
"Mari, Bu, silahkan ikut kami. Ibu jelaskan di kantor saja," ujar polisi bertubuh tegap tinggi kepada Mawar. "Tunggu, Pak. Sebenarnya istri saya ini salah apa? Kekerasan apa yang dia lakukan, dan pada siapa?" Mas Sandi kembali bertanya. Sedangkan Mawar, wanita sejuta drama itu bersembunyi di balik tubuh suaminya. Dia ketakutan, sampai kakinya ikut bergetar. "Maaf, Pak. Kami tidak bisa menjelaskan di sini. Saya hanya menjalankan perintah untuk membawa Ibu Mawar ke kantor. Ibu Mawar bisa didampingi selama pemeriksaan, Pak." Polisi itu kembali menjelaskan. Mas Sandi menatap istrinya dengan penuh tanda tanya. Namun, Mawar enggan mengangkat kepala melihat pada suaminya itu. Aku masih di sini, bersorak riang dalam hati menyaksikan momen yang tak akan Mawar lupakan selama hidupnya. Apakah aku jahat karena telah mentertawakan wanita itu? Iya. Sekarang aku yang jahat, dan akan menjadi jahat jika berhadapan dengan orang seperti dia. Pak Polisi kembali meminta Mawar untuk ikut dengan mere
Shanum mengangguk. Dia pun merebahkan tubuhnya di sampingku yang kembali melanjutkan mengaji hingga selesai. Kini semua orang sudah pulang ke rumah mereka masing-masing. Hanya ada dua wanita tetangga samping rumah yang berbaik hati ikut membantu membereskan bekas pengajian barusan. "Ibu, terima kasih sudah membantu kami hingga beres. Kami berhutang budi, loh," ujarku setelah semuanya selesai. "Ranum, jangan seperti itu. Sudah seharusnya kami sesama manusia, apalagi tetangga, saling membantu. Apalagi dalam suasana duka seperti ini."Aku mengangguk seraya kembali berterima kasih. "Oh, iya Num. Tadi, kami melihat ada dua mobil polisi yang datang. Terus, sekarang kami tidak melihat Sandi dan istrinya. Apa polisi tadi membawa mereka?" Aku tidak langsung menjawab. Menggaruk tengkuk leher terlebih dahulu yang sebenarnya tidak gatal sama sekali. "Emmhh ... saya tidak bisa jawab, Bu. Takut jadi fitnah, karena belum ada kabar selanjutnya," ujarku akhirnya. Mereka mengangguk-anggukkan kep
"Apa, Mas? Cerai?" ujar Soni.Aku yang sudah hampir masuk ke ruangan di mana putriku berada, harus mengurungkan niat setelah mendengar permintaan Mas Sandi. Soni, balik badan dan menghampiri kakaknya itu. "Iya. Kamu masih kecil, tidak akan mampu jadi kepala keluarga dan ayah dari putriku. Ceraikan Ranum. Biarkan dia bebas mendapatkan laki-laki dewasa yang akan membahagiakannya."Soni tertawa sumbang mendengar permintaan Mas Sandi. "Laki-laki dewasa seperti apa, Mas? Sepertimu, yang hobi selingkuh?""Tutup mulutmu, Soni! Aku khilaf, bukan hobi.""Maaf, Mas. Aku tidak bisa. Aku bukan laki-laki pengumbar talak. Talak sini, talak situ, balik sini, minta balik lagi ke situ. Aku, akan mempertahankan apa yang sudah menjadi milikku."Apa maksud Soni berkata demikian? Apakah dia menganggap pernikahan kami ini sungguh-sungguh? "Sudah, Sandi, Soni, jangan terus berdebat. Mama pusing liat kalian seperti ini," tutur Mama menengahi kedua putranya itu. Mas Sandi mengusap wajahnya dengan kasar.
Kasihan sekali dia. Wajahnya jadi hancur karena terus dipukul. Anehnya, tidak terlihat ada beban darinya. Seperti yang sudah biasa dengan pukulan dan hantaman di tubuh itu. Aku tidak menjawab ucapan Soni. Lebih memilih langsung pergi meninggalkan dia dan Mama. Tubuhku memang lelah sekali. Belum ada istirahat sedikit pun dari pagi hingga malam ini. "Eeeuuh ...." Aku melenguh seraya meregangkan otot-otot tubuh, lalu berbaring di samping Shanum yang sudah tidur sejak tadi. Sepertinya dia pun sama lelahnya. Keributan yang dibuat ayahnya, tidak sama sekali mengganggu tidurnya. Sudah setengah jam aku berada di kamar ini, tapi nyatanya mataku tak bisa terpejam. Banyak sekali bayangan permasalahan hidup yang berkeliaran membuatku sulit untuk pergi ke alam mimpi. Aku bangun. Turun dari ranjang setelah melirik jam yang sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Perlahan, kubuka pintu kamar dan keluar dari sana. Di ruang tengah, Mama tengah tidur ditemani Soni. Aku menoleh ke sebelah kiri.
"Num, aku turut berduka cita atas meninggalnya Cahaya. Maaf, ya aku kemarin gak bisa datang," ujar Safira dengan raut sesalnya."Tidak apa-apa, Fir. Aku tahu, kok kamu ini sibuk. Oh, iya, aku tadi lupa ngabarin kamu, kalau Shanum gak bisa masuk sekolah. Pagi-pagi dia demam, Fir.""Gak apa-apa, jangan dipaksakan. Namanya juga anak-anak."Pagi-pagi sekali aku sudah pulang dari rumah Mas Sandi. Saat sampai di rumah, aku langsung istirahat lagi karena kepala yang pusing kurang tidur. Shanum pun demikian, dia yang demam, tidak aku izinkan sekolah hingga akhirnya Safira datang untuk menanyakan keadaan putriku, sekaligus mengucapkan belasungkawa. "Diminum, Fir," ucapku kemudian. "Makasih, Num. Repot-repot banget kamu ini, padahal aku biasanya juga suka ambil sendiri."Kami tertawa bersama seraya menikmati angin yang berembus pelan membelai dedaunan tanaman hias milik Ibu. Saat ini, kami memang sedang berada di bale-bale samping kolam ikan. Safira meminta duduk di sini karena suka dengan
"Di sini juga, Fir?" "Iya, Van. Kamu ada kepentingan apa datang ke sini?" Pria yang tak lain adalah Devano, menoleh ke arah wanita yang dibawanya. Dan aku masih sangat ingat sekali jika wanita yang bersama Devano, adalah orang yang sama yang telah menyiramku dengan air pel di kafe waktu itu. "Aku datang ke sini mengantar Diandra. Katanya, dia mau ketemu Ranum," ujar Devano menarik tangan wanita bernama Diandra itu. "Kalau gitu, mari kita masuk saja," ucapku mengajak mereka ke rumah. "Ah, tidak usah, Num. Di sini saja, kita tidak akan lama, kok.""Oh ... oke," ujarku lagi seraya kembali duduk setelah tadi sempat berdiri. Aku menggeser tubuh lebih dekat ke sampai Safira. Kemudian mempersilahkan kedua orang yang selalu saling menggenggam tangan itu untuk naik ke bale-bale dan duduk lesehan bersama kami. Safira yang ditemani Shanum, masuk ke dalam rumah untuk membuatkan minuman bagi tamuku ini. Sedangkan aku, masih diam di tempat menunggu apa sekiranya yang akan disampaikan mereka