Kasihan sekali dia. Wajahnya jadi hancur karena terus dipukul. Anehnya, tidak terlihat ada beban darinya. Seperti yang sudah biasa dengan pukulan dan hantaman di tubuh itu. Aku tidak menjawab ucapan Soni. Lebih memilih langsung pergi meninggalkan dia dan Mama. Tubuhku memang lelah sekali. Belum ada istirahat sedikit pun dari pagi hingga malam ini. "Eeeuuh ...." Aku melenguh seraya meregangkan otot-otot tubuh, lalu berbaring di samping Shanum yang sudah tidur sejak tadi. Sepertinya dia pun sama lelahnya. Keributan yang dibuat ayahnya, tidak sama sekali mengganggu tidurnya. Sudah setengah jam aku berada di kamar ini, tapi nyatanya mataku tak bisa terpejam. Banyak sekali bayangan permasalahan hidup yang berkeliaran membuatku sulit untuk pergi ke alam mimpi. Aku bangun. Turun dari ranjang setelah melirik jam yang sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Perlahan, kubuka pintu kamar dan keluar dari sana. Di ruang tengah, Mama tengah tidur ditemani Soni. Aku menoleh ke sebelah kiri.
"Num, aku turut berduka cita atas meninggalnya Cahaya. Maaf, ya aku kemarin gak bisa datang," ujar Safira dengan raut sesalnya."Tidak apa-apa, Fir. Aku tahu, kok kamu ini sibuk. Oh, iya, aku tadi lupa ngabarin kamu, kalau Shanum gak bisa masuk sekolah. Pagi-pagi dia demam, Fir.""Gak apa-apa, jangan dipaksakan. Namanya juga anak-anak."Pagi-pagi sekali aku sudah pulang dari rumah Mas Sandi. Saat sampai di rumah, aku langsung istirahat lagi karena kepala yang pusing kurang tidur. Shanum pun demikian, dia yang demam, tidak aku izinkan sekolah hingga akhirnya Safira datang untuk menanyakan keadaan putriku, sekaligus mengucapkan belasungkawa. "Diminum, Fir," ucapku kemudian. "Makasih, Num. Repot-repot banget kamu ini, padahal aku biasanya juga suka ambil sendiri."Kami tertawa bersama seraya menikmati angin yang berembus pelan membelai dedaunan tanaman hias milik Ibu. Saat ini, kami memang sedang berada di bale-bale samping kolam ikan. Safira meminta duduk di sini karena suka dengan
"Di sini juga, Fir?" "Iya, Van. Kamu ada kepentingan apa datang ke sini?" Pria yang tak lain adalah Devano, menoleh ke arah wanita yang dibawanya. Dan aku masih sangat ingat sekali jika wanita yang bersama Devano, adalah orang yang sama yang telah menyiramku dengan air pel di kafe waktu itu. "Aku datang ke sini mengantar Diandra. Katanya, dia mau ketemu Ranum," ujar Devano menarik tangan wanita bernama Diandra itu. "Kalau gitu, mari kita masuk saja," ucapku mengajak mereka ke rumah. "Ah, tidak usah, Num. Di sini saja, kita tidak akan lama, kok.""Oh ... oke," ujarku lagi seraya kembali duduk setelah tadi sempat berdiri. Aku menggeser tubuh lebih dekat ke sampai Safira. Kemudian mempersilahkan kedua orang yang selalu saling menggenggam tangan itu untuk naik ke bale-bale dan duduk lesehan bersama kami. Safira yang ditemani Shanum, masuk ke dalam rumah untuk membuatkan minuman bagi tamuku ini. Sedangkan aku, masih diam di tempat menunggu apa sekiranya yang akan disampaikan mereka
"Coba, Mbak perhatikan. Laki-laki ini, datang ke toko kue Umi Marwah. Setelah mendapatkan dua wadah brownies lumer, dia pergi. Namun, selang beberapa menit, dia balik lagi. Membawa satu wadah brownies, lalu memberikan kepada karyawan toko kue Umi Marwah. Dan si wanita itu yang ngasih brownies itu ke Mbak, 'kan?"Aku tidak menjawab pertanyaan Soni. Mata ini masih fokus pada rekaman CCTV yang sudah dia copy ke laptopnya. Yang jadi pertanyaan, siapa laki-laki yang ada di rekaman itu? "Kamu dapat rekaman ini dari mana, Son?" tanyaku akhirnya. "Dari toko pakaian di sebrang toko kue Umi Marwah."Aku manggut-manggut. Sekali lagi, aku memperhatikan laki-laki yang berperan sebagai aktor di rekaman itu, tapi belum ada jawaban mengenai siapa dia. Aku pun belum tahu motifnya apa. Benarkah seperti dugaanku, kalau dia juga suruhan Mawar? "Menurut Mbak, siapa pria itu?" "Aku tidak tahu. Wajahnya ditutup masker, jadi menyulitkanku untuk mengenalinya. Bisa juga aku tidak pernah kenal dia sebelu
Aku sampai mengembuskan napas kasar dengan perdebatan mereka. Ibu dan Bapak selalu beda pendapat masalah Soni. Dan aku, tidak bisa menengahi keduanya. Aku memilih melipat pakaian yang baru saja diangkat sambil menikmati pertunjukan di depan mata. Untungnya Shanum sedang berada di kamar bermain dengan boneka yang waktu itu diberikan Soni. Jika ada di sini, tercemarlah pikiran anakku itu. "Pak, dengarkan Ibu, yah. Si Soni itu, masih labil. Dia belum dewasa, belum mapan seperti Sandi. Coba, Bapak lihat sendiri, jangankan tempat tinggal, pekerjaan saja dia tidak punya," tutur Ibu lagi semakin menyudutkan Soni. "Percuma mapan, percuma dewasa, tapi ternyata suka mendua. Ya, macam si Sandi itu. Emangnya, Ibu mau Ranum kembali sama Sandi?" "Ya, jangan sama Sandi, juga, Pak. Emangnya di muka bumi ini laki-laki cuma ada dia? Tuh, si Devano juga sudah mapan dan tampan. Kenapa, kamu tidak sama dia saja, Num?" "Vano sudah punya istri, Bu. Tadi siang, dia datang ke sini bersama istrinya."Ibu
Esok harinya, aku pergi ke ruko. Meskipun tatapan tidak mengenakan aku dapat dari beberapa orang yang aku temui, tapi tidak menyurutkan niatku untuk tetap melanjutkan apa yang telah aku mulai. Aku harus punya usaha, untukku dan Shanum ke depannya. Nafkah dari Soni? Ah, aku tidak menganggap itu nafkah. Itu sekedar hadiah dari seorang paman pada keponakannya. Uang yang semalam Soni berikan padaku, aku simpan di celengan Shanum. Jumlahnya memang lumayan, meskipun recehan. "Ranum, mau lanjut buka toko?" Aku menoleh ke arah pintu ruko. Di sana seorang pria dengan perut buncit berdiri berkacak pinggang. "Iya, Pak Aji. Bismillah saja, mudah-mudahan masih ada yang percaya sama saya," ujarku dengan senyum hambar. "Iyalah, Num. Anggap saja kecelakaan waktu itu, sebagai ujian yang akan menaikan derajatmu. Dan Pak Aji, sebagai teman bapakmu yang sudah mengenal kamu lama, percaya sama kamu. Kamu bukan wanita murahan. Kalau dipikir pake logika, kenapa harus di sini, di ruko yang masih kotor
"Iya, Umi," jawabku pasti, tapi yang ditunjuk menunduk dalam. "Biarkan Tiara di sini, yang lainnya kembali ke belakang." Umi Marwah memberikan perintah. Pemilik toko kue itu menyuruh karyawannya duduk, dan menceritakan apa yang terjadi sebelum kejadian penggerebekan itu. "Saya, memang memberikan brownies itu pada Mbak ini, Umi. Tapi ... disuruh orang," ucap wanita muda itu sambil menunduk. "Jangan takut, Mbak. Saya, tidak akan menuntut Mbak, asalkan Mbak mau bicara jujur sama saya. Silahkan, ceritakan." Aku mengusap pundak wanita yang terlihat ketakutan itu. Dalam rekaman CCTV pun, aku melihat jika dia hanyalah disuruh. Tapi, aku ingin mendengarnya langsung dan merekam kata-kata dia untuk dijadikan bukti. "Waktu itu, saya melayani pelanggan laki-laki muda. Dia membeli dua brownies lumer cokelat. Transaksi terjadi seperti biasanya. Dia pun pergi, setelah menerima dua wadah kue, beserta uang kembalian. Tidak berapa lama, dia kembali lagi ke sini dan menyuruh saya memberikan satu w
"Ranum, sekarang semuanya sudah jelas. Jelas siapa yang salah, jelas pelakunya, dan jelas-jelas kamu dijebak. Jadi, akhiri pernikahan kalian," ujar Ibu seraya melihatku dan Soni bergantian. Setelah dari kantor polisi, aku kembali ke ruko yang ternyata sudah beres dibersihkan. Sudah dicat dengan warna yang kuinginkan, meskipun hanya bagian bawahnya saja. Dan sekarang, lagi-lagi Ibu memintaku memutuskan pernikahan yang terjadi antara aku dan Soni. Aku diam. Tidak bisa memutuskan apa yang harus aku lakukan. "Bu .... Astaghfirullahaladzim, Ibu!" ujar Bapak seraya menyimpan sendok dengan lumayan kasar pada kotak nasi yang berada di depannya. Saat ini, kami memang sedang makan siang. Namun, suasana menjadi tidak nyaman ketika Ibu berucap demikian. Apalagi wajah Soni yang berubah murung dengan tidak lagi melanjutkan suapannya. Rasa bersalah menyelusup ke dalam sanubari pada lelaki itu. Pasalnya, tadi dia terlihat begitu lahap makan setelah bekerja keras membantu Bapak mengecat ulang di