Aku sampai mengembuskan napas kasar dengan perdebatan mereka. Ibu dan Bapak selalu beda pendapat masalah Soni. Dan aku, tidak bisa menengahi keduanya. Aku memilih melipat pakaian yang baru saja diangkat sambil menikmati pertunjukan di depan mata. Untungnya Shanum sedang berada di kamar bermain dengan boneka yang waktu itu diberikan Soni. Jika ada di sini, tercemarlah pikiran anakku itu. "Pak, dengarkan Ibu, yah. Si Soni itu, masih labil. Dia belum dewasa, belum mapan seperti Sandi. Coba, Bapak lihat sendiri, jangankan tempat tinggal, pekerjaan saja dia tidak punya," tutur Ibu lagi semakin menyudutkan Soni. "Percuma mapan, percuma dewasa, tapi ternyata suka mendua. Ya, macam si Sandi itu. Emangnya, Ibu mau Ranum kembali sama Sandi?" "Ya, jangan sama Sandi, juga, Pak. Emangnya di muka bumi ini laki-laki cuma ada dia? Tuh, si Devano juga sudah mapan dan tampan. Kenapa, kamu tidak sama dia saja, Num?" "Vano sudah punya istri, Bu. Tadi siang, dia datang ke sini bersama istrinya."Ibu
Esok harinya, aku pergi ke ruko. Meskipun tatapan tidak mengenakan aku dapat dari beberapa orang yang aku temui, tapi tidak menyurutkan niatku untuk tetap melanjutkan apa yang telah aku mulai. Aku harus punya usaha, untukku dan Shanum ke depannya. Nafkah dari Soni? Ah, aku tidak menganggap itu nafkah. Itu sekedar hadiah dari seorang paman pada keponakannya. Uang yang semalam Soni berikan padaku, aku simpan di celengan Shanum. Jumlahnya memang lumayan, meskipun recehan. "Ranum, mau lanjut buka toko?" Aku menoleh ke arah pintu ruko. Di sana seorang pria dengan perut buncit berdiri berkacak pinggang. "Iya, Pak Aji. Bismillah saja, mudah-mudahan masih ada yang percaya sama saya," ujarku dengan senyum hambar. "Iyalah, Num. Anggap saja kecelakaan waktu itu, sebagai ujian yang akan menaikan derajatmu. Dan Pak Aji, sebagai teman bapakmu yang sudah mengenal kamu lama, percaya sama kamu. Kamu bukan wanita murahan. Kalau dipikir pake logika, kenapa harus di sini, di ruko yang masih kotor
"Iya, Umi," jawabku pasti, tapi yang ditunjuk menunduk dalam. "Biarkan Tiara di sini, yang lainnya kembali ke belakang." Umi Marwah memberikan perintah. Pemilik toko kue itu menyuruh karyawannya duduk, dan menceritakan apa yang terjadi sebelum kejadian penggerebekan itu. "Saya, memang memberikan brownies itu pada Mbak ini, Umi. Tapi ... disuruh orang," ucap wanita muda itu sambil menunduk. "Jangan takut, Mbak. Saya, tidak akan menuntut Mbak, asalkan Mbak mau bicara jujur sama saya. Silahkan, ceritakan." Aku mengusap pundak wanita yang terlihat ketakutan itu. Dalam rekaman CCTV pun, aku melihat jika dia hanyalah disuruh. Tapi, aku ingin mendengarnya langsung dan merekam kata-kata dia untuk dijadikan bukti. "Waktu itu, saya melayani pelanggan laki-laki muda. Dia membeli dua brownies lumer cokelat. Transaksi terjadi seperti biasanya. Dia pun pergi, setelah menerima dua wadah kue, beserta uang kembalian. Tidak berapa lama, dia kembali lagi ke sini dan menyuruh saya memberikan satu w
"Ranum, sekarang semuanya sudah jelas. Jelas siapa yang salah, jelas pelakunya, dan jelas-jelas kamu dijebak. Jadi, akhiri pernikahan kalian," ujar Ibu seraya melihatku dan Soni bergantian. Setelah dari kantor polisi, aku kembali ke ruko yang ternyata sudah beres dibersihkan. Sudah dicat dengan warna yang kuinginkan, meskipun hanya bagian bawahnya saja. Dan sekarang, lagi-lagi Ibu memintaku memutuskan pernikahan yang terjadi antara aku dan Soni. Aku diam. Tidak bisa memutuskan apa yang harus aku lakukan. "Bu .... Astaghfirullahaladzim, Ibu!" ujar Bapak seraya menyimpan sendok dengan lumayan kasar pada kotak nasi yang berada di depannya. Saat ini, kami memang sedang makan siang. Namun, suasana menjadi tidak nyaman ketika Ibu berucap demikian. Apalagi wajah Soni yang berubah murung dengan tidak lagi melanjutkan suapannya. Rasa bersalah menyelusup ke dalam sanubari pada lelaki itu. Pasalnya, tadi dia terlihat begitu lahap makan setelah bekerja keras membantu Bapak mengecat ulang di
"Soni ... kamu masih muda, jalanmu masih panjang. Aku yakin, di luaran sana banyak wanita yang mau dijadikan istri olehmu.""Tapi, aku maunya kamu, Mbak. Kalau aku mau sama yang lain, mungkin sudah aku lakukan sejak dulu. Ini bukan tentang mau atau tidak mau, tapi ini tentang perasaan. Hatiku memilihmu, Mbak. Kamu, yang aku inginkan," ujar Soni. Tidak ada keraguan dalam setiap kata yang keluar dari bibirnya. Dia yakin, tapi aku yang ragu. Bisakah Soni menjadi imamku? Bisakah dia menjadi pemimpin yang membawaku dalam kebahagian? Bukan hanya dunia, tapi juga akhirat?Aku memalingkan wajah saat sorot netranya tak lepas dariku. Keningnya berkerut menyimpan sejuta angan dalam benak. "Aku gak cinta sama kamu, Son.""Enggak apa-apa. Aku tidak keberatan tidak dicintai. Ya, emang terdengar bodoh, tapi aku nikmatin kebodohan ini. Aku mohon, Mbak ... kita jangan pisah. Aku janji, aku akan kerja keras untuk bisa menghidupi Mbak dan Shanum. Kerja apa pun aku mau, asal kamu tetap jadi istriku, M
Aku bergeming dengan pikiran yang bercabang. Pergi menenangkan Ibu, atau mengejar Bapak untuk meminta penjelasan? Setelah diam seperti patung, akhirnya aku memilih menenangkan Ibu terlebih dahulu. Kulangkahkan kaki masuk ke dapur dan langsung mengambil panci yang tadi dilemparkan Ibu. Sedangkan orang yang tadi ngamuk, kini duduk di kursi meja makan dengan dada yang kembang kempis. "Minum dulu, Bu." Aku memberikan satu gelas air putih pada wanitaku itu. "Sudah lama kamu di sini?" tanya Ibu kemudian. Aku mengangguk. Dan suasana hening saat aku dan Ibu tidak mengucapkan satu patah kata pun. Aku bingung untuk bicara apa, takut juga akan membuat perasaan Ibu semakin terluka jika membicarakan tentang pernikahanku. Kata-kata Bapak terngiang di telinga. Kata ancaman itu sungguh mengganggu, membuatku ingin tahu alasan Bapak dengan mengatakan itu padaku. "Ranum.""Iya, Bu?" "Kamu tahu, apa yang Ibu, dan Bapakmu perdebatkan?" "Pernikahan Ranum dengan Soni.""Semua keputusan ada padamu,
Aku mengangguk. "Bismillah," ucapku. "Yasudahlah, jika pilihanmu laki-laki seperti dia, Ibu bisa apa? Mudah-mudahan kali ini pilihanmu benar, Ranum."Aku mengaminkan dalam hati. Sebenarnya aku pun ragu, tapi sudah terlanjur. Apalagi ucapan Bapak masih begitu terdengar ambigu. Aku harus tahu kenapa Bapak kekeh untuk aku tidak boleh berpisah dari Soni. Dia benar-benar malu karena anaknya ini kawin cerai, atau ada hal lain? "Bapakmu pasti senang, karena menang dari Ibu."Aku sedikit melebarkan mata menatap Ibu. Wanita memang tidak mau kalah dari para lelaki.Setelah mendapatkan restu dari Ibu, kini aku mencari Bapak untuk mendapatkan jawaban darinya tentang ucapan yang mencengangkan. Ancaman yang tidak pernah kusangkakan akan terlontar dari bibir Bapak. Saat aku keluar, sudah tidak ada mobil Bapak di halaman. Itu artinya, Bapak sudah pergi. Ke mana? Toko? Mungkin. Tapi, rasanya hatiku belum tenang jika belum mendapat jawaban dari pertanyaan yang ada dalam benak. Aku pun pamit pad
Di balik punggung seorang pria, aku duduk dengan angan terbang melayang tinggi. Hatiku kembali perih oleh tajamnya belati yang menggores hati. Lidah Mas Sandi laksana pedang yang menikam sanubari. Sakit dan perihnya menjalar sampai ke ulu hati. Kenapa harus sekarang dia mengambil fasilitas yang dulu dia berikan dengan sesuka hati. Bukankah aku pernah menawarkannya sejak saat dia mengucapkan kata talak? Kenapa waktu itu mengatakan untuk Shanum, jika sekarang menariknya kembali? Aku mengusap dada seraya berucap istighfar di dalam hati. Mungkin sudah bukan rezeki. Memang seharusnya aku tidak lagi memakai apa pun yang berkaitan dengannya. Ah, tololnya aku masih saja merasa sakit hati dengan perlakuan pria itu. "Hujan, Mbak. Mau neduh dulu?" ujar Soni dengan sedikit berteriak. Air dari langit mulai berjatuhan menerpa kulit tangan. Jejaknya jelas terlihat di jaket milik Soni yang melekat pada tubuhku. "Lanjut saja, Son. Aku ingin segera sampai rumah.""Oke. Pegangan, ya?" ujar Soni