Aku membiarkan dia mengeluarkan apa yang ingin diungkapkan. Biarlah, aku hanya jadi pendengar dan menilai apa yang akan dia sampaikan. "Maafkan aku, Ranum. Aku salah, aku benar-benar salah. Semua yang terjadi pada Soni dan Nabila, adalah salahku. Aku yang menyuruh anak itu untuk membuat kamu dan Soni bertengkar."Aku mengambil bantal dan memangkunya. Volume ponsel aku besarkan, lalu menyimpan benda pipih itu di atas bantal. Punggung kusandarkan dengan melipat tangan di perut. "Aku lelah, Ranum. Lelah mengejarmu yang tak lagi sudi kembali padaku. Tubuhku pun sudah rapuh, tidak sekuat dulu. Maka dari itu, sebelum waktuku habis, aku ingin meminta maaf padamu. Memang, aku belum ikhlas kamu menikah dengan adiku, tapi ... aku sedang belajar untuk itu. Mengikhlaskanmu dengan kehidupan yang baru."Sekelebat bayangan tentang aku dan dia menari di pelupuk mata. Indahnya rumah tangga pernah aku rasakan dengannya. Sayangnya, badai itu teramat besar mengguncang jiwa. Hati yang rapuh tak kuat lag
"Benar kata orang tua, Mbak. Modal cinta doang gak akan enak. Pait," ujar Soni seraya mencubit ayam goreng yang gosong sebagian. Aku tidak bicara, hanya tersenyum kikuk seraya menyeruput teh manis yang tadi aku buat. Mata kami saling bertemu, kemudian tertawa mengingat apa yang baru saja terjadi. Entah siapa yang patut disalahkan di sini, karena aku dan dia sama-sama menikmati momen itu. "Mbak, hari ini orang yang mau kerja sama kita jadi datang?" Aku mengangkat kepala melihat pada lawan bicara."Katanya, sih iya. Kita lihat saja, kalau dia datang, berarti jadi.""Sebelum dia datang, kita jemput dulu Shanum, yuk. Rumah sepi banget gak ada dia," ujar Soni lagi seraya mengangkat gelas berisikan kopi. "Bukannya kalau gak ada Shanum, kamu bisa bebas melakukan apa pun padaku, Son? Kok, sekarang minta jemput dia."Soni mengangkat sebelah alisnya, lalu terkekeh. Tangan itu mengambil satu kue pukis, kemudian menggigitnya separuh. Soni mengulurkan tangan ke arahku, memberikan kue itu untu
"Bunda ... kok, di dapur ada daging gosong? Kenapa?" Aku mengalihkan pandangan dari depan sana, pada putriku yang kini berdiri di sampingku. Tangannya mencorat-coret kertas kosong yang ada di atas meja. "Oh, itu tadi Bunda kelupaan, Sha. Shanum mau makan?" Shanum menggelengkan kepala menjawab pertanyaanku. "Shanum mau jajan.""Jajan apa?" Soni datang langsung bertanya pada putriku. "Mau jajan kue Umi Marwah, Om .... Yang rasa strawberry itu, loh. Boleh, ya Bunda ...." Shanum menarik-narik dress-ku, merengek ingin dituruti maunya. Soni yang tidak mau melihat keponakan sekaligus anak tirinya itu menangis, langsung mengiyakan maunya. Dia pun membawa Shanum dan berjalan ke arah toko kue Umi Marwah. Kini pandanganku kembali mengarah pada Mas Sandi yang masih berada di depan sana. Entah apa yang dia inginkan, tapi rasanya aku tidak nyaman dimata-matai seperti itu. Risih dan takut. Khawatir dia akan melakukan kejahatan kepada keluargaku. "Desi." Aku memanggil gadis yang tengah membe
"Apa?" "Eh, ini Mbak Ranum, ya? Bisa, panggilkan Soni, gak, Mbak? Ini penting!" Laki-laki yang tak lain Satria memintaku memanggil Soni. Aku segera keluar dari tempat dudukku, lalu menghampiri Soni yang tengah menata barang di belakang. "Son, ini Satria telpon, katanya kedai kebanjiran.""Hah, apa?!" "Kedai kebanjiran," kataku mengulang kata yang mengagetkan. Soni menegakkan tubuh, mengambil ponsel dari tanganku, lalu menempelkannya ke telinga. "Apanya yang banjir, Sat? Mesin kopi?" Soni berucap panik seraya sebelah tangan di pinggang. Aku yang melihat kepanikan Soni, tidak ingin beranjak. Memilih diam di tempat mendengarkan apa yang terjadi dengan tempat usaha suamiku itu. Beberapa saat Soni berbicara lewat telepon, dia memutuskan untuk pergi ke kedai kopi. Rasa was-was menghampiri, takut terjadi sesuatu dengan Soni yang pergi dalam keadaan panik. Hati ini berbisik, meminta pada sang Khalik untuk keselamatan suamiku dalam perjalanan, maupun masalah yang menimpa agar cepat te
Sejenak aku terdiam mengamati kertas yang ada di depanku itu. Mata ini melihat pada Safira yang tersenyum manis dengan menganggukkan kepala. "Punya siapa ini?" tanyaku seraya mengambil kertas itu. "Baca saja."Mataku membulat dengan mulut yang terbuka. Rasa bahagia menyeruak ketika membaca nama yang tertulis dalam kertas undangan tersebut. "Alhamdulillah ... kamu akan menikah, Safira?" ujarku kemudian. Wanita itu mengangguk pasti. Aku berdiri dari dudukku, kemudian menghampiri dia dan langsung memeluknya.Ini kabar yang sangat bahagia. Akhirnya, sekian lama menyendiri kini sahabatku bertemu dengan jodohnya. Meskipun, dia dijodohkan orang tuanya, tapi aku yakin itu pilihan yang terbaik untuknya. Kebahagiaan akan menghampiri Safira dengan orang yang diyakini akan mampu menjadi imam dalam rumah tangga mereka. "Selamat, ya, Fir. Kok, gak bilang-bilang, sih? Tiba-tiba kirim undangan, aja." Aku melepaskan pelukan, lalu kembali ke tempat duduk yang ada di sebrang meja. "Aku dan dia, '
"Hahaha ...!" Aku dan Soni terbahak bersamaan saat mengingat kejadian malam tadi. Aku dan dia dibuat serangan jantung oleh kelakuan Shanum yang mengigau. Saat ini, aku dan Soni sedang berada di balkon. Kegiatan pagi setelah salat subuh, aku dan dia menyempatkan duduk berdua sambil bercerita, seraya menikmati kopi dengan hembusan angin yang segar. "Jadi, sekarang kamu tidak ke kedai?" Aku bertanya setelah menyeruput kopi milikku. "Tidak. Besok, baru aku akan ke kedai. Ah ... rencananya ingin libur satu minggu dari sana, tapi tidak bisa. Kasihan teman-teman yang lain, akan sangat kerepotan jika aku tinggal."Aku manggut-manggut. Soni mengadahkan kepala, menyandarkan punggungnya pada dinding. Menatap langit yang mulai menampakkan keindahan pagi. "Lupakan kejadian waktu itu dengan Nabila. Dia pun sudah meminta maaf dan mengakui kesalahannya. Anggap saja, kemarin itu mimpi buruk, dan kemajuan kedai sebagai imbalannya."Soni menoleh dengan kedua alis yang terangkat. Melihatku yang dudu
Aku menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Soni masih menunggu kata yang akan keluar dari bibirku ini. Sama sekali dia tidak mengalihkan pandangan, hingga konsentrasiku kembali buyar saat pembeli datang lagi. Hampir setengah jam aku dan Soni bergulat dengan pekerjaan, kini suasana kembali lengang. Pada akhirnya, aku pun menceritakan apa yang aku lihat tentang Mas Sandi. "Kok, aku enggak melihatnya?" ujar Soni setelah aku mengatakan kekhawatiran dan kecurigaan tentang kakak iparku itu.Kakak ipar? Ah, menyebalkan sekali garis takdir hidupku. Yang tadinya suami, berganti jadi ipar. Sebaliknya, ipar berganti jadi suamiku. "Kamu terlalu fokus pada Shanum. Sudah dua kali dia datang dan melihat kita dari kejauhan. Apa jangan-jangan dia sedang merencanakan sesuatu pada kita, ya?" "Jangan terlalu dipikirkan, Mbak. Besok, jika dia datang lagi, kamu kasih tahu aku. Biar aku samperin dia dan tanya maunya apa."Aku mengangguk kecil. Soni juga menyuruhku untuk bersikap sesantai
"Ada apa, Son? Kenapa kita harus ke sekolah Shanum?" tanyaku lagi saat akan naik ke motor. "Katanya, Shanum gak mau masuk kelas. Dia tidak mau belajar, karena gurunya bukan Safira."Aku beristighfar seraya naik ke atas motor. Kemudian Soni mulai melajukan motor membelah jalanan untuk sampai ke sekolahan Shanum. Benar saja, putriku malah main ayunan di saat teman-temannya yang lain sedang belajar di dalam kelas. Shanum ditemani guru lain yang terus membujuk dia untuk belajar. Namun, putriku langsung menghambur ke pelukanku saat menyadari kedatangan aku dan Soni. "Kenapa tidak masuk?" tanyaku mengusap surai hitam panjang yang dikepang dua itu. "Enggak mau, Bunda .... Tidak ada Bu Safira di kelas.""Ya Allah, Sha ... Bu Fira izin tidak masuk sekolah. Kan, kemarin waktu datang ke rumah, dia sudah bilang tidak akan masuk. Shanum lupa?" Shanum mengurai pelukannya. Dia mendongak melihatku dengan mengerjapkan mata beberapa kali. Dia terlihat berpikir, kemudian kembali memeluk tubuhku.